Ketika tiba di Bandara Cotabato, yang
posisinya persis di samping Markas Besar 6th Infantry Division (6ID),
rasanya kontras sekali dengan yang dirasakan di Manila. Saat menunggu koper bagasi,
banyak sekali orang terlihat memakai jilbab. Ketika sampai di Bandara Manila 5
hari sebelumnya, kira-kira hanya ada 5% penumpang berjilbab. Mereka nyaris tak
terlihat karena tertutup oleh paha dan dada yang berseliweran.
Saat memasuki wilayah Cotabato, atau
disebut juga Cotawato (dalam bahasa lokal, bato=wato=batu), suasana “santri”
cukup terasa. Dimulai dengan pemandangan di Bandara yang rasanya seperti di
Bandara A. Yani, Semarang, kemudian dilanjutkan dengan alam,
jalan-jalan,bangunan, dan keramaian yang rasanya tak jauh beda dengan kota
Pekalongan. Hanya saja sebagai warga Indonesia patut berbangga, Pekalongan
terlihat masih lebih rapi dibandingkan dengan Cotabato.
Di sepanjang jalan dari Bandara menuju
tengah kota Cotaba to untuk mencari hotel, kanan-kiri terlihat ada beberapa
masjid. Kira-kira tidak sampai 300 meter usai meninggalkan bangunan Bandara pun
di kiri jalan sudah tampak masjid. Hanya saja, mengingat sepertinya kemakmuran Cotabato
masih harus mengejar kota-kota selevel di Indonesia, termasuk Pekalongan, maka
masjid-masjid yang ada pun rasanya juga harus dipoles. Padahal, Cotabato disebut-sebut
sebagai tempat kelahiran para saudagar muslim asli Mindanao.
Ada satu masjid besar yang berdiri di
Cotabato, tepatnya di pinggiran kota, yaitu The Sultan Haji Hassanal Bolkiah
Masjid, atau juga dikenal sebagai the Grand Mosque of Cotabato.
Masjid ini disebut-sebut sebagai masjid terbesar di Filipina. Maklum, Cotabato
menjadi pusat keislaman di Mindanao dan Mindanao adalah pusat keislaman di
seluruh Filipina. Jika kita mengharapkan masjid terbesar itu ada di ibukota,
Manila, tentunya masih harus bersabar menunggu saudagar lain seperti Sultan
Brunei yang mau membangunnya.
Grand Masjid ini pun jika dibandingkan
dengan masjid Al-Fairus di Pekalongan, yang dibangun oleh keluarga H. Abdullah
Mahcrus, pengusaha lokal Pekalongan, sepertinya tidak unggul jauh. Hanya saja,
mengingat keberadaannya di Filipina yang mayoritas penduduknya nonmuslim, tentu
pengurusan pembangunan—apalagi dibangun oleh pihak asing—dan perawatannya juga
menghadapi banyak tantangan. Itulah salah satu keistimewaan masjid ini.
Untuk menggerakkan dan memakmurkan
masjid, dibentuk sebuah Executive Board yang saat ini kepemimpinannya dipegang
oleh Alim Nour. Di Filipina, alim digunakan untuk sapaan bagi ahli agama
Islam lulusan luar negeri, sedangkan mereka yang “hanya” bersekolah atau
mengaji di dalam Filipina dipanggil ustad. Alim Nour menamatkan
pendidikannya di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi dan kini juga menjadi
salah satu pentolan MILF. Saat Tim Pemantau Indonesia-IMT/Konga XXXIV-E
melakukan courtesy call kepada Chairman MILF, Alhaj Murad Ibrahim, di
Camp Darapanan, Alim Nour juga turut mendampingi.
Keberadaan masjid terbesar ini menjadi
daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal. Saat kami melakukan shalat jumat
dan beberapa hari kemudian shalat duhur berjamaah, tampak banyak orang datang
menggunakan mobil angkutan umum yang disewa (bukan rutenya). Saat berbincang
dengan local staff HQ IMT, diketahui bahwa para penziarah ini sepertinya
datang dari wilayah yang cukup jauh dari Cotabato. Hal itu karena dialek yang
terdengar dari pembicaraan mereka konon bukanlah dialek yang banyak digunakan
di Cotabato.
Selain penampakan masjid-masjid yang
mungkin masih harus “belajar”dari Indonesia, atau bisa saja sebut satu kota,
Pekalongan, mungkin Cotabato juga mesti belajar soal pengelolaan hotel. Di kota
“sebesar” Cotabato, hanya ada 3 hotel bintang tiga saat ini, yaitu Hotel Al
Noor yang terletak satu kompleks dengan Mall Al Noor, Hotel Em Manor, dan Hotel
(?) Pacific Heights. Satu hotel yang disebut pertama konon adalah yang terbaik
di antara ketiga hotel berbintang ini. Sayangnya, kami TPI-IMT Angkatan ke-5
Militer/ke-9 Sipil belum sempat bisa merasakannya.
Saat pertama kami datang dari Bandara, kami
langsung diajak oleh OPAPP (Office of Presidential Adviser on the Peace
Process), lembaga pemerintah Filipina yang menjadi fasilitator IMT, ke
Pacific Heights. Konon disebut sebagai bintang 3, tetapi kesan yang muncul
dalam benak kami adalah sebuah gua yang lama tak dihuni. Kurang pencahayaan,
air yang kadang mati, dan tidak terlalu ramai pengunjung juga. Hanya ada 3
lantai dan mungkin tak lebih dari 30 kamar tersedia, tapi sepertinya tak pernah
penuh. Konon, malah ada cerita salah satu ruangan di lantai 1 beberapa tahun
sebelumnya menjadi saksi pembunuhan dengan penembakan atas sebuah keluarga yang
tengah bermalam. Ngeri!
Meski begitu, makanan yang disajikan
Pacific Heights cukup sesuai selera kami bangsa Indonesia. Karena itu, meski kemudian
pindah ke hotel lain, dalam hal ini Hotel Em Manor, “katering” makanan kami
tetap dimintakan ke Pacific Heights. Sarapan pagi tetap mengambil di hotel
tempat tinggal, sedangkan makan siang dan makan malam selalu “merindukan”
Pacific Heights Resto (sayang rasanya untuk menyebut kata “hotel”).
Sebelum pindah ke Hotel Em Manor setelah
2 hari bermalam di Pacific Heights, sebetulnya sudah dijajaki juga untuk
menginap di Hotel Al Noor, namun diurungkan karena mendapatkan kabar jika OPAPP
saat ini sedang kesulitan diterima manajemen Hotel Al Noor. Konon, hal itu
karena masalah keuangan yang belum diselesaikan kedua belah pihak secara clear.
Padahal, sejak sebelum ke Filipina, TPI-IMT selalu mendapatkan cerita-cerita mengenai
kelebihan Hotel Al Noor, yang terutama karena satu kompleks dengan mall,
mengingat betapa susahnya mencari hiburan di Filipina Selatan ini.
Di Cotabato sendiri hanya ada 2 mall.
Selain Mall Al Nor yang belum berfungsi 100% karena belum selesai
pembangunannya, ada Mall Cotabato City yang lebih dulu eksis. Namun, lagi-lagi,
mall ini sepertinya masih sebesal-dua belas soal kebesaran dan keramaian
dibandingkan dengan Plaza Pekalongan dan Ramayana Pekalongan. Belum lagi
Pekalongan masih memiliki Sri Ratu (yang saat ini sedang tidak diaktifkan) dan
Carefour.
Kemiripan lain juga terjadi dalam hal kemacetan.
Saat pagi dan sore, berkendara di Cotabato juga mesti sabar, sama seperti di
Pekalongan. Pekalongan mungkin lebih macet karena dilalui oleh jalur Pantura
yang dilewati ratusan atau bahkan ribuan bus dan truk besar. Hanya saja, jika
ingin semakin menaikkan pamornya di atas Cotabato, Pekalongan harus membangun
sebuah: bandara![]
No comments:
Post a Comment