Saat pertama tiba di Manila, Sabtu
(2/72016) pagi, suasana terasa tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Karena datang
saat weekend, Bandara pun tampak sepi. Memang Bandara Ninoy Aquino masih
cukup jauh dibandingan dengan luas lahan dan keramaian Bandara Soekarno-Hatta.
Hanya saja, rasa-rasanya, ketika mendarat itu, seperti tidak sedang berada di
negara lain.
Wajah orang-orang, pakaian mereka,
keramahan yang ditampilkan, nyaris persis seperti Jakarta. Hanya bahasa yang mungkin
terdengar asing di telinga. Namun saat mendengar mereka bercakap-cakap bahasa
Inggris, maka nyaris kita tidak akan ingat bahwa kita tidak sedang berada di
tanah air; karena di Indonesia pun sudah semakin banyak yang berbincang dengan
bahasa Inggris.
Dari segi penggunaan bahasa Inggris,
persentase penduduk Indonesia sepertinya memang masih kalah dibandingkan dengan
Filipina. Di Filipina, atau khususnya di Manila, bagian mana pun, rasa-rasanya
tidak sulit untuk berkomunikasi dengan penduduk setempat, dengan bahasa
Inggris. Hanya saja, saat kita membiarkan mereka yang memulai percakapan, maka
siap-siaplah kita bengong sekian detik dulu.
Maklum, mereka juga tak akan menyangka
kita—warga Indonesia pada umumnya—adalah warga asing. Mereka pun, sama seperti
saya, mengira orang yang dihadapinya adalah berasal dari negara yang sama.
Karena itu, dengan mudah dan pedenya mereka akan nyerocos dengan bahasa lokal,
entah Tagalog atau bahasa lokal mereka.
Entah sudah berapa warung atau
supermarket yang saya masuki, kemudian kasir dengan santainya nyerocos entah
maksudnya apa. Jika ia tak melihat saya kebingungan, maka dia akan terus
berbicara dengan “bahasa planet” itu. Saat kita ucapkan, “English please,”
barulah biasanya ia akan memerhatikan wajah kita kemudian tertawa kecil
menyadari orang yang dihadapinya bukanlah seorang Pinoy.
Salah satu sudut kota Manila yang tampil rapi nan
bersih. (Dok. Agus Hid)
Setelah dijemput oleh staf lokal di
Bandara Ninoy, kami pun dibawa ke KBRI di kawasan tengah kota, Makati. Melihat
sekeliling, saya pun kagum dengan Filipina, khususnya Manila, lebih khusus lagi
Makati ini. Kesan yang tertangkap adalah rapi, bersih, disiplin. Jalanan yang
cukup luas dengan trotoar lebar dan tampak rapi. Nyaris tak terlihat sampah di
jalanan ataupun pojok-pojok bangunan. Orang yang lalu lalang pun, baik jalan
kaki maupun naik kendaraan, terlihat disiplin dengan aturan dan rambu yang ada.
Saat diajak berjalan-jalan ke Makati
Square, kira-kira 1 km saja dari KBRI, rasanya tidak asing. Seperti tengah
berada di ITC Cempaka Mas atau Glodok. Hanya saja dari segi ukuran, Makati
Square tentu masih kalah jauh. Namun, suasana yang didapat nyaris persis. Oia,
ada perbedaan mencolok lain sebetulnya, di mana para penjaga di pos pemeriksaan
pintu masuk Makati Square menenteng senjata, ada pistol ada senapan laras
panjang. Mungkin karena senjata boleh dimiliki secara legal di Filipina
sehingga para mall, bahkan toko-toko seperti Seven Eleven dan semacamnya pun
dijaga petugas bersenjata api.
Baru saat hari berikutnya, Senin
(4/7/016) hendak membayar zakat, Manila secara lebih utuh mulai didapat.
Mengingat pengumpulan zakat di Masjid At-Taqwa KBRI Manila sudah ditutup dan
malah sudah didisitribusikan, kami pun mencari tempat lain untuk membayar zakat
fitrah. Muncullah alternatif amil zakat di Blue Mosque, pinggiran kota
Filipina. Cukup menjadi PR untuk menuju ke sana dari KBRI, meski dari jarak
sebenarnya hanya berkisar belasan kilometer. Itu karena macet—sama seperti
Jakarta—dan harus melalui jalanan kampung di pinggiran ibukota yang tidak
seperti Makati: rapi, bersih, luas. Kekaguman atas Filipina atau Manila pun
kemudian meluntur: ah, sama saja, persis seperti Jakarta di mana ada kawasan
elit dan kawasan tidak elit.
Membayar zakat di Blue Mosque. (Dok. Agus Hid)
Selain soal tentengan senjata, perbedaan
lain adalah soal pakaian. Meski di Jakarta atau Indonesia juga cukup banyak
gadis, ibu-ibu, atau bahkan nenek-nenek berpakaian minim, tapi sepertinya masih
“kalah” dibandingkan Manila atau Filipina. Sungguh-sungguh godaan berat saat
harus keluar di siang hari berkeliling kota, apalagi mall, Manila, di tengah
waktu puasa pula. Pakaian-pakaian minim itu juga sepertinya menunjukkan
“keterbukaan” mereka dalam pergaulan. Konon, melihat keramahan penduduk
Filipina, akan sangat mudah untuk dekat dengan mereka, termasuk lawan jenis.
Selanjutnya, bisa terserah Anda.
Ya, keramahan mereka memang begitu
terasa. Saat coba saja masuk gerai Seven Eleven atau semacamnya, maka hampir
selalu security yang menenteng senapan api itu akan ramah menyapa,
kemudian mungkin juga mengajak ngobrol. Tidak ada beda laki-laki atau
perempuan, sama atau beda jenis, mereka begitu ramah. Apalagi setelah
mengetahui bahwa kita dari Indonesia, mereka sepertinya semakin hormat, atau
tertarik, entahlah.[]
Illigan City, 16
Juli 2016
No comments:
Post a Comment