Saturday, July 23, 2016

Manila ya Jakarta

Saat pertama tiba di Manila, Sabtu (2/72016) pagi, suasana terasa tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Karena datang saat weekend, Bandara pun tampak sepi. Memang Bandara Ninoy Aquino masih cukup jauh dibandingan dengan luas lahan dan keramaian Bandara Soekarno-Hatta. Hanya saja, rasa-rasanya, ketika mendarat itu, seperti tidak sedang berada di negara lain.

Wajah orang-orang, pakaian mereka, keramahan yang ditampilkan, nyaris persis seperti Jakarta. Hanya bahasa yang mungkin terdengar asing di telinga. Namun saat mendengar mereka bercakap-cakap bahasa Inggris, maka nyaris kita tidak akan ingat bahwa kita tidak sedang berada di tanah air; karena di Indonesia pun sudah semakin banyak yang berbincang dengan bahasa Inggris.

Dari segi penggunaan bahasa Inggris, persentase penduduk Indonesia sepertinya memang masih kalah dibandingkan dengan Filipina. Di Filipina, atau khususnya di Manila, bagian mana pun, rasa-rasanya tidak sulit untuk berkomunikasi dengan penduduk setempat, dengan bahasa Inggris. Hanya saja, saat kita membiarkan mereka yang memulai percakapan, maka siap-siaplah kita bengong sekian detik dulu.

Maklum, mereka juga tak akan menyangka kita—warga Indonesia pada umumnya—adalah warga asing. Mereka pun, sama seperti saya, mengira orang yang dihadapinya adalah berasal dari negara yang sama. Karena itu, dengan mudah dan pedenya mereka akan nyerocos dengan bahasa lokal, entah Tagalog atau bahasa lokal mereka.

Entah sudah berapa warung atau supermarket yang saya masuki, kemudian kasir dengan santainya nyerocos entah maksudnya apa. Jika ia tak melihat saya kebingungan, maka dia akan terus berbicara dengan “bahasa planet” itu. Saat kita ucapkan, “English please,” barulah biasanya ia akan memerhatikan wajah kita kemudian tertawa kecil menyadari orang yang dihadapinya bukanlah seorang Pinoy.


Salah satu sudut kota Manila yang tampil rapi nan bersih. (Dok. Agus Hid)

Setelah dijemput oleh staf lokal di Bandara Ninoy, kami pun dibawa ke KBRI di kawasan tengah kota, Makati. Melihat sekeliling, saya pun kagum dengan Filipina, khususnya Manila, lebih khusus lagi Makati ini. Kesan yang tertangkap adalah rapi, bersih, disiplin. Jalanan yang cukup luas dengan trotoar lebar dan tampak rapi. Nyaris tak terlihat sampah di jalanan ataupun pojok-pojok bangunan. Orang yang lalu lalang pun, baik jalan kaki maupun naik kendaraan, terlihat disiplin dengan aturan dan rambu yang ada.

Saat diajak berjalan-jalan ke Makati Square, kira-kira 1 km saja dari KBRI, rasanya tidak asing. Seperti tengah berada di ITC Cempaka Mas atau Glodok. Hanya saja dari segi ukuran, Makati Square tentu masih kalah jauh. Namun, suasana yang didapat nyaris persis. Oia, ada perbedaan mencolok lain sebetulnya, di mana para penjaga di pos pemeriksaan pintu masuk Makati Square menenteng senjata, ada pistol ada senapan laras panjang. Mungkin karena senjata boleh dimiliki secara legal di Filipina sehingga para mall, bahkan toko-toko seperti Seven Eleven dan semacamnya pun dijaga petugas bersenjata api.

Baru saat hari berikutnya, Senin (4/7/016) hendak membayar zakat, Manila secara lebih utuh mulai didapat. Mengingat pengumpulan zakat di Masjid At-Taqwa KBRI Manila sudah ditutup dan malah sudah didisitribusikan, kami pun mencari tempat lain untuk membayar zakat fitrah. Muncullah alternatif amil zakat di Blue Mosque, pinggiran kota Filipina. Cukup menjadi PR untuk menuju ke sana dari KBRI, meski dari jarak sebenarnya hanya berkisar belasan kilometer. Itu karena macet—sama seperti Jakarta—dan harus melalui jalanan kampung di pinggiran ibukota yang tidak seperti Makati: rapi, bersih, luas. Kekaguman atas Filipina atau Manila pun kemudian meluntur: ah, sama saja, persis seperti Jakarta di mana ada kawasan elit dan kawasan tidak elit.


Membayar zakat di Blue Mosque. (Dok. Agus Hid)

Selain soal tentengan senjata, perbedaan lain adalah soal pakaian. Meski di Jakarta atau Indonesia juga cukup banyak gadis, ibu-ibu, atau bahkan nenek-nenek berpakaian minim, tapi sepertinya masih “kalah” dibandingkan Manila atau Filipina. Sungguh-sungguh godaan berat saat harus keluar di siang hari berkeliling kota, apalagi mall, Manila, di tengah waktu puasa pula. Pakaian-pakaian minim itu juga sepertinya menunjukkan “keterbukaan” mereka dalam pergaulan. Konon, melihat keramahan penduduk Filipina, akan sangat mudah untuk dekat dengan mereka, termasuk lawan jenis. Selanjutnya, bisa terserah Anda.

Ya, keramahan mereka memang begitu terasa. Saat coba saja masuk gerai Seven Eleven atau semacamnya, maka hampir selalu security yang menenteng senapan api itu akan ramah menyapa, kemudian mungkin juga mengajak ngobrol. Tidak ada beda laki-laki atau perempuan, sama atau beda jenis, mereka begitu ramah. Apalagi setelah mengetahui bahwa kita dari Indonesia, mereka sepertinya semakin hormat, atau tertarik, entahlah.[]

Illigan City, 16 Juli 2016


No comments: