Alhamdulillah berada di tengah-tengah
orang yang suka beribadah. Team Site Leader dari Malaysia juga rajin mengajak
shalat maktubah berjamaah. jadilah salah satu ruangan di TS2 ini menjadi
mushola. Berawal dari ngobrol soal keislaman, kemudian diputuskan bersama untuk
menambah kegiatan, berupa tadarus/mengaji Alquran setiap selesai shalat isya.
Sesuai ajaran kitab Ta’limul Muta’allim,
di mana saat memulai pembelajaran ada baiknya dimulai pada malam/hari Ahad atau
Rabu maka diputuskan tadarus dimulai pada Sabtu malam Ahad, 23 Juli 2016. Dalam
tadarrus itu, saya diminta memulai dengan membaca Al Fatihah dan halaman
pertama surah Al Baqarah. Kemudian dilanjutkan dengan 3 member TS2 lain yang saat
itu hadir.
Kembali saya bersyukur karena pernah
nyantri di Kudus dan belajar membaca Al Quran kepada para ahlinya. Bersyukur
pula karena menghabiskan masa kecil di Pujut, desa yang secara tradisi
“memaksa” anak-anak seusia SD-SMP untuk banyak bergelut dengan ilmu-ilmu agama
Islam di sekolah sore (madrasah diniyah), dilanjutkan mengaji Al Quran pada
waktu bakda magrib sampai masuk waktu shalat isya. Setiap hari.
Sehingga sebelum melanjutkan nyantri di
Kudus, atau juga melanjutkan sekolah tingkat SMA/MA di kota lain, warga Pujut
bisa telah 2 kali khataman Al Quran di hadapan para ustadz yang dengan ikhlas
berbagi ilmu tilawahnya. Khataman pertama bisa diselesaikan saat masih usia SD
dengan menghadap pada ustadz di masjid atau mushola-mushola yang tersebar di
berbagai titik di Pujut.
Khataman kedua biasanya didapatkan dari
ustadz atau kiai yang dianggap lebih mumpuni lagi bacaan Al Qurannya, di masjid
desa, setiap usai shalat shubuh. Juga setiap hari. Khataman kemudian dirayakan
pada penutupan Pengajian Rutin Selasa yang setiap tahunnya digelar pada bulan
Sya’ban. Perayaan mungkin sekadar menampilkan rasa syukur, tahadduts bin
ni’mah, selain sebagai “uji mental” karena para santri yang telah khatam itu
diminta membaca surah Adh Dhuha hingga An Nas di hadapan ratusan jamaah yang
tidak hanya berasal dari desa Pujut.
Rasa syukur ini sangat terasa bila
kemudian merantau ke sekitar kota besar, atau bahkan ke luar negeri seperti
saat di Iligan City ini. Saat merantau di Jakarta, kemudian masuk ke
kantong-kantong masjid/musola, alhamdulillah rasanya karena bacaan yang
disampaikan, terutama saat tiba-tiba diminta menjadi imam shalat
magrib/isya/subuh/tarawih, tidak terlalu memalukan.
Demikian pula saat menjadi TPI-IMT ini, di
mana di sekeliling terdapat orang-orang yang senang dengan shalat jamaah,
kemudian malah beberapa kali mendorong saya untuk menjadi imam shalat jamaah.
Ditambah lagi dengan tadarus bersama setiap usai shalat isya. Dalam tadarrus
itu, saya beranikan diri untuk mencoba mengoreksi cara baca—yang menurut ilmu
yang saya dapat—kurang tepat. Alhamdulillah, orang yang saya koreksi menerima
dengan terbuka.
Kemudian di hari-hari berikutnya malah
saya tidak dapat giliran membaca Al Quran. Saya hanya diminta menyimak kemudian
mengoreksi sekiranya ada bacaan-bacaan mereka yang kurang tepat, baik dari segi
makhraj, tanda baca, maupun cara berhenti di tengah ayat saat napas tak kuat
hingga ujung ayat. Bahkan kemudian juga ada beberapa tanya jawab mengenai cara
membaca Al Quran ini.
Berkahnya menjadi warga Pujut, juga
santri Kudus, bisa berbagi ilmu di tempat yang jauh dari keluarga seperti ini.
Meski saya akui jika misalnya saya diberi kesempatan nyantri lagi di hadapan
para asatidz dan ulama ahli Al Quran, belum tentu saya langsung diluluskan
setiap kali membaca surah atau ayat tertentu. Namun, sebatas pengetahuan saya,
ilmu yang pernah saya dapatkan semoga dapat bermanfaat untuk diri sendiri dan
orang lain.
Di tengah obrolan santai, saya dapat
cerita bahwa member TS2 ini umumnya memang hanya belajar Al Quran “sekadarnya”.
Mereka mengakui tidak pernah mengenyam pendidikan agama Islam secara khusus,
seperti misalnya madrasah diniyah atau pesantren. Salah satu member TS2 dari
Brunei bahkan mengakui bahwa baru beberapa bulan yang lalu dirinya kembali
bersemangat belajar membaca Al Quran, padahal mungkin usianya sudah sekitar
50-an tahun. Semangat belajar dan beribadah mereka tentu tetap harus diacungi
jempol.
Saya kemudian jadi berpikir, seandainya masa
kecil saya dulu tidak di Pujut, tidak nyantri di Kudus, bagaimana keadaan saya
saat ini? Saya juga berpikir untuk anak-anak saya nanti. Merantau di Jakarta
membuat anak-anak saya tidak mendapati “tradisi” pemaksaan mengaji seperti di
Pujut. Betul bahwa ada SD Islam Terpadu di dekat rumah. Tapi saya masih merasa
bahwa sekolah nonformal semacam madrasah diniyah, apalagi jika ditambah mengaji
di malam hari kepada para ahlinya, menjadi ujung tombak kemampuan pembelajaran
agama—khususnya membaca Al Quran.
Ingin sekali bisa mendidik anak-anak
secara mandiri, tapi dengan keterbatasan waktu karena harus berangkat kerja di
pagi buta dan pulang terkadang sudah malam, saya khawatir tidak cukup waktu
untuk memerhatikan pendidikan agama mereka. Bagi saya, tetap madrasah diniyah
dan pesantren adalah solusi paling jitu. Semoga ada jalan keluar terbaik agar
anak-anak kita menjadi orang soleh.[]