Wednesday, January 03, 2007

Kisruh Logistik Haji, Menag Layak Diganti?


Tragedi terlembatnya suplai makanan bagi jamaah haji Indonesia saat wukuf di Arafah, merupakan kesalahan fatal. Apalagi, wukuf merupakan salah satu rukun haji yang sangat penting. Jika saat pelaksanaan wukuf jamaah haji justru terganggu dengan kurangnya logistik, siapa yang dapat disalahkan?

Seperti biasa, sebagai warga negara Indonesia "yang baik", semua berkejar-kejaran mencari kambing hitam. Seakan siapa yang tepat menebak bakal menjadi pahlawan. Mulai dari politisi, pengamat, dubes, hingga tukang bakso dan ojek sibuk memilah-milah pihak mana kiranya yang paling bertanggungjawab.

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama yang dipimpin oleh Maftuh Basyuni sedari awal mengumandangkan reformasi dalam penyelenggaraan ibadah haji. Nyatanya, masih ada lubang-lubang kesalahan, saat musim haji ini salah satu buktinya. Maka, sang menteri yang dikenal bersih inipun tak luput dari cacian. Bahkan, beberapa pihak menyebutkan sang menteri harus dipecat jika tidak mau mundur.

Sementara di tingkat teknis, Dubes RI untuk Kerajaan Arab Saudi Salim Segaf Aljufri mengaku tidak tahu-menahu permasalahan kontrak katering. Dirinya menunjuk hidung Staf Teknis Urusan Haji KJRI Jedah yang tak melaporkan isi dan seluk-beluk kontrak katering antara penyelenggara haji RI dan perusahaan pelaksana kontrak katering ANA for Development and Est (Suara Merdeka, 3 Januari 2007). Hal ini dapat ditafsirkan sebagai upaya cuci tangan dirinya atas permasalahan katering ini.

Jika setiap pejabat terkait dapat menyalahkan bawahannya, maka barangkali mantan Menag Sayid Agil Husin Munawwar tak dapat dijebloskan ke penjara. Demikian juga Gus Dur bisa selamat dari impeachment atas ketidaktahuannya dalam penyelewengan penggunaan dana bantuan Sultan Brunei yang puluhan milyar itu.

Semestinya, sebagai pihak yang juga turut bertanggungjawab atas suksesnya penyelenggaraan ibadah haji, Dubes Salim tak seenaknya sendiri menyalahkan orang lain. Masih banyak hal lain dapat dilakukan agar tidak memperkeruh suasana.

Di DPR, Fraksi PPP menyulutkan suara perlunya mengajukan hak interpelasi kepada pemerintah. Menurut Ketua FPPP Endin AJ. Soefihara, ada 5 fraksi lain yang searah dengan partainya. Tanpa menyebut nama 5 fraksi itu, Endin menyatakan kesalahan pemerintah harus diminta pertanggungjawabannya segera.

Permasalahan haji memang permasalahan besar, mengingat umat Islam merupakan mayoritas warga negara Indonesia. Namun melihat keinginan diajukannya hak interpelasi "hanya" karena masalah katering haji ini, kemungkinan besar bakal menguap beberapa waktu kemudian. Jangankan katering haji, usul interpelasi berkenaan dengan kenaikan harga BBM yang menjerat sebagian besar warga negara saja bisa kandas seiring berjalannya waktu.

Memang usul hak interpelasi bisa saja berjalan mulus dengan syarat mayoritas fraksi di DPR sepakat berjalan bersama. Karena sementara ini hanya FPPP yang bersuara seperti itu --sementara 5 lainnya hanya merupakan klaim sepihak-- maka jalan menuju interpelasi masih sangat jauh.

Lihat saja fraksi lain, FKB misalnya yang terlihat lebih lunak. Melalui ketuanya, Ida Fauziyah, pihaknya mengakui bahwa pemerintah dalam hal ini Menag harus mempertanggungjawabkan kisruh logistik jamaah haji itu. Namun dikatakannya bahwa FKB belum berani berspekulasi untuk mengkampanyekan interpelasi di DPR.

Mungkin saja FPPP dapat menggalang jumlah minimal pengusul digunakannya hak interpelasi, tapi sejatinya tanpa dukungan mayoritas anggota fraksi lain, usul hak interpelasi bisa jadi angin lalu saja. FPDIP yang merupakan kepanjangan partai yang mengaku oposisi pemerintah, sudah membuktikannya berkali-kali.

Sementara reaksi keras memang didengungkan oleh Partai Demokrat. Partai yang didirikan oleh Presiden SBY ini malah ingin Menag langsung dipecat. Menurut Ketua DPP PD Agus Abu Bakar, jarang terjadi di negeri ini pejabat mengundurkan diri. Karenanya, menurut PD, pemecatan merupakan solusi konkret. Tapi, segampang itukah keinginan tersebut diluluskan SBY?

Sebelum dan saat awal terpilih menjadi presiden, SBY digadang-gadang dapat mengurangi jerat KKN dalam pemerintahan. Hal itu memang sedikit banyak harus bersinggungan dengan (kepentingan) partai politik yang di masa reformasi ini menghegemoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara di lain pihak, parpol juga menjadi kendaraan orang-orang dan kelompok tertentu untuk mengeruk keuntungan sendiri.

Maka, "tabrakan" antara idealisme SBY dengan kepentingan (orang-orang) parpol tak dapat dihindarkan. Terbukti, pembagian kapling menteri dalam kabinet SBY-JK lebih banyak mengakomodasi kepentingan parpol, bahkan mengalahkan idealisme awal SBY dalam impian mewujudkan clean government.

Sedikit "beruntung", salah satu pos menteri yang "aman" dari "sergapan" parpol adalah Menteri Agama. Sadar bahwa Departemen Agama sempat jadi sarang hangat para koruptor, SBY menunjuk orang netral (di luar parpol) untuk memimpin Depag. Maka, Maftuh Basyuni yang ketika itu menjabat sebagai Dubes RI di Kerajaan Arab Saudi dipanggil. Sebagai salah seorang yang dikenal tegas sekaligus bersih dari sejarah pekat KKN semasa menapaki kariernya, Maftuh dengan mulus menjabat Menag, tanpa ada parpol menentangnya.

Hingga lebih dari 2 tahun ini menjabat sebagai Menag, Maftuh juga tak pernah tersandung masalah KKN, terutama korupsi. Dan di masa reformasi belakangan ini, justru orang-orang seperti itu hanya sedikit memiliki kawan. Karena budaya KKN begitu mengental, maka jika ada pihak yang sulit apalagi tak mau diajak kompromi --dan Maftuh salah satunya-- niscaya musuhnya semakin banyak. Dengan sedikit kesalahan saja, ia akan jadi bulan-bulanan mereka yang sebelumnya merasa "dipinggirkan".

Dalam hal kisruh logistik haji ini, mereka yang tidak suka dengan Maftuh tentu saja jadi memiliki senjata cukup ampuh untuk menggerogoti kursi Menag. Dan entah ada kaitannya atau tidak, PD dengan lantang menggoyang kursi Menag. Bahkan menyatakan ada sejumlah kader PD yang layak menggantikan Maftuh, meski mengelak jika dikatakan sengaja menyiapkan.

Sebagai partai utama yang mengusung terpilihnya SBY menjadi presiden, semestinya PD tak perlu berkoar jika ingin ada pergantian menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Cukup bergerak di "dalam" saja, dengan membicarakannya langsung dengan SBY. Toh, kelahiran PD dibidani SBY, sehingga setali tiga uang kepentingan PD sekaligus kepentingan SBY juga. Kecuali, jika ada pihak-pihak yang ingin memuluskan kepentingan pribadi sudah menyusup dalam tubuh PD.

Perihal suara pergantian Menag ini, kiranya dapat ditanggapi dengan bijak oleh SBY. Memang harus diakui bahwa Menag beserta jajarannya telah bersalah atas telantarnya jamaah haji saat wukuf kemarin. Tapi, melihat kiprah Menag selama ini, kesalahan yang ada cukup diberikan peringatan. Atau kalau perlu ada perombakan personal, maka diberikan kesempatan kepada Menag untuk mengganti anak buahnya yang terbukti mbalela dalam kasus logistik haji ini.

Sementara Menag, dengan wataknya yang tegas terlihat masih cukup mumpuni untuk melakukan perbaikan dalam tubuh Depag. Ketegasan Menag juga dirasakan oleh orang-orang Rembang --kampung halaman Menag-- yang justru mengaku tak bisa berbuat seenaknya sendiri memiliki tetangga yang jadi "orang". Karenanya, kesempatan kedua patut diberikan kepada Maftuh.[]

Bawabah Tiga, 3 Januari 2007

No comments: