Sebelum diberangkatkan ke Filipina, kami mendapatkan Pre-Deployment Training (PDT) sebagai upaya pengenalan tugas-tugas selama mengemban amanat sebagai Tim Pemantau Indonesia International Monitoring Team (TPI-IMT). Dalam PDT itu, selain penjabaran tugas-tugas formal, para instruktur yang sebagian besar memiliki pengalaman bertugas di IMT Filipina atau peace-keeping operations di belahan bumi lainnya, memberikan masukan mengenai budaya, tradisi, dan adat kebiasaan masyarakat setempat di Mindanao.
Salah satu yang menjadi perhatian kami adalah mengenai beberapa kali terulangnya kisah warga setempat yang meminjam uang kemudian berkelit saat jatuh tempo pembayaran. Menurut penuturan senior-senior IMT, mereka yang meminjam uang umumnya para staf di markas-markas IMT. Ada staf administrasi, tukang cuci, tukang kebun, tukang masak, juga driver. Tidak peduli latar belakangnya apa, bisa sipil, militer/GPH, ataupun milisi/MILF. Di TS2 sendiri, selain 6 member TS dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei, ada 12 staf pendukung dari warga setempat.
Kisah senior-senior yang ada pahitnya membuat para senior memberikan wejangan agar kami berhati-hati jika ada orang setempat hendak meminjam uang. Apalagi, staf IMT yang mengandalkan gaji dari Office of Presidential Adviser on the Peace Process (OPAPP), di mana kemudian kami alami sendiri terkadang OPAPP terlambat membayarkan kewajiban-kewajibannya kepada IMT. Keterlambatan OPAPP memenuhi kewajibannya juga telah diwanti-wanti oleh para senior.
Belum genap satu bulan bergabung dengan TS2 di Iligan City, Ahad siang, suasana sepi menggelayuti markas. Sepertinya sebagian besar sedang istirahat siang, terlelap di kamar masing-masing. Atau setidaknya sibuk dengan kegiatan kesenyapan di kamar masing-masing. Saya sendiri tengah duduk di depan laptop, menghadap jendela yang kaca nakonya saya buka. Tiba-tiba dari luar jendela salah satu staf TS2 mendekat lalu tersenyum dan terlihat kikuk.
Ia semakin mendekat kemudian dengan lirih mengajak saya berbincang. Ya, silakan ditebak, dan tepat, dia hendak meminjam uang. Menurut penuturannya, ia saat itu harus mentransfer uang ke keluarganya di Tubod, sekitar 80 km dari Iligan. Ia menyebutkan angka 1000 peso, atau sekitar 300 ribu rupiah saat ditanya berapa yang ia butuhkan. Menurutnya, besok hari Senin, pas awal bulan, ia akan menerima gaji dan segera akan mengembalikan pinjaman tersebut.
Saat mendengarkan permintaannya saya langsung teringat kisah para senior. Jadi bimbang. Tidak mungkin untuk tidak memberi pinjaman. Namun, apakah akan meminjamkan 1000 peso ataukah seperti saran sebagian senior, tidak harus dipinjami penuh sesuai angka yang diminta. Di lain detik juga teringat pesan “memberi pinjaman lebih baik daripada memberi sedekah karena orang yang meminta pinjaman artinya betul-betul membutuhkan”. Ya sudah, bismillah saya siapkan 1000 peso. Tapi, saya juga berpesan, “Betul ya besok dikembalikan, jangan bikin saya tidak percaya lagi.”
Kombinasi yang begitu “sempurna”: kisah-kisah kurang menyenangkan dari senior, didatangi dalam kondisi yang seperti sembunyi-sembunyi, diajak bicara dengan pelan-pelan seperti hendak menyembunyikan sesuatu, cerita dan pengalaman keterlambatan OPAPP, dst. Suudzon, mungkin itulah hal terbesar yang ada di dalam hati saat itu. Astaghfirullah. Untuk menghibur hati, saya pun berusaha mengikhlaskan seandainya tidak dibayar nantinya: setidaknya kelak bisa dijadikan “tameng” jika ada yang hendak meminjam lagi. Astaghfirullah.
Benar saja, rupanya suudzon saya itu betul-betul buruk. Besoknya hari Senin, dia betul-betul mengembalikan pinjaman itu. Utuh, hanya berubah dari sebelumnya sebuah pecahan 1000 peso menjadi dua pecahan 500 peso. Memang agak sore, tetapi tetap saja masih hari Senin. Membuat saya sangat menyesal saat berpesan agar ia tak membikin saya tidak percaya lagi kepadanya. Memang sudah sempat merasa menyesal saat mengucapkan pesan itu, tetapi menjadi begitu besar penyesalannya setelah ia benar mengembalikan pinjaman.
Rupanya, kombinasi “sesempurna” itu juga tidak bisa dijadikan alasan untuk berbuat suudzon. Dalam hati sebelumnya saya sempat membela diri: ini bukan suudzon, tapi curiga. Curiga, seingat pelajaran di madrasah diniyah saat kecil dulu, sepertinya masuk di antara satu dari 66 cabang iman. Tapi, ya sudahlah, mari lebih berhati-hati dalam berprasangka.[]
Iligan City, 5 Agustus 2016
No comments:
Post a Comment