Inilah
kali kedua memasuki camp militer MILF. Sebelumnya, pada patroli pertama
19 Juli 2016, berkesempatan melihat-lihat camp Bilal di Munai, yang
dikomandoi salah satu “jenderal” MILF penuh karisma, Commander Abdullah “Bravo”
Makapaar. Namun, saat itu Camp Bilal sangat sepi dan tidak tampak
sebagai pusat pelatihan milier, lebih terlihat sebagai perkampungan penduduk
sipil biasa; jalan yang masih tanah liat dan minus pemenuhan listrik. Konon, camp
tersebut memang masih layer terluar dari bagian pusat pelatihan militer.
Adapun untuk mencapai tempat pelatihan dalam arti sebenarnya masih harus
berjalan kaki berjam-jam lamanya.
Kali
ini, 25 Juli 2016, berkesempatan memasuki Camp Ali bin Abi Thalib, juga layer
terluarnya dan bahkan camp ini baru dibangun dikhususkan untuk
menerima tamu-tamu pihak eksternal; tidak dikhususkan sebagai tempat pelatihan
militer. Berada di tengah pegunungan dan mesti turun dari mobil dan berjalan
kaki sekitar 1 km untuk mencapainya, camp ini dalam waktu dekat
sepertinya akan segera terjangkau oleh jalan beraspal atau berbeton. Tampak pembangunan
di sepanjang jalan menuju camp ini terus dikebut.
Oleh
para anggota MILF, jalan ini disebut dikerjakan oleh para kontraktor yang
ditunjuk oleh Pemerintah Filipina. Camp ini sendiri terletak di dekat jalan
tembus baru—betul-betul menembus hutan lebat—antara Marawi City ke arah Wao
City. Sebelumnya, jika dari Marawi hendak pergi ke Wao maka harus berputar ke arah
utara dulu, lanjut ke timur, baru ke selatan menuju Wao. Kini, dengan adanya
jalan baru ini, yang sementara baru bisa dilalui kendaraan bermotor saat jauh
dari musim hujan, cukup lurus saja ke selatan dari Marawi menuju Wao.
Saat
bulan April lalu rombongan Head of Mission IMT memasuki camp ini,
bahkan jalan kaki ditempuh lebih jauh yakni sekitar 4 km, dikali dua karena
saat berangkat dan pulang demikian adanya. Kini, dengan pengebutan pemadatan
jalan itu, saat berangkat memang harus berjalan 1 km, tetapi pulangnya bisa langsung
naik mobil dari dalam camp karena para driver mampu mengendalikan
jalan tanah liat itu. Tentu saja harus dengan ekstra hati-hati.
Ketika
sampai di 103rd Base Command MILF yang terletak di Municipality Maguing,
tepatnya Barangay Dilimbayan, rombongan TS2 IMT langsung disambut dan dikalungi
semacam medali oleh Aleem Mujahid M Dima-Ampao, komandan base command ini,
dan jajarannya. Berikutnya, upacara militer ala Bangsamoro Islamic
Liberation Front/BIAF-MILF dilaksanakan, sementara rombongan IMT dipersilakan
naik ke panggung. Upacara militer dimulai dengan teriakan komandan upacara
dengan slogan-slogan jihad muslim: Allahu ghoyatuna, al-qur’anu dusturuna,
ar-rasulu qudwatuna, dst.
Selesai
upacara militer, para tamu dari IMT yang terdiri dari TS2 dan Non-violence
Peace-force (NP) ini dipersilakan singgah di kediaman Aleem Mujahid yang
berada di belakang aula tempat pertemuan—yang juga biasa digunakan sebagai
masjid. Di kediaman Aleem Mujahid ini, para tamu disuguhi sarapan. Beberapa anggota
rombongan yang berpuasa pun, demi menghormati tuan rumah, terpaksa membatalkan
puasa Senin itu. Mungkin karena rombongan TS2 IMT semuanya beragama Islam, suasana
tampak sangat akrab, nyaris tanpa kekakuan atau formalitas.
Setelahnya,
semua menuju aula pertemuan di mana sekitar 200 anggota BIAF/MILF telah menunggu.
Tidak terlalu banyak yang disampaikan TS2 dalam pertemuan ini karena TS2 memang
“sekadar” hendak melihat perkembangan situasi. Kol. Romi selaku TS Leader hanya
menyampaikan perkenalan singkat, mengingat 3 dari 4 anggota TS2 yang hadir baru
pertama kali ini berkesempatan silaturahmi ke Camp Ali bin Abi Thalib. Kol.
Romi juga menegaskan bahwa IMT akan berusaha sekuat tenaga agar perdamaian di Moro
homeland segera tercapai.
Pertemuan
ini lebih dimanfaatkan oleh NP yang datang untuk memberikan memberikan
penyuluhan mengenai hukum humaniter internasional dan penegasan kembali komitmen
semua pihak, termasuk MILF, mengenai pencegahan rekrutmen anak-anak menjadi
anggota militer. Selain itu, NP mempresentasikan substansi United Nations
Convention on Protection of the Child (UN CPC).
NP
sempat memancing usia berapakah anak-anak dianggap sudah melewati masa
larangannya menjadi tentara. Sebagian anggota BIAF menyebut angka 15, ada juga
16 dan 17 tahun. NP pun kembali mengingatkan bahwa baru saat melewati usia 18
tahunlah seseorang boleh diajak bergabung dengan pasukan militer. Tidak semua percakapan
di antara NP dan anggota MILF itu mudah dimengerti, mengingat sebagian besar
percakapan mereka menggunakan bahasa lokal, Maranao. Kebetulan, dari 4 personel
NP yang hadir, 3 di antaranya merupakan warga asli Mindanao. Hanya satu yang
berasal dari luar, dan jauh sekali, Finlandia.
Selain
ditemui oleh Base Commander, Aleem Mujahid M Dima-Ampao, rombongan IMT
juga ditemui atasannya, yakni Commander Jannati Mimbantas, Komandan MILF
North Eastern Mindanao Front (NEMF), yang selevel dengan Commander Bravo
sebagai Komandan MILF North West Mindanao Front (NWMF). Pada pertemuan
ini, Commander Jannati menginformasikan kepada para anggotanya bahwa MILF pada
12 Juli 2016 di Davao City telah menyepakati kerja sama dengan Pemerintah
Filipina perihal pemberantasan peredaran narkoba. Dengan kesepakatan ini, BIAF
memiliki kewenangan untuk turun tangan langsung dalam melawan individu ataupun
geng-geng yang terlibat penyalahgunaan narkoba.
Dari
pengamatan pada pertemuan itu, terlihat anggota BIAF, setidaknya yang hadir
saat itu, didominasi kalangan orang-orang tua, dengan umur berkisar 50-60 tahun.
Senjata yang mereka tenteng pun—yang dibeli oleh mereka masing-masing karena
menjadi anggota BIAF ini sendiri merupakan langkah sukarela atas panggilan
jihad—tampak tidak terlalu sophisticated. Konon, senjata mereka dibeli
dari anggota militer Filipina, yang pada beberapa kesempatan justru menjadi
pihak yang mereka hadapi di medan pertempuran.
Selain
kalangan orang tua, tampak menonjol juga para tentara berjilbab, bahkan banyak
juga bercadar, yang tergabung dalam MILF-Bangsamoro Islamic Women Auxiliary
Brigade (BIWAB). Hanya saja, para anggota BIWAB ini tidak aktif menjadi
peserta upacara sambutan militer, hanya menjadi penonton seperti tamu lainnya. Demikian
pula tidak tampak di antara mereka yang menenteng senjata api. Konon, anggota
BIWAB ini lebih banyak diandalkan di balik panggung pertempuran, seperti
penyediaan logistik dan penanganan kesehatan. Namun, menurut pengakuan security
IMT yang berasal dari MILF, para anggota BIWAB ini juga dibekali pelatihan
militer selayaknya kaum laki-laki. Tentunya pelatihan mereka terpisah, hanya
instrukturnya yang juga terdiri dari sebagian laki-laki.
Dominasi
kalangan tua di BIAF ini dapat ditengarai sebagai indikasi mengendurnya semangat
atau militansi generasi muda MILF. Atau, bisa jadi para generasi muda MILF kini
memandang bahwa menjadi tentara yang konotasinya adalah berperang sudah tidak
relevan lagi saat ini. Hal ini bisa menjadi pisau bermata dua: jika perdamaian
tercapai maka itu sangat bagus dan mudah untuk langkah demiliterisasi, tetapi
di sisi lain akan menjadi kerugian bagi MILF seandainya di masa depan harus
terjadi kontak senjata lagi dengan pihak luar. Tentu saja harapannya adalah
yang pertama: perdamaian permanen tercapai dan biarlah yang menjadi tentara
mengikuti jalan persatuan bersama militer Pemerintah Filipina. []
Illigan City, 26 Juli 2016
No comments:
Post a Comment