Usai tadarus Al Quran tadi malam, teman dari
Brunei Darussalam menyampaikan rasa terima kasihnya karena telah diajak
bersama-sama rutin membaca Al Quran. Setiap malam pun sebenarnya ia juga mengucapkan
terima kasih, konon karena senang bacaannya ada yang mengoreksi. Namun, tadi
malam rasa terima kasihnya seperti berbeda.
Rupanya ia kemudian menceritakan bahwa
pada usianya yang menginjak 46 tahun pada 2017 ini, sebenarnya ia baru
benar-benar mau dan mampu membaca Al Quran hanya dalam setahun belakangan ini.
Bisa dibayangkan, warga dewasa dari sebuah negara yang berasaskan Islam,
rupanya ada yang tidak bisa membaca Al Quran.
Kilas balik kehidupannya, sebenarnya
saat kecil dulu ia sempat belajar ugama (agama). Pagi di sekolah formal, sore
di sekolah ugama atau di Indonesia barangkali bisa disejajarkan dengan madrasah
diniyyah ataupun taman pendidikan Al Quran. Ia juga mengungkapkan
bahwa di sekolah pagi pun ada pelajaran ugama, tetapi sangat terbatas. Nyaris
persis seperti umumnya sistem pendidikan di Indonesia, ya?
Sayangnya, ia akui, saat belajar ugama di
sore hari, ia tak merasa bersemangat. Suka membolos, dan ujung-ujungnya tingkat
satu pun tak bisa dilewatinya. Ya, belum genap satu tahun, ia tak melanjutkan
sekolah ugama. Mungkin tidak terlalu penting untuk menelisik lebih jauh kenapa
sampai berhenti sekolah ugama sehingga tingkat satu pun—dari enam tingkat dasar
yang seharusnya dilalui—tidak bisa ia lewati.
Akan ada banyak alasan, mungkin, sama
seperti sebagian juga teman-teman kita, orang Indonesia, negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia, yang juga memilih atau dihadapkan untuk tidak
melanjutkan madrasah diniyyah. Tidak ada yang perlu disalahkan. Jika kita
adalah orang tua maka salahkanlah diri kita kenapa tidak memaksa anak-anak kita
menuntaskan belajar mengajinya. Jika kita adalah anak-anak, remaja, atau dewasa
yang merasa bertanggung jawab, maka salahkan diri kita kenapa tidak memaksa
diri sendiri untuk belajar dasar-dasar agama. Bukan karena didesak orang tua,
bukan pula karena didesak peraturan negara, misalnya. Ini kebutuhan kita,
kebutuhan keluarga kita, yang ujung-ujungnya dapat memberikan manfaat untuk
lingkungan yang lebih besar, termasuk negara.
Kembali ke cerita Brunei. Pada masa kecilnya
tahun 1970-an, belajar di sekolah ugama pada sore hari tidak diatur oleh
negara. Baru pada tahun-tahun belakanganlah, menurutnya, anak-anak diwajibkan
untuk belajar ugama di sore hari, setelah belajar formal (baca: umum) di pagi
hari. Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai peran negara yang mengatur
kewajiban belajar ugama itu, juga bagaimana implikasi dan hasilnya kemudian.
Hanya saja, menurutnya, anak-anak Brunei
zaman sekarang lebih beruntung dengan kewajiban itu. Tidak seperti dirinya yang
baru sadar untuk mau belajar ugama, setidaknya membaca Al Quran, saat usia
menginjak 45 tahun. Diakuinya tidak mudah juga untuk belajar Al Quran di tengah
pembagian waktu untuk 3K yang selama ini menghiasi dan terasa sudah memenuhi atau
mencukupi hidupnya: keluarga, kerja, kawan. Jika tidak dibarengi dengan tekad
kuat, susah baginya untuk betul bisa mampu membaca Al Quran seperti keadaan
saat ini, meski diakuinya masih juga banyak yang harus dikoreksi.
Di usianya yang 45 tahun, ia kembali
belajar a-ba-ta-tsa. Dimarahi guru ngajinya berkali-kali adalah hal biasa.
Terlihat juga bahwa guru ngajinya terkadang tampak kesal karena kesulitan
membedakan tsa-sa-sya-sha atau dhad-zha’. Tertatih-tatih seperti itu, tetapi
tetap ia jalani dengan tekun. Hasilnya, dalam setahun ini, konon ia telah mengkhatamkan
Al Quran 3 kali. Saya hanya bisa mendorongnya untuk terus membaca Al Quran,
tetapi saya ingatkan juga bahwa membaca Al Quran seyogianya harus ada gurunya,
tidak bisa lulus serta lancar a-ba-ta-tsa dan seluk-beluknya kemudian sendirian
mengkhatamkan Al Quran secara mandiri. Ia pun sempat terlihat kaget, namun
kemudian berterima kasih atas nasihat itu.
Dulu, baginya, tidak bisa membaca Al Quran
pun rasanya biasa saja. Di militer Brunei, setiap kesatuan sebenarnya ada
tadarus rutin yang harus diikuti semua personel. Namun, ada saja cara
mengakalinya kalau memang hendak mengelak. Misalnya, ia tetap mengikuti acara
tadarus itu, tetapi saat samping kanannya selesai membaca, mikrofon diterimanya
dan langsung diberikan lagi kepada samping kirinya untuk melanjutkan. Berbuat
begitu karena malu, katanya, sebab menyadari diri tidak lancar membaca Al
Quran. Hal ini menunjukkan betapa jika tidak ada tekad kuat dari dalam diri
sendiri, memang tidak akan ada jalan untuk belajar dan memperbaiki diri.
Saat menceritakan kisahnya, ia
berkali-kali menyebutkan kata penyesalan. Menyesal kenapa baru saat berusia 45
tahun menyadari bahwa membaca Al Quran adalah kewajiban. Baru menyadari membaca
Al Quran mampu mendamaikan hati dan pikiran. Berkali-kali pula saya semangati
bahwa lebih baik menyesal saat ini (atau tahun lalu) kemudian memperbaikinya
daripada tidak ada penyesalan sama sekali.
Tidak ada kata terlambat. Tidak ada kata
habis. Selagi napas masih dikandung badan, kesempatan belajar harus
dimanfaatkan, betapa pun malunya saat ini. Lebih baik malu saat ini daripada
tidak ada perbaikan. Sebaik apa pun bacaan kita saat ini, yakinlah bahwa masih
ada bahkan banyak yang lebih baik lagi bacaannya. Mungkin juga sebaik-baik
bacaan kita saat ini masih mengandung kesalahan, maka sebaiknya terus bertanya
kepada yang lebih ahli.[]
No comments:
Post a Comment