islam untuk dki-1
saya adalah orang yang tak alergi jika dki dipimpin oleh ahok. tapi sebagai santri, rasanya saya juga berkewajiban untuk berusaha menampilkan bahwa "oke ahok memiliki prestasi, tapi kami juga punya deretan nama yang tak kalah baik".
maka kemudian muncullah dalam benak cara-cara mengalahkan ahok. sebenarnya lebih tepatnya cara memenangkan dki-1 dan kekalahan ahok adalah bonusnya. kekalahan ahok dijadikan akibat, dengan sebab kemenangan kita.
1. jangan fokus pada gerakan ahok dan pendukungnya. biarkan mereka berjalan atau hanya diam, sementara kita kerjakan langkah kita, jangan hanya diam. fokuslah pada persiapan sendiri: siapkan calon terbaik. pendukung ahok sudah sedemikian rapi dan sudah jauh-jauh hari melangkahkan kaki, sementara kita masih jalan di tempat, atau bahkan baru berpikir mau melangkah menggunakan kaki yang mana. sungguh kontradiktif dengan keinginan menggebu untuk "menampilkan islam sebagai terbaik dan terdepan" (ingat, bukan "menyingkirkan ahok").
2. ada perbedaan mencolok antara "menampilkan islam sebagai terbaik dan terdepan" dan "menyingkirkan ahok". jika kita hanya ingin "menyingkirkan ahok" maka, kalau dalam sepak bola, kembali kita hanya fokus menampilkan permainan defensif. tak sempat menyerang, kecuali hanya melalui serangan balik, itu pun kalau sempat. adapun jika kita kedepankan "menampilkan islam sebagai terbaik dan terdepan" maka kita akan lebih peduli pada menampilkan kebaikan-kebaikan, serta menambal kelemahan-kelemahan kita. dengan sendirinya, kesempurnaan semakin didekati, dan jika itu berhasil, sudah otomatis islam betul terbaik dan terdepan, serta ahok akan tersingkir. jadi, "tersingkirnya ahok" adalah bonus, jangan dijadikan tujuan.
3. saring calon-calon kandidat muslim, misalnya sandiaga uno, risma, dan anies baswedan. nama lain tentu saja bisa ditambahkan. ketiga nama ini muncul secara subyektif saja.
sandiaga uno
+ sudah ada dukungan resmi pengusung, gerindra, disusul dpw pkb (mesti menunggu surat resmi dpp tentunya)
+ santun
+ muslim taat, konon rajin puasa senin-kamis juga
+ pengalaman sukses memimpin perusahaan
- dukungan partai belum cukup
- belum ada pengalaman birokrasi/pemerintahan
--> cari tambahan dukungan partai
--> cari calon wakil yang berpengalaman di bidang pemerintahan/PNS; tonjolkan kemampuan manajerial (meski beda konteks, antara birokrasi/pemerintahan dan swasta, tentunya ada kesamaan tantangan "mengatur banyak orang")
risma
+ sukses memimpin surabaya dalam 6 tahun terakhir
- belum genap setahun mengucap sumpah sebagai walikota surabaya periode kedua
anies baswedan
+ kalem
+ berpengalaman memimpin dan memajukan organisasi yang cukup besar: universitas paramadina dan kemendikbud (meski hanya 20 bulan)
+ sedang "menganggur"
- belum ada partai yang menyatakan siap mendukung
ketiga nama ini tidak harus dipilih satu. mari berpikir logis saja, menyatukan suara umat islam pada masa sekarang sangatlah sulit, atau malah seperti nyaris mustahil, apalagi di masa-masa awal kontestasi. terlalu banyak orang yang ingin maju sendiri, atau memajukan pilihannya sendiri. rasionalnya, ketiganya bisa sama-sama maju, tentu asal masing-masing memiliki syarat yang cukup untuk mendaftar: didukung partai atau gabungan partai dengan jumlah minimal 22 kursi di DPRD DKI.
hanya saja, jika sejak awal sudah ada kesepakatan bersama untuk mengusung satu nama saja, mungkin memang akan lebih baik. namun, melihat begitu cairnya pergerakan politik di jakarta, muncul 2-3 nama lawan ahok menjadi sangat masuk akal. munculnya lebih dari satu nama mungkin memang akan membuat plus-minus sih: satu nama terlihat lebih solid, tetapi juga akan semakin mengesankan ahok "dikeroyok". di indonesia, kesan dikeroyok kadang malah mendatangkan simpati, terutama dari swing voters.
so, menghindari "simpati gratis" untuk lawan politik dengan membuat 2-3 nama untuk diajukan bisa menjadi alternatif pilihan. hanya, memang risikonya juga cukup besar: jangan-jangan ahok bisa langsung mendapat 50% plus satu suara. di sinilah kejelian para pembuat keputusan diuji. maka tak mengherankan jika hingga kini PDI-P tak jua memutuskan apakah akan mendukung ahok, mengusung calon sendiri, atau bergabung dengan partai lain--terlepas dari kelebihan sebagai satu-satunya partai yang memiliki kemampuan untuk mengusung calon secara mandiri.
mudah dilihat, sungguh tidak sederhana menyiapkan "islam terbaik dan terdepan" untuk DKI-1 ini. maka sepertinya tak akan dalam waktu dekat pula kita dapati nama-nama definitif dari "deretan nama yang lebih baik dari petahana". semua terus berproses di tangan para pemegang kuasa (kursi) itu. kita hanya bisa meminta dan mengarahkan mereka untuk memilih nama-nama terbaik dari kita itu. dan harus tetap diingat bahwa kita tidak bisa mencegah pemilik kursi lainnya yang telah menetapkan pilihan yang tak sesuai harapan kita.
4. jika sudah ada nama definitif untuk maju dalam pilkada, maka saatnya untuk terus menaikkan pamornya. konon, cara merebut kekuasaan adalah dengan naikkan diri dan menjatuhkan orang lain. itu di politik secara umum. tapi jika hendak membawa islam dalam politik, mari kita gunakan cara-cara islam: menaikkan diri tanpa menjatuhkan orang lain. penuhi medsos dengan kebaikan. jauhkan diri dari mengurusi orang lain.
dalam berpolitik pun, fitnah tetap diharamkan oleh islam. bahkan islam juga mengajarkan untuk menutupi aib orang lain. maka jangan senang saat mendengar kabar tentang aibnya orang lain. turut menyebarkannya adalah dosa: jika aib itu benar maka termasuk ghibah, dan jika aib itu salah malah jatuhnya menjadi fitnah. naudzu billah min dzalik.
kembali lagi: fokus pada perbaikan diri, atau menyebarkan kebaikan diri untuk menstimulus kebaikan-kebaikan berikutnya. berpikirlah bahwa kalaupun ahok tidak pantas menjadi gubernur, itu bukan karena dia bermata sipit, bukan pula karena tidak/belum bersyahadat, melainkan karena: ini loh calonku lebih baik, jauh lebih baik! jadi mari tunjukkan kebaikan itu. kebaikan islam. islam yang ramah kepada nonmuslim. islam yang adil memberi kesempatan kepada nonmuslim untuk fastabiqul khoirot juga.
5. proporsional juga perlu dikedepankan. jika masih juga tak tahan untuk mengirim kritikan (semoga bukan cacian) kepada pemimpin petahana, sebaiknya jangan menahan diri juga untuk bisa mengakui capaian yang ada. klaim 1 juta KTP (terlepas belum ada pembuktian riil di lapangan) menunjukkan bahwa cukup banyak juga yang mengakui hasil kinerjanya. faktanya, tidak ada satu pun kandidat yang berani atau mampu mengumpulkan jumlah dukungan KTP yang sama, bagaimana pun caranya. semua pemimpin patut mendapat pujian untuk kinerja baiknya, juga kritik atas kinerja buruknya. sebagai rakyat, kita hanya perlu menyikapinya secara proporsional. hanya memujinya adalah racun baginya, sementara hanya mengkritik, apalagi mencaci, adalah racun bagi kita.
6. jalin komunikasi yang baik dengan siapa pun. tidak ada gunanya memusuhi kandidat atau pendukung lawan. terutama kepada para kandidat, sangat penting rasanya untuk memperlihatkan "kemesraan" dengan para kandidat lainnya. karena jika satu saja kalimat negatif atas lawan keluar dari muncul salah saut kandidat, maka otomatis satu kalimat itu akan bergaung beribu atau bahkan berjuta kali sesuai jumlah pendukungnya. sebaliknya, jika kata-kata adem yang muncul dari para kandidat maka hangatlah suasana kontestasi.
7. the last but not least, setelah semua ikhtiar, kita hanya bisa berdoa. saat palu KPU akan diketok nanti, saat ikhtiar dan doa "tertutup", maka saatnya untuk berpasrah. siapa pun yang terpilih, termasuk jika itu adalah orang yang sangat tidak kita inginkan untuk terpilih, ya harus kita hormati. sudah tidak ada lagi ikhtiar dan doa untuk berebut kursi, kecuali disiapkan untuk 5 tahun mendatang. bahkan yang terpilih pun, asal bukan incumbent, mungkin juga langsung bersiap untuk kontestasi periode berikutnya!
8. sandi, risma, anies, ahok, ya, AHOK, atau siapa pun yang terpilih, mari kita dukung, atau setidaknya biarkan ia bekerja selama 5 tahun. jika kita masih sakit hati juga rasanya, acuhkan saja ia. merecokinya, termasuk membahas kekurangan-kekurangannya, apalagi yang sifatnya belum terkonfirmasi, hanya akan menambah rasa sakit hati. na'udzu billah min dzalik.
menutup tulisan ini, mari resapi pesan KH Ulin Nuha Arwani Kudus: jadilah pemimpin yang ditaati atau pengikut yang taat; janganlah menjadi orang ketiga yang sering berkeluh kesah atau tidak sabar.
iligan city, 27-8-16
Saturday, August 27, 2016
islam dan politik
sebenarnya saya bukan orang yang terlalu bergairah membicarakan politik-islam. tapi melihat fenomena belakangan ini makin banyak yang getol membawa-bawa islam di kancah politik nasional, rasanya bikin gatel untuk ikut sekadar sumbang kata.
islam, sebuah agama yang agung. sempurna, tak ada kekurangannya. jadi jika ada yang melihat kekurangan dalam islam, mari pikirkan lagi: yang tidak sempurna islamnya atau pemeluk islamnya?
jika ada cacian kepada seseorang, apakah itu diajarkan islam? jika ada fitnah kepada seseorang, apakah itu ajaran islam? jika ada menyalah-nyalahkan orang, apakah itu nilai islam?
jelas tidak!
jika kita, umat islam, di sebuah tempat yang mayoritas penduduknya pemeluk islam, mari tunjukkan islam yang sempurna! islam yang tak mencaci. islam yang tak memfitnah. islam yang jujur. islam yang adil: adil kepada semua makhluk. jangankan pemeluk agama lain, kepada binatang yang tak beragama pun kita harus adil.
selangkah demi selangkah itu harus ditempuh. memperbaiki dari bawah; dari yang terkecil, dari diri sendiri, dan dari sekarang juga. jika tiba-tiba membawa jargon "(orang) islam yang terbaik, islam harus di depan" maka akan ditertawakan, karena dilihat oleh orang kebanyakan: kok islam memfitnah, kok islam mencaci, kok islam tidak adil, kok islam tidak jujur? maka jatuhlah pilihan orang-orang itu kepada "orang lain", yang "terlihat" jujur, adil, tidak memfitnah, tidak mencaci.
membangun itu dari menata bata demi bata yang ditata, batu demi batu, bahkan kerikil demi kerikil. kecuali membangun untuk roro jonggrang.
iligan city, 26-8-16
Tuesday, August 09, 2016
Ayo Belajar Ngaji, Sekarang!
Usai tadarus Al Quran tadi malam, teman dari
Brunei Darussalam menyampaikan rasa terima kasihnya karena telah diajak
bersama-sama rutin membaca Al Quran. Setiap malam pun sebenarnya ia juga mengucapkan
terima kasih, konon karena senang bacaannya ada yang mengoreksi. Namun, tadi
malam rasa terima kasihnya seperti berbeda.
Rupanya ia kemudian menceritakan bahwa
pada usianya yang menginjak 46 tahun pada 2017 ini, sebenarnya ia baru
benar-benar mau dan mampu membaca Al Quran hanya dalam setahun belakangan ini.
Bisa dibayangkan, warga dewasa dari sebuah negara yang berasaskan Islam,
rupanya ada yang tidak bisa membaca Al Quran.
Kilas balik kehidupannya, sebenarnya
saat kecil dulu ia sempat belajar ugama (agama). Pagi di sekolah formal, sore
di sekolah ugama atau di Indonesia barangkali bisa disejajarkan dengan madrasah
diniyyah ataupun taman pendidikan Al Quran. Ia juga mengungkapkan
bahwa di sekolah pagi pun ada pelajaran ugama, tetapi sangat terbatas. Nyaris
persis seperti umumnya sistem pendidikan di Indonesia, ya?
Sayangnya, ia akui, saat belajar ugama di
sore hari, ia tak merasa bersemangat. Suka membolos, dan ujung-ujungnya tingkat
satu pun tak bisa dilewatinya. Ya, belum genap satu tahun, ia tak melanjutkan
sekolah ugama. Mungkin tidak terlalu penting untuk menelisik lebih jauh kenapa
sampai berhenti sekolah ugama sehingga tingkat satu pun—dari enam tingkat dasar
yang seharusnya dilalui—tidak bisa ia lewati.
Akan ada banyak alasan, mungkin, sama
seperti sebagian juga teman-teman kita, orang Indonesia, negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia, yang juga memilih atau dihadapkan untuk tidak
melanjutkan madrasah diniyyah. Tidak ada yang perlu disalahkan. Jika kita
adalah orang tua maka salahkanlah diri kita kenapa tidak memaksa anak-anak kita
menuntaskan belajar mengajinya. Jika kita adalah anak-anak, remaja, atau dewasa
yang merasa bertanggung jawab, maka salahkan diri kita kenapa tidak memaksa
diri sendiri untuk belajar dasar-dasar agama. Bukan karena didesak orang tua,
bukan pula karena didesak peraturan negara, misalnya. Ini kebutuhan kita,
kebutuhan keluarga kita, yang ujung-ujungnya dapat memberikan manfaat untuk
lingkungan yang lebih besar, termasuk negara.
Kembali ke cerita Brunei. Pada masa kecilnya
tahun 1970-an, belajar di sekolah ugama pada sore hari tidak diatur oleh
negara. Baru pada tahun-tahun belakanganlah, menurutnya, anak-anak diwajibkan
untuk belajar ugama di sore hari, setelah belajar formal (baca: umum) di pagi
hari. Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai peran negara yang mengatur
kewajiban belajar ugama itu, juga bagaimana implikasi dan hasilnya kemudian.
Hanya saja, menurutnya, anak-anak Brunei
zaman sekarang lebih beruntung dengan kewajiban itu. Tidak seperti dirinya yang
baru sadar untuk mau belajar ugama, setidaknya membaca Al Quran, saat usia
menginjak 45 tahun. Diakuinya tidak mudah juga untuk belajar Al Quran di tengah
pembagian waktu untuk 3K yang selama ini menghiasi dan terasa sudah memenuhi atau
mencukupi hidupnya: keluarga, kerja, kawan. Jika tidak dibarengi dengan tekad
kuat, susah baginya untuk betul bisa mampu membaca Al Quran seperti keadaan
saat ini, meski diakuinya masih juga banyak yang harus dikoreksi.
Di usianya yang 45 tahun, ia kembali
belajar a-ba-ta-tsa. Dimarahi guru ngajinya berkali-kali adalah hal biasa.
Terlihat juga bahwa guru ngajinya terkadang tampak kesal karena kesulitan
membedakan tsa-sa-sya-sha atau dhad-zha’. Tertatih-tatih seperti itu, tetapi
tetap ia jalani dengan tekun. Hasilnya, dalam setahun ini, konon ia telah mengkhatamkan
Al Quran 3 kali. Saya hanya bisa mendorongnya untuk terus membaca Al Quran,
tetapi saya ingatkan juga bahwa membaca Al Quran seyogianya harus ada gurunya,
tidak bisa lulus serta lancar a-ba-ta-tsa dan seluk-beluknya kemudian sendirian
mengkhatamkan Al Quran secara mandiri. Ia pun sempat terlihat kaget, namun
kemudian berterima kasih atas nasihat itu.
Dulu, baginya, tidak bisa membaca Al Quran
pun rasanya biasa saja. Di militer Brunei, setiap kesatuan sebenarnya ada
tadarus rutin yang harus diikuti semua personel. Namun, ada saja cara
mengakalinya kalau memang hendak mengelak. Misalnya, ia tetap mengikuti acara
tadarus itu, tetapi saat samping kanannya selesai membaca, mikrofon diterimanya
dan langsung diberikan lagi kepada samping kirinya untuk melanjutkan. Berbuat
begitu karena malu, katanya, sebab menyadari diri tidak lancar membaca Al
Quran. Hal ini menunjukkan betapa jika tidak ada tekad kuat dari dalam diri
sendiri, memang tidak akan ada jalan untuk belajar dan memperbaiki diri.
Saat menceritakan kisahnya, ia
berkali-kali menyebutkan kata penyesalan. Menyesal kenapa baru saat berusia 45
tahun menyadari bahwa membaca Al Quran adalah kewajiban. Baru menyadari membaca
Al Quran mampu mendamaikan hati dan pikiran. Berkali-kali pula saya semangati
bahwa lebih baik menyesal saat ini (atau tahun lalu) kemudian memperbaikinya
daripada tidak ada penyesalan sama sekali.
Tidak ada kata terlambat. Tidak ada kata
habis. Selagi napas masih dikandung badan, kesempatan belajar harus
dimanfaatkan, betapa pun malunya saat ini. Lebih baik malu saat ini daripada
tidak ada perbaikan. Sebaik apa pun bacaan kita saat ini, yakinlah bahwa masih
ada bahkan banyak yang lebih baik lagi bacaannya. Mungkin juga sebaik-baik
bacaan kita saat ini masih mengandung kesalahan, maka sebaiknya terus bertanya
kepada yang lebih ahli.[]
Friday, August 05, 2016
Antara Curiga dan Suudzon
Sebelum diberangkatkan ke Filipina, kami mendapatkan Pre-Deployment Training (PDT) sebagai upaya pengenalan tugas-tugas selama mengemban amanat sebagai Tim Pemantau Indonesia International Monitoring Team (TPI-IMT). Dalam PDT itu, selain penjabaran tugas-tugas formal, para instruktur yang sebagian besar memiliki pengalaman bertugas di IMT Filipina atau peace-keeping operations di belahan bumi lainnya, memberikan masukan mengenai budaya, tradisi, dan adat kebiasaan masyarakat setempat di Mindanao.
Salah satu yang menjadi perhatian kami adalah mengenai beberapa kali terulangnya kisah warga setempat yang meminjam uang kemudian berkelit saat jatuh tempo pembayaran. Menurut penuturan senior-senior IMT, mereka yang meminjam uang umumnya para staf di markas-markas IMT. Ada staf administrasi, tukang cuci, tukang kebun, tukang masak, juga driver. Tidak peduli latar belakangnya apa, bisa sipil, militer/GPH, ataupun milisi/MILF. Di TS2 sendiri, selain 6 member TS dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei, ada 12 staf pendukung dari warga setempat.
Kisah senior-senior yang ada pahitnya membuat para senior memberikan wejangan agar kami berhati-hati jika ada orang setempat hendak meminjam uang. Apalagi, staf IMT yang mengandalkan gaji dari Office of Presidential Adviser on the Peace Process (OPAPP), di mana kemudian kami alami sendiri terkadang OPAPP terlambat membayarkan kewajiban-kewajibannya kepada IMT. Keterlambatan OPAPP memenuhi kewajibannya juga telah diwanti-wanti oleh para senior.
Belum genap satu bulan bergabung dengan TS2 di Iligan City, Ahad siang, suasana sepi menggelayuti markas. Sepertinya sebagian besar sedang istirahat siang, terlelap di kamar masing-masing. Atau setidaknya sibuk dengan kegiatan kesenyapan di kamar masing-masing. Saya sendiri tengah duduk di depan laptop, menghadap jendela yang kaca nakonya saya buka. Tiba-tiba dari luar jendela salah satu staf TS2 mendekat lalu tersenyum dan terlihat kikuk.
Ia semakin mendekat kemudian dengan lirih mengajak saya berbincang. Ya, silakan ditebak, dan tepat, dia hendak meminjam uang. Menurut penuturannya, ia saat itu harus mentransfer uang ke keluarganya di Tubod, sekitar 80 km dari Iligan. Ia menyebutkan angka 1000 peso, atau sekitar 300 ribu rupiah saat ditanya berapa yang ia butuhkan. Menurutnya, besok hari Senin, pas awal bulan, ia akan menerima gaji dan segera akan mengembalikan pinjaman tersebut.
Saat mendengarkan permintaannya saya langsung teringat kisah para senior. Jadi bimbang. Tidak mungkin untuk tidak memberi pinjaman. Namun, apakah akan meminjamkan 1000 peso ataukah seperti saran sebagian senior, tidak harus dipinjami penuh sesuai angka yang diminta. Di lain detik juga teringat pesan “memberi pinjaman lebih baik daripada memberi sedekah karena orang yang meminta pinjaman artinya betul-betul membutuhkan”. Ya sudah, bismillah saya siapkan 1000 peso. Tapi, saya juga berpesan, “Betul ya besok dikembalikan, jangan bikin saya tidak percaya lagi.”
Kombinasi yang begitu “sempurna”: kisah-kisah kurang menyenangkan dari senior, didatangi dalam kondisi yang seperti sembunyi-sembunyi, diajak bicara dengan pelan-pelan seperti hendak menyembunyikan sesuatu, cerita dan pengalaman keterlambatan OPAPP, dst. Suudzon, mungkin itulah hal terbesar yang ada di dalam hati saat itu. Astaghfirullah. Untuk menghibur hati, saya pun berusaha mengikhlaskan seandainya tidak dibayar nantinya: setidaknya kelak bisa dijadikan “tameng” jika ada yang hendak meminjam lagi. Astaghfirullah.
Benar saja, rupanya suudzon saya itu betul-betul buruk. Besoknya hari Senin, dia betul-betul mengembalikan pinjaman itu. Utuh, hanya berubah dari sebelumnya sebuah pecahan 1000 peso menjadi dua pecahan 500 peso. Memang agak sore, tetapi tetap saja masih hari Senin. Membuat saya sangat menyesal saat berpesan agar ia tak membikin saya tidak percaya lagi kepadanya. Memang sudah sempat merasa menyesal saat mengucapkan pesan itu, tetapi menjadi begitu besar penyesalannya setelah ia benar mengembalikan pinjaman.
Rupanya, kombinasi “sesempurna” itu juga tidak bisa dijadikan alasan untuk berbuat suudzon. Dalam hati sebelumnya saya sempat membela diri: ini bukan suudzon, tapi curiga. Curiga, seingat pelajaran di madrasah diniyah saat kecil dulu, sepertinya masuk di antara satu dari 66 cabang iman. Tapi, ya sudahlah, mari lebih berhati-hati dalam berprasangka.[]
Iligan City, 5 Agustus 2016
Salah satu yang menjadi perhatian kami adalah mengenai beberapa kali terulangnya kisah warga setempat yang meminjam uang kemudian berkelit saat jatuh tempo pembayaran. Menurut penuturan senior-senior IMT, mereka yang meminjam uang umumnya para staf di markas-markas IMT. Ada staf administrasi, tukang cuci, tukang kebun, tukang masak, juga driver. Tidak peduli latar belakangnya apa, bisa sipil, militer/GPH, ataupun milisi/MILF. Di TS2 sendiri, selain 6 member TS dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei, ada 12 staf pendukung dari warga setempat.
Kisah senior-senior yang ada pahitnya membuat para senior memberikan wejangan agar kami berhati-hati jika ada orang setempat hendak meminjam uang. Apalagi, staf IMT yang mengandalkan gaji dari Office of Presidential Adviser on the Peace Process (OPAPP), di mana kemudian kami alami sendiri terkadang OPAPP terlambat membayarkan kewajiban-kewajibannya kepada IMT. Keterlambatan OPAPP memenuhi kewajibannya juga telah diwanti-wanti oleh para senior.
Belum genap satu bulan bergabung dengan TS2 di Iligan City, Ahad siang, suasana sepi menggelayuti markas. Sepertinya sebagian besar sedang istirahat siang, terlelap di kamar masing-masing. Atau setidaknya sibuk dengan kegiatan kesenyapan di kamar masing-masing. Saya sendiri tengah duduk di depan laptop, menghadap jendela yang kaca nakonya saya buka. Tiba-tiba dari luar jendela salah satu staf TS2 mendekat lalu tersenyum dan terlihat kikuk.
Ia semakin mendekat kemudian dengan lirih mengajak saya berbincang. Ya, silakan ditebak, dan tepat, dia hendak meminjam uang. Menurut penuturannya, ia saat itu harus mentransfer uang ke keluarganya di Tubod, sekitar 80 km dari Iligan. Ia menyebutkan angka 1000 peso, atau sekitar 300 ribu rupiah saat ditanya berapa yang ia butuhkan. Menurutnya, besok hari Senin, pas awal bulan, ia akan menerima gaji dan segera akan mengembalikan pinjaman tersebut.
Saat mendengarkan permintaannya saya langsung teringat kisah para senior. Jadi bimbang. Tidak mungkin untuk tidak memberi pinjaman. Namun, apakah akan meminjamkan 1000 peso ataukah seperti saran sebagian senior, tidak harus dipinjami penuh sesuai angka yang diminta. Di lain detik juga teringat pesan “memberi pinjaman lebih baik daripada memberi sedekah karena orang yang meminta pinjaman artinya betul-betul membutuhkan”. Ya sudah, bismillah saya siapkan 1000 peso. Tapi, saya juga berpesan, “Betul ya besok dikembalikan, jangan bikin saya tidak percaya lagi.”
Kombinasi yang begitu “sempurna”: kisah-kisah kurang menyenangkan dari senior, didatangi dalam kondisi yang seperti sembunyi-sembunyi, diajak bicara dengan pelan-pelan seperti hendak menyembunyikan sesuatu, cerita dan pengalaman keterlambatan OPAPP, dst. Suudzon, mungkin itulah hal terbesar yang ada di dalam hati saat itu. Astaghfirullah. Untuk menghibur hati, saya pun berusaha mengikhlaskan seandainya tidak dibayar nantinya: setidaknya kelak bisa dijadikan “tameng” jika ada yang hendak meminjam lagi. Astaghfirullah.
Benar saja, rupanya suudzon saya itu betul-betul buruk. Besoknya hari Senin, dia betul-betul mengembalikan pinjaman itu. Utuh, hanya berubah dari sebelumnya sebuah pecahan 1000 peso menjadi dua pecahan 500 peso. Memang agak sore, tetapi tetap saja masih hari Senin. Membuat saya sangat menyesal saat berpesan agar ia tak membikin saya tidak percaya lagi kepadanya. Memang sudah sempat merasa menyesal saat mengucapkan pesan itu, tetapi menjadi begitu besar penyesalannya setelah ia benar mengembalikan pinjaman.
Rupanya, kombinasi “sesempurna” itu juga tidak bisa dijadikan alasan untuk berbuat suudzon. Dalam hati sebelumnya saya sempat membela diri: ini bukan suudzon, tapi curiga. Curiga, seingat pelajaran di madrasah diniyah saat kecil dulu, sepertinya masuk di antara satu dari 66 cabang iman. Tapi, ya sudahlah, mari lebih berhati-hati dalam berprasangka.[]
Iligan City, 5 Agustus 2016
Thursday, August 04, 2016
Kunjungan Kehormatan kepada Para Big Boss MILF
Usai
mendapatkan induction training di Headquarter IMT, kontingen Indonesia
segera menyebar ke pos masing-masing di 4 kota berbeda. Sebelum berpencar,
sebagaimana kelaziman, kami pun melakukan kunjungan kehormatan atau biasa
disebut dalam bahasa kerennya sebagai courtesy call kepada MILF
Leadership di markas besar mereka, Camp Darapanan, Sultan Kudarat, Maguindanao,
pada 11 Juli 2016.
Camp
Darapanan, menurut penuturan salah satu anggota MILF, awalnya merupakan kediaman
pribadi Alhaj Murad Ibrahim, Chairman MILF. Setelah ditunjuk sebagai Chairman
MILF kemudian harus menerima banyak tamu, baik dari dalam maupun luar negeri,
kediaman itu disulap menjadi apa yang disebut selevel dengan “istana
kepresidenan MILF”. Dari jalan besar menuju Camp Darapanan kini tampak sangat rapi
dan kokoh.
Cor
jalan tersebut tampak masih baru. Saat ditanyakan kepada anggota MILF yang
mendampingi kami, ia membenarkan bahwa Pemerintah Filipina memang baru saja
memadatkan jalan tersebut. Padahal, jalan itu sepertinya bukan jalan umum,
melainkan jalan yang hanya menuju Camp Darapanan. Hal itu terbukti dengan
beberapa checkpoint terlihat dan tampak dijaga oleh para tentara
berseragam Bangsamoro Islamic Armed Forces (BIAF).
Tentara BIAF-MILF yang setia menjaga Camp
Darapanan
Memasuki
Camp Darapanan, layaknya “istana kepresidenan”, tampak para penjaga keamanan
bersenjata lengkap. Seragam mereka mungkin tak betul-betul seragam selayaknya
tentara suatu negara, mengingat setiap atribut, termasuk persenjataan, dibeli
oleh para tentara itu secara mandiri. Militansi lah yang membuat para tentara
ini terlihat selalu siaga menjaga “istana” pimpinan mereka.
Jangan
membandingkan “istana kepresidenan MILF” ini dengan Istana Negara di Jl Medan Merdeka
Utara, Jakarta, tentu saja, yang berada di jantung kota. “Istana kepresidenan
MILF” ini tampak sederhana. Saya membayangkan posisinya mirip dengan tengah
pedesaan tempat saya tumbuh di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Hanya, sedikit
lebih sepi karena sekaligus sebagai ruang komando MILF secara keseluruhan yang tentu
dijaga secara ketat dan tak sembarang orang bisa memasuki kawasan itu.
Dari
jalan utama menuju Camp Darapanan, kanan kiri tampak kebun rindang. Kadang juga
melewati hamparan sawah yang cukup luas. Paling mencolok adalah pohon-pohon
kelapa. Jika membuka jendela mobil, angin sepoi-sepoi terasa begitu memanjakan
kulit dan badan, meski cuaca tampak terik. Cuaca boleh terik, tapi dengan
lebatnya pepohonan, termasuk cukup lebat juga di pinggiran sawah yang kadang
dilalui, membuat pancaran sinar matahari tak terasa begitu “mengancam”.
Saat
tiba di Camp Darapanan, kontingen Indonesia disambut dengan hangat oleh para big
boss MILF. Hadir pada pertemuan itu di antaranya Alhaj Murad Ibrahim
(Chairman), Ibrahim Ja’far (1st Vice-Chairman for Political
Affairs), Toks Ibrahim (Chief of Staffs), Al Sheikh Abuhuraira Abdurrahman
Udasan (Mufti Bangsamoro), dan Aleem Nour (unsur pimpinan MILF yang juga
menjadi Direktur Grand Mosque Sultan Hassanal Bolkiah Cotabato City). Dua nama
terakhir merupakan para ulama MILF alumni perguruan tinggi Arab Saudi. Sementara
itu, 2nd Chairman, Aleem Malik Sulaiman (yang masa mudanya
dihabiskan untuk belajar di Sudan, Mesir, dan Libya dan dilanjutkan bergerilya
di hutan-hutan Mindanao) tidak dapat hadir karena sehari-hari posisinya di Marawi
City, salah satu basis MILF di Mindanao Barat, sekitar 7 jam perjalanan darat.
Dalam
pidato penyambutannya, Toks Ibrahim kagum dengan cerita-cerita tentang
Indonesia. Di antaranya, mengenai kisah jenderal-jenderal Indonesia yang begitu
peduli dengan anak buahnya. Melindungi sekaligus menaungi mereka. Adapun Chairman
Murad menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasihnya
atas partisipasi aktif Indonesia dalam IMT. Menurutnya, IMT dibentuk sejak 2003
pada masa Presiden Gloria Arroyo dengan tujuan memastikan ketenangan dan
ketenteraman di grass root untuk mendukung proses perdamaian antara MILF
dan Pemerintah Filipina.
Chairman
Murad juga memberikan update mengenai pertemuan terakhirnya dengan Duterte
yang memperkuat keyakinannya akan komitmen Duterte untuk menyelesaikan Bangsamoro
Basic Law dan proses perdamaian. Menurut pengamatannya, IMT selama ini
sangat membantu untuk menjaga atmosfer yang bagus demi terjaminnya kelancaran
proses perundingan perdamaian. Di akhir sambutannya, Chairman Murad menyatakan
kesiapannya untuk bekerja sama dengan IMT, khususnya kontingan Indonesia.
Chairman Murad pun mempersilakan kontingan Indonesia untuk menghubunginya atau
jajarannya jika membutuhkan bantuan MILF dalam hal apa pun.[]
Kunjungan Kehormatan kepada Para Big Boss MILF
Usai
mendapatkan induction training di Headquarter IMT, kontingen Indonesia
segera menyebar ke pos masing-masing di 4 kota berbeda. Sebelum berpencar,
sebagaimana kelaziman, kami pun melakukan kunjungan kehormatan atau biasa
disebut dalam bahasa kerennya sebagai courtesy call kepada MILF
Leadership di markas besar mereka, Camp Darapanan, Sultan Kudarat, Maguindanao,
pada 11 Juli 2016.
Camp
Darapanan, menurut penuturan salah satu anggota MILF, awalnya merupakan kediaman
pribadi Alhaj Murad Ibrahim, Chairman MILF. Setelah ditunjuk sebagai Chairman
MILF kemudian harus menerima banyak tamu, baik dari dalam maupun luar negeri,
kediaman itu disulap menjadi apa yang disebut selevel dengan “istana
kepresidenan MILF”. Dari jalan besar menuju Camp Darapanan kini tampak sangat rapi
dan kokoh.
Cor
jalan tersebut tampak masih baru. Saat ditanyakan kepada anggota MILF yang
mendampingi kami, ia membenarkan bahwa Pemerintah Filipina memang baru saja
memadatkan jalan tersebut. Padahal, jalan itu sepertinya bukan jalan umum,
melainkan jalan yang hanya menuju Camp Darapanan. Hal itu terbukti dengan
beberapa checkpoint terlihat dan tampak dijaga oleh para tentara
berseragam Bangsamoro Islamic Armed Forces (BIAF).
Tentara BIAF-MILF yang setia menjaga Camp
Darapanan
Memasuki
Camp Darapanan, layaknya “istana kepresidenan”, tampak para penjaga keamanan
bersenjata lengkap. Seragam mereka mungkin tak betul-betul seragam selayaknya
tentara suatu negara, mengingat setiap atribut, termasuk persenjataan, dibeli
oleh para tentara itu secara mandiri. Militansi lah yang membuat para tentara
ini terlihat selalu siaga menjaga “istana” pimpinan mereka.
Jangan
membandingkan “istana kepresidenan MILF” ini dengan Istana Negara di Jl Medan Merdeka
Utara, Jakarta, tentu saja, yang berada di jantung kota. “Istana kepresidenan
MILF” ini tampak sederhana. Saya membayangkan posisinya mirip dengan tengah
pedesaan tempat saya tumbuh di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Hanya, sedikit
lebih sepi karena sekaligus sebagai ruang komando MILF secara keseluruhan yang tentu
dijaga secara ketat dan tak sembarang orang bisa memasuki kawasan itu.
Dari
jalan utama menuju Camp Darapanan, kanan kiri tampak kebun rindang. Kadang juga
melewati hamparan sawah yang cukup luas. Paling mencolok adalah pohon-pohon
kelapa. Jika membuka jendela mobil, angin sepoi-sepoi terasa begitu memanjakan
kulit dan badan, meski cuaca tampak terik. Cuaca boleh terik, tapi dengan
lebatnya pepohonan, termasuk cukup lebat juga di pinggiran sawah yang kadang
dilalui, membuat pancaran sinar matahari tak terasa begitu “mengancam”.
Saat
tiba di Camp Darapanan, kontingen Indonesia disambut dengan hangat oleh para big
boss MILF. Hadir pada pertemuan itu di antaranya Alhaj Murad Ibrahim
(Chairman), Ibrahim Ja’far (1st Vice-Chairman for Political
Affairs), Toks Ibrahim (Chief of Staffs), Al Sheikh Abuhuraira Abdurrahman
Udasan (Mufti Bangsamoro), dan Aleem Nour (unsur pimpinan MILF yang juga
menjadi Direktur Grand Mosque Sultan Hassanal Bolkiah Cotabato City). Dua nama
terakhir merupakan para ulama MILF alumni perguruan tinggi Arab Saudi. Sementara
itu, 2nd Chairman, Aleem Malik Sulaiman (yang masa mudanya
dihabiskan untuk belajar di Sudan, Mesir, dan Libya dan dilanjutkan bergerilya
di hutan-hutan Mindanao) tidak dapat hadir karena sehari-hari posisinya di Marawi
City, salah satu basis MILF di Mindanao Barat, sekitar 7 jam perjalanan darat.
Dalam
pidato penyambutannya, Toks Ibrahim kagum dengan cerita-cerita tentang
Indonesia. Di antaranya, mengenai kisah jenderal-jenderal Indonesia yang begitu
peduli dengan anak buahnya. Melindungi sekaligus menaungi mereka. Adapun Chairman
Murad menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasihnya
atas partisipasi aktif Indonesia dalam IMT. Menurutnya, IMT dibentuk sejak 2003
pada masa Presiden Gloria Arroyo dengan tujuan memastikan ketenangan dan
ketenteraman di grass root untuk mendukung proses perdamaian antara MILF
dan Pemerintah Filipina.
Chairman
Murad juga memberikan update mengenai pertemuan terakhirnya dengan Duterte
yang memperkuat keyakinannya akan komitmen Duterte untuk menyelesaikan Bangsamoro
Basic Law dan proses perdamaian. Menurut pengamatannya, IMT selama ini
sangat membantu untuk menjaga atmosfer yang bagus demi terjaminnya kelancaran
proses perundingan perdamaian. Di akhir sambutannya, Chairman Murad menyatakan
kesiapannya untuk bekerja sama dengan IMT, khususnya kontingan Indonesia.
Chairman Murad pun mempersilakan kontingan Indonesia untuk menghubunginya atau
jajarannya jika membutuhkan bantuan MILF dalam hal apa pun.[]
Wednesday, August 03, 2016
2nd Lanao Region Stakeholders Meeting
Pada tanggal 21 Juli 2016, TS2 menyelenggarakan 2nd Lanao Region
Stakeholders Meeting di TS2 Residence. Pertemuan ini
dihadiri oleh wakil-wakil dari PNP, AFP, GPH CCCH, MILF AHJAG, MILF LMT, MILF
CCCH, JCMP, GPH LMT, Non-violence Peace Force/NP (CSO), Direktur
Pangkadait (CSO), Chairman MOGOP.
Di awal pertemuan, AFP menyebutkan bahwa
pihaknya terkadang kesulitan dalam operasi penegakan hukum, misalnya saat mengejar
local terrorist group (LTG), seperti Maute Brothers, yang saat dikejar
justru memasuki wilayah yang dikuasai MILF. AFP bahkan merasa bahwa MILF
terkesan melindungi LTG seperti Maute Brothers itu.
MILF menolak dikatakan melindungi LTG, bahkan
menegaskan bahwa MILF juga memiliki kepentingan yang sama untuk memberantas
LTG. Terkait keberadaan Maute Brothers di Butig, MILF tidak dapat berbuat
banyak karena Maute Brothers telah sejak lama menguasai wilayah itu. MILF juga
mempersilakan AFP jika hendak memberantas Maute Brothers yang kebetulan
markasnya tidak jauh dari wilayah kekuasaan MILF. Bahkan, MILF sudah pernah
meminta kewenangan untuk juga memberantas Maute, tetapi justru belum ada
tanggapan/izin dari AFP.
Suasana sempat memanas di antara AFP dan MILF, sebelum terpotong oleh coffee-break. Saat menikmati hidangan di tengah coffee-break, para peserta berbaur dan berbincang santai sehingga suasana mencair kembali.
Di sisi lain, MILF juga mendengar adanya laporan
bahwa sebenarnya Maute sengaja “diciptakan dan dipelihara” oleh AFP sehingga
kawasan tersebut tampak tidak stabil yang pada akhirnya melegitimasi AFP untuk
terus mengawasi kawasan tersebut. Menanggapi hal ini, AFP menyatakan bahwa
kabar itu hanyalah rumor dan meminta semua pihak untuk tidak memercayai rumor
tersebut.
Adapun NP menyoroti masih bertambahnya jumlah internally
displaced persons (IDPs) di daerah-daerah konflik. NP pun meminta MILF dan
AFP turut peduli menangani IDPs ini. Dalam hal ini, AFP dan MILF sama-sama
menyatakan bahwa IDPs tidak menjadi kewenangan mereka dan menyarankan agar NP
dapat membuat permintaan resmi kepada pemerintah daerah setempat agar
menanganinya. Demikian halnya dengan kasus terjadinya pembakaran beberapa
gedung sekolah.
NP juga menyampaikan concern-nya
mengenai tentara dari kalangan anak-anak. NP mengklaim pernah mendapatkan laporan
verbal baik dari AFP maupun MILF mengenai anak-anak yang menjadi tentara di
kawasan Lanao. Hanya saja, laporan verbal tersebut tidak pernah ditindaklanjuti
dengan laporan resmi. Jika betul ditemukan adanya pelanggaran rekrutmen tentara
anak-anak, NP mengharapkan agar secepatnya dibuatkan laporan resmi kepada
mereka sehingga bisa ditindaklanjuti.
TSL saat menyimpulkan jalannya pertemuan
menyatakan bahwa isu-isu yang mengemuka diharapkan dapat diselesaikan
pihak-pihak terkait. TSL menegaskan bahwa pihaknya, sesuai mandat IMT, tidak
dapat bertindak proaktif, melainkan hanya reaktif. Karena itu, IMT khususnya
TS2 tidak berencana menginisiasi pertemuan MILF-AFP untuk menyelesaikan
kasus-kasus yang mereka hadapi. Meskipun demikian, TSL menegaskan pihaknya
berharap dapat berpartisipasi dan juga siap memfasilitasi seandainya kedua
belah pihak sepakat untuk mengadakan pertemuan-pertemuan untuk menjembatani
perbedaan-perbedaan pemahaman yang ada.[]
Silaturahmi ke 103rd Base Command MILF
Inilah
kali kedua memasuki camp militer MILF. Sebelumnya, pada patroli pertama
19 Juli 2016, berkesempatan melihat-lihat camp Bilal di Munai, yang
dikomandoi salah satu “jenderal” MILF penuh karisma, Commander Abdullah “Bravo”
Makapaar. Namun, saat itu Camp Bilal sangat sepi dan tidak tampak
sebagai pusat pelatihan milier, lebih terlihat sebagai perkampungan penduduk
sipil biasa; jalan yang masih tanah liat dan minus pemenuhan listrik. Konon, camp
tersebut memang masih layer terluar dari bagian pusat pelatihan militer.
Adapun untuk mencapai tempat pelatihan dalam arti sebenarnya masih harus
berjalan kaki berjam-jam lamanya.
Kali
ini, 25 Juli 2016, berkesempatan memasuki Camp Ali bin Abi Thalib, juga layer
terluarnya dan bahkan camp ini baru dibangun dikhususkan untuk
menerima tamu-tamu pihak eksternal; tidak dikhususkan sebagai tempat pelatihan
militer. Berada di tengah pegunungan dan mesti turun dari mobil dan berjalan
kaki sekitar 1 km untuk mencapainya, camp ini dalam waktu dekat
sepertinya akan segera terjangkau oleh jalan beraspal atau berbeton. Tampak pembangunan
di sepanjang jalan menuju camp ini terus dikebut.
Oleh
para anggota MILF, jalan ini disebut dikerjakan oleh para kontraktor yang
ditunjuk oleh Pemerintah Filipina. Camp ini sendiri terletak di dekat jalan
tembus baru—betul-betul menembus hutan lebat—antara Marawi City ke arah Wao
City. Sebelumnya, jika dari Marawi hendak pergi ke Wao maka harus berputar ke arah
utara dulu, lanjut ke timur, baru ke selatan menuju Wao. Kini, dengan adanya
jalan baru ini, yang sementara baru bisa dilalui kendaraan bermotor saat jauh
dari musim hujan, cukup lurus saja ke selatan dari Marawi menuju Wao.
Saat
bulan April lalu rombongan Head of Mission IMT memasuki camp ini,
bahkan jalan kaki ditempuh lebih jauh yakni sekitar 4 km, dikali dua karena
saat berangkat dan pulang demikian adanya. Kini, dengan pengebutan pemadatan
jalan itu, saat berangkat memang harus berjalan 1 km, tetapi pulangnya bisa langsung
naik mobil dari dalam camp karena para driver mampu mengendalikan
jalan tanah liat itu. Tentu saja harus dengan ekstra hati-hati.
Ketika
sampai di 103rd Base Command MILF yang terletak di Municipality Maguing,
tepatnya Barangay Dilimbayan, rombongan TS2 IMT langsung disambut dan dikalungi
semacam medali oleh Aleem Mujahid M Dima-Ampao, komandan base command ini,
dan jajarannya. Berikutnya, upacara militer ala Bangsamoro Islamic
Liberation Front/BIAF-MILF dilaksanakan, sementara rombongan IMT dipersilakan
naik ke panggung. Upacara militer dimulai dengan teriakan komandan upacara
dengan slogan-slogan jihad muslim: Allahu ghoyatuna, al-qur’anu dusturuna,
ar-rasulu qudwatuna, dst.
Selesai
upacara militer, para tamu dari IMT yang terdiri dari TS2 dan Non-violence
Peace-force (NP) ini dipersilakan singgah di kediaman Aleem Mujahid yang
berada di belakang aula tempat pertemuan—yang juga biasa digunakan sebagai
masjid. Di kediaman Aleem Mujahid ini, para tamu disuguhi sarapan. Beberapa anggota
rombongan yang berpuasa pun, demi menghormati tuan rumah, terpaksa membatalkan
puasa Senin itu. Mungkin karena rombongan TS2 IMT semuanya beragama Islam, suasana
tampak sangat akrab, nyaris tanpa kekakuan atau formalitas.
Setelahnya,
semua menuju aula pertemuan di mana sekitar 200 anggota BIAF/MILF telah menunggu.
Tidak terlalu banyak yang disampaikan TS2 dalam pertemuan ini karena TS2 memang
“sekadar” hendak melihat perkembangan situasi. Kol. Romi selaku TS Leader hanya
menyampaikan perkenalan singkat, mengingat 3 dari 4 anggota TS2 yang hadir baru
pertama kali ini berkesempatan silaturahmi ke Camp Ali bin Abi Thalib. Kol.
Romi juga menegaskan bahwa IMT akan berusaha sekuat tenaga agar perdamaian di Moro
homeland segera tercapai.
Pertemuan
ini lebih dimanfaatkan oleh NP yang datang untuk memberikan memberikan
penyuluhan mengenai hukum humaniter internasional dan penegasan kembali komitmen
semua pihak, termasuk MILF, mengenai pencegahan rekrutmen anak-anak menjadi
anggota militer. Selain itu, NP mempresentasikan substansi United Nations
Convention on Protection of the Child (UN CPC).
NP
sempat memancing usia berapakah anak-anak dianggap sudah melewati masa
larangannya menjadi tentara. Sebagian anggota BIAF menyebut angka 15, ada juga
16 dan 17 tahun. NP pun kembali mengingatkan bahwa baru saat melewati usia 18
tahunlah seseorang boleh diajak bergabung dengan pasukan militer. Tidak semua percakapan
di antara NP dan anggota MILF itu mudah dimengerti, mengingat sebagian besar
percakapan mereka menggunakan bahasa lokal, Maranao. Kebetulan, dari 4 personel
NP yang hadir, 3 di antaranya merupakan warga asli Mindanao. Hanya satu yang
berasal dari luar, dan jauh sekali, Finlandia.
Selain
ditemui oleh Base Commander, Aleem Mujahid M Dima-Ampao, rombongan IMT
juga ditemui atasannya, yakni Commander Jannati Mimbantas, Komandan MILF
North Eastern Mindanao Front (NEMF), yang selevel dengan Commander Bravo
sebagai Komandan MILF North West Mindanao Front (NWMF). Pada pertemuan
ini, Commander Jannati menginformasikan kepada para anggotanya bahwa MILF pada
12 Juli 2016 di Davao City telah menyepakati kerja sama dengan Pemerintah
Filipina perihal pemberantasan peredaran narkoba. Dengan kesepakatan ini, BIAF
memiliki kewenangan untuk turun tangan langsung dalam melawan individu ataupun
geng-geng yang terlibat penyalahgunaan narkoba.
Dari
pengamatan pada pertemuan itu, terlihat anggota BIAF, setidaknya yang hadir
saat itu, didominasi kalangan orang-orang tua, dengan umur berkisar 50-60 tahun.
Senjata yang mereka tenteng pun—yang dibeli oleh mereka masing-masing karena
menjadi anggota BIAF ini sendiri merupakan langkah sukarela atas panggilan
jihad—tampak tidak terlalu sophisticated. Konon, senjata mereka dibeli
dari anggota militer Filipina, yang pada beberapa kesempatan justru menjadi
pihak yang mereka hadapi di medan pertempuran.
Selain
kalangan orang tua, tampak menonjol juga para tentara berjilbab, bahkan banyak
juga bercadar, yang tergabung dalam MILF-Bangsamoro Islamic Women Auxiliary
Brigade (BIWAB). Hanya saja, para anggota BIWAB ini tidak aktif menjadi
peserta upacara sambutan militer, hanya menjadi penonton seperti tamu lainnya. Demikian
pula tidak tampak di antara mereka yang menenteng senjata api. Konon, anggota
BIWAB ini lebih banyak diandalkan di balik panggung pertempuran, seperti
penyediaan logistik dan penanganan kesehatan. Namun, menurut pengakuan security
IMT yang berasal dari MILF, para anggota BIWAB ini juga dibekali pelatihan
militer selayaknya kaum laki-laki. Tentunya pelatihan mereka terpisah, hanya
instrukturnya yang juga terdiri dari sebagian laki-laki.
Dominasi
kalangan tua di BIAF ini dapat ditengarai sebagai indikasi mengendurnya semangat
atau militansi generasi muda MILF. Atau, bisa jadi para generasi muda MILF kini
memandang bahwa menjadi tentara yang konotasinya adalah berperang sudah tidak
relevan lagi saat ini. Hal ini bisa menjadi pisau bermata dua: jika perdamaian
tercapai maka itu sangat bagus dan mudah untuk langkah demiliterisasi, tetapi
di sisi lain akan menjadi kerugian bagi MILF seandainya di masa depan harus
terjadi kontak senjata lagi dengan pihak luar. Tentu saja harapannya adalah
yang pertama: perdamaian permanen tercapai dan biarlah yang menjadi tentara
mengikuti jalan persatuan bersama militer Pemerintah Filipina. []
Illigan City, 26 Juli 2016
Bagaimana Menyikapi Perbedaan
Umur tak pernah bohong. Demikian yang
saya rasakan saat membaca Alquran dengan mushaf kecil. Kini mata sungguh tak
nyaman saat membaca mushaf berukuran kira-kira kurang dari 7x10cm itu, bahkan
terasa sakit. Menyesal juga kenapa Alquran Madinah seukuran kertas A5 yang ada
di rumah 2 buah tidak dibawa salah satunya. Beruntung masih membawa tablet,
ukuran cukup ideal jika untuk membaca Alquran. Namun, sepertinya akan lebih sehat
jika bisa mengurangi interaksi mata dengan pancaran sinar dari barang
elektronik.
Alhamdulillah, seorang teman dari Brunei
kemudian menawarkan meminjami sebuah Alquran seukuran A5, atau sedikit lebih
besar. Dengan senang hati saya menerimanya, dengan harapan semoga makin banyak
yang tertular kebaikan: yang membaca Alquran berpahala, yang meminjamkan mushaf
juga berpahala.
Hanya saja, saat baru mulai membaca
surah Yasin, terasa seperti ada “kejanggalan”. Seingat saya, pada ayat kelima, saya
biasa membaca tanziilal-aziizir-rahiim, tetapi saya dapati harakat yang
tertera pada mushaf Brunei ini adalah dhammah pada huruf lam,
menjadi tanziilul-aziizir-rahiim. Saya pun tetap membaca tanziilal-aziizir-rahiim,
seperti yang saya biasa baca dengan mushaf-mushaf yang selama ini saya tahu.
Saya berpikir, jangan-jangan typo dan lolos dari pemeriksaan sebelum
pencetakan. Karena saya yakin mushaf ini tentu sudah melewati
pemeriksaan lembaga berwenang, sebagaimana di Indonesia dilakukan oleh Lajnah
Pentashihan Mushaf Alquran di bawah Kemenag RI, apalagi di halaman depan jelas
tertulis sebagai mushaf dari Sultan Brunei, tentu tidak sembarangan dicetak dan
didistribusikan.
Pada ayat-ayat berikutnya, rupanya
terasa lagi “kejanggalan-kejanggalan” lain, yang terdekat adalah dua kata saddan
pada ayat ke-9 surah Yasin itu, di mana di mushaf Brunei ini tertulis suddan
dengan sin yang dhammah. Saya pun mulai berpikir, sepertinya apa
yang terlihat ini bukan typo, ini ada unsur “kesengajaan”. Hal yang sama
juga terjadi di surah lain, misalnya saat membaca surah Alkahfi, baru ayat
kedua sudah langsung merasakan “kejanggalan”, di mana biasa membaca mil
ladunhu, tiba-tiba cukup jauh berubah menjadi mil ladunihii.
Karena saya rasa saya masih bisa
mengingat dan yakin dengan bacaan tanziilal, saddan, ladunhu, dll, maka
saya pun membaca sesuai dengan yang saya ingat dan yakin itu. Meskipun saya
bukan orang yang hafal Alquran, mengingat ini adalah surah-surah yang sangat sering
dan biasa dibaca, baik sendiri maupun beramai-ramai, maka saya yakin dengan bacaan
saya—mengabaikan harakat dan tanda baca yang tertera pada mushaf Brunei itu.
Untuk membaca surah-surah lain yang tidak sesering surah-surah itu, saya pun
menggunakan mushaf di tablet—menghindari kekurangyakinan atau kekurangtepatan cara
baca.
Setelah selesai membaca Yasin dan
Alkahfi itu, saya penasaran untuk lebih mengetahui seluk-beluk mushaf Brunei
ini. Di cover dengan sangat jelas tertulis: bir-rasmil-utsmani.
Saya pikir selama ini di Indonesia, juga Mesir dan Arab Saudi, rasm inilah
yang paling mudah dijumpai. Atau lebih tepatnya saya sebenarnya juga penasaran
seperti apakah rasm yang lain. Sejauh apa perbedaannya. Mushaf Brunei
ini, rupanya juga menggunakan rasm yang sama, menandakan sesama rasm
utsmani pun bisa terjadi perbedaan, dalam hal ini harakat atau tanda baca.
Tulisan lain yang cukup mencolok di cover
adalah: mushaf al-waatsiq billah, jalalatis sulthan hasanal bulqiyah, mu’izziddiin
wad daulah, sultan dan yang dipertuan negara brunei darussalam. Tak ada
yang salah dalam hal ini. Tentu saja mushaf Raja Abdul Aziz atau Raja Salman
Saudi, juga mushaf Sultan Brunei, pasti sama-sama telah melewati pemeriksaan
ketat sebelum dicetak dan diedarkan.
Kemudian baru ada tulisan lain, yang
sepertinya kalah mencolok dengan tulisan-tulisan lainnya, yaitu: biriwaayati
syu’bah ‘an ‘ashim, bacaan riwayat Syu’bah dan ‘Ashim. Sepertinya di
sini kuncinya. Teringat kembali pelajaran-pelajaran dasar mengenai qiraah
sab’ah di Madrasah TBS Kudus dulu. Mungkin sangat dasar, tetapi mungkin tidak
terlalu dasar juga. Satu yang pasti hanyalah bahwa saya kurang mendalami atau
kurang memahami pelajaran itu (untuk guru tercinta yang mengajari kami qiraah
sab’ah, K.H. Muhammad Manshur, lahul-faatihah).
Sedikit membuka ingatan, di otak muncul adanya
keterangan tentang 7 imam qira’ah (bacaan) yang disepakati oleh para
ulama akan validitas dan kesahihan riwayat bacaannya sampai kepada Baginda
Rasulullah saw. Ke-7 imam itu memiliki setidaknya masing-masing dua penerus yang
tiap penerus itu memiliki perbedaan-perbedaan bacaan. Dengan demikian,
setidaknya ada 14 qira’ah atau cara baca yang berbeda-beda, tetapi
kesemuanya insyaAllah sama-sama benar, sahih, dan valid.
Klarifikasi
Untuk meyakinkan diri, saya coba hubungi
teman yang bekerja di Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kemenag RI yang
kantornya ada di kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Saya juga mintakan
pendapat kepada teman yang sudah hafal Alquran 30 juz sejak kelas 5 SD, lulusan
Madrasah TBS dan Pondok Tahfidz Yanbu’ul Quran Kudus. Saya kirimkan capture
foto mushaf Brunei itu dan menanyakan pendapatnya. Menurut keterangan keduanya,
mushaf-mushaf yang banyak beredar di Indonesia umumnya didasarkan dari bacaan
riwayat Hafsh dari ‘Ashim. Adapun mushaf Brunei ini tertera merupakan riwayat
Syu’bah dari ‘Ashim.
Dengan demikian, perbedaan tanda baca,
juga terkadang ada perbedaan huruf, ini merupakan turunan dari perbedaan perawi
bacaan. Karena belajar dari satu imam, yaitu Imam Ashim, maka Imam Syu’bah dan
Imam Hafsh ini tidak terlalu kentara perbedaan bacaannya. Jika dilihat lebih
lanjut, sepertinya memang tidak terlalu banyak perbedaan antara mushaf Brunei
riwayat Syu’bah ini dengan mushaf-mushaf riwayat Hafsh yang banyak beredar di
Indonesia. Jika mau satu persatu membuka setiap halaman mushaf Brunei riwayat
Syu’bah ini, jelas tidak setiap halaman ada perbedaan dengan mushaf Hafsh.
Beruntung mushaf Brunei yang dipinjamkan
ke saya ini tertera biriwayati Syu’bah sehingga menjadi clue yang
sangat membantu untuk menelusuri “kejanggalan” seperti yang saya rasakan.
Seandainya tidak tertulis biriwayati Syu’bah itu, barangkali saya mesti
mengeluarkan keringat lebih banyak untuk memecahkan kunci perbedaan ini.
Di kesempatan berikutnya, teman Brunei
ini membawa mushaf Brunei lainnya. Saya lihat cover-nya ada perbedaan.
Memang sama-sama diterbitkan oleh Sultan Brunei, tetapi kali ini mencantumkan biriwayati
Hafsh ‘an ‘Ashim. Isinya pun persis seperti mushaf yang lebih banyak
beredar di Indonesia. Apresiasi patut diberikan kepada Sultan Brunei yang mau
mencetak mushaf dengan beragam riwayat. Hal ini kiranya dapat memperkaya
khazanah keilmuan Alquran di Brunei.
Tashih
Dari kejadian ini, saya menyimpulkan
bahwa kita memiliki dua pilihan saat melihat mushaf yang “rasanya” berbeda atau
ada yang janggal menurut kita. Tentu saja pilihan ini berwujud setelah
ditelusuri kesahihan mushaf tersebut. Untuk kita yang tinggal di Indonesia,
kita percaya otoritas Lajnah Pentashihan Alquran. Jika mushaf tersebut sudah
mendapatkan surat tanda tashih resmi dari lajnah tersebut, insyaAllah dapat
kita percayai validitasnya.
Pengecekan tanda tashih perlu dilakukan
karena tidak semua mushaf lokal yang ada di pasaran tanah air mencantumkan
tanda tashih ini. Memang, tidak adanya tanda tashih bukanlah tanda pasti bahwa mushaf
tersebut tidak valid. Namun, berdasarkan pengalaman pribadi, saya pernah
mendapati adanya kesalahan cukup fatal pada mushaf yang tidak mencantumkan
tanda tashih, padahal dikeluarkan oleh penerbit spesialis Alquran, yang
menginduk pada kelompok penerbit besar yang dikenal banyak menerbitkan
buku-buku keislaman.
Sebenarnya, selain tanda tashih yang
dikeluarkan Lajnah Pentashihan Alquran Kemenag RI itu, beberapa penerbit mushaf
di Indonesia juga terkadang secara mandiri mencari tashih dari para ulama pakar
bacaan Alquran. Secara substansi, hal itu tidaklah masalah, yang terpenting
adalah bahwa mushaf yang dicetak dan didistribusikan di masyarakat umum itu
sudah betul-betul diperiksa dan divalidasi oleh para ahlinya.
Kembali kepada dua pilihan saat melihat
mushaf yang “rasanya” berbeda atau ada yang janggal menurut kita, maka mungkin
dapat dipilih salah satu untuk konsistensi. Pertama, membaca sesuai
hafalan atau ingatan yang ada, dengan syarat betul-betul yakin. Dalam arti, karena
mungkin belum betul-betul hafal di luar kepala atas suatu ayat atau surah atau
juz Alquran, maka membacanya akan terbantu dengan memegang mushaf dengan “rasa
berbeda” itu. Saat menemukan atau merasakan perbedaan itu maka yang dipegang
adalah yang sesuai hafalan atau ingatan atas dasar keyakinan. Dengan demikian,
dapat mengabaikan tanda baca yang tertera pada mushaf yang tengah dipegangnya.
Kedua, mengabaikan semua hafalan
dan ingatan yang selama ini ada di otak, untuk kemudian berpegang teguh dengan
semua tanda baca yang ada pada mushaf “berbeda” yang tengah dibacanya. Asalkan
diterapkan secara konsisten, tentunya tidak masalah. Suatu hal yang selayaknya dihindari
adalah mencampuradukkan hafalan dan tanda baca mushaf “berbeda”. Misalnya, pada
awal ayat berpegang pada hafalan, tetapi saat terjadi perbedaan berikutnya
malah berpegang pada tanda baca mushaf “berbeda” itu.
Sederhananya, bila pada awal membaca
mengikuti bacaan riwayat Syu’bah, maka seterusnya, atau setidaknya sampai satu
surah, selayaknya membaca atas riwayat Syu’bah. Jika membacanya di muka umum
dan hendak membaca dengan riwayat berbeda-beda, ada baiknya pula menjelaskan
dengan riwayat apa ia sedang membaca. Jangan sampai malah membingungkan pendengar karena seakan-akan hanya melihat inkonsistensi dari lahiriah bacaannya.
Menyikapi Perbedaan
Jika permasalahan ini dapat dibahas lebih
lebar, dalam hal melihat setiap perbedaan maka kita harus dapat mengurainya
dengan kepala dingin. Bahwa tidak semua hal yang berbeda dengan pemahaman kita
itu selalu salah. Bahkan, belum tentu juga pemahaman atau ilmu yang kita miliki
100% benar dan bebas dari kesalahan. Bisa jadi, pemahaman kita benar dan
pemahaman yang berbeda itu juga sama benarnya. Seperti kasus mushaf Syu’bah dan
mushaf Hafsh ini.
Jika sedang tidak waras, bisa saja saya
akan dengan mudah menyalahkan mushaf Brunei itu. Misalnya ketika berlaku
sombong karena merasa sudah cukup lama belajar di Kudus, kota yang cukup
terkenal dengan tradisi ilmu Alqurannya, maka bisa jadi akan berpikiran: mushaf
Brunei ini pasti tidak diteliti sebelum dicetak. Itulah laku sombong yang harus
dihindari. Kasus saya ini tentu saja sombong dengan kebodohan. Karena kalau
betul—tidak hanya merasa—lama belajar di Kudus, tentu setidaknya pernah
mendengar sekelumit pelajaran qira’ah sab’ah dan ujung-ujungnya akan
mengklarifikasi perbedaan yang ada.
Saat terdapat perbedaan di antara dua
hal, kiranya dapat disimpulkan tiga kemungkinan, yaitu keduanya benar, keduanya
salah, atau salah satunya benar dan salah satunya salah. Dalam hal ini,
mengingat semakin luasnya ilmu yang ada di dunia ini, dan nyaris mustahil bagi
kita menguasai semuanya, maka satu sikap paling mudah diambil jalur amannya
adalah: tidak mudah menyalahkan orang lain.
Boleh menganggap ilmu yang kita miliki
benar, tetapi jangan sampai saat melihat orang lain yang berbeda pemahaman maka
langsung mengecapnya salah. Kembali ke tiga kemungkinan di atas. Dengan kunci
“tidak mudah menyalahkan orang lain” inilah diharapkan dapat meyakinkan
orang-orang yang terkadang mengungkapkan keluhannya, “Saya ingin belajar Islam,
tetapi Islam yang manakah, sepertinya Islam itu banyak, saya malah menjadi
bingung.”
Dengan demikian, keluhan orang itu dapat
diubah menjadi, “Saya melihat banyak warna dalam Islam, dan karena saya baru
belajar satu warna maka saya yakini satu warna ini sebagai kebenaran. Adapun
warna lainnya, saya harus belajar jauh lebih dalam lagi untuk mengomentarinya. Bisa
jadi saya tidak punya cukup waktu bahkan untuk sekadar mendalami luasnya
samudra ilmu satu warna ini sehingga cukuplah bagi saya untuk memegang satu
warna tanpa menyalahkan warna lain.”
Sabda Rasulullah saw.—sebagian meyakini
sebagai perkataan tabi’in—menyebutkan bahwa perbedaan di antara umat Islam
adalah merupakan rahmat. Dengan demikian, setiap perbedaan yang ada harus
disikapi secara bijak. Perbedaan dianggap sebagai bentuk kasih sayang Allah,
bukan sumber perpecahan. Lagi-lagi kembali kepada tiga kemungkinan di atas.
Ujung-ujungnya, apalagi melihat kemungkinan ketiga bahwa bisa jadi salah
satunya adalah salah, dan misalnya yang salah adalah pemahaman yang tengah kita
yakini, maka ada baiknya kita terus belajar. Terus mendalami ilmu yang masih
sebagian kecil saja kita raih, daripada sibuk menyalahkan pemahaman atau
praktik yang berbeda dari orang lain.[]
Subscribe to:
Posts (Atom)