
Sebenarnya ada 2 pilihan judul untuk tulisan ini. Yang pertama adalah sesuai yang tertulis di atas. Sementara yang kedua, sempat tersirat dalam benak untuk memberi judul "Kekurangan Mencolok NU". Judul kedua ini karena tujuan utamanya adalah memberikan "peringatan" bagi kalangan dimana penulis termasuk di dalamnya. Namun karena pada tulisan sebelumnya penulis sempat sedikit mengungkit soal kekekian kawan dari Muhammadiyah, maka tulisan ini diharapkan dapat menjadi "obat penawar".
Ya, kelebihan yang dimiliki Muhammadiyah sangatlah banyak, dibandingkan dengan NU. Apalagi soal manajemen, barangkali NU harus loncat pada 100 tahun berikutnya. Salah satu kelebihan Muhammadiyah yang terekam dari kedatangan Mendiknas Bambang Sudibyo di Kairo pada 13-17 November 2006, adalah gambaran betapa NU susah berpikir lebih maju.
Ceritanya, menurut seorang sumber yang sempat bertemu Mendiknas dalam lawatannya di Mesir ini, sebelum berangkat dari tanah air, Mendiknas mendapat pesan dari Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. "Tolong kawan-kawan Muhammadiyah di Mesir yang cukup banyak itu nanti "disambangi" ya," begitu kira-kira pesan yang disampaikan pada Profesor Bambang.
Kalau mau membandingkan dengan NU, sepertinya hal ini jauh berbeda. Penulis yang selama ini --merasa-- cukup aktif di NU Mesir, rasanya tak pernah mendengar mendapat "titipan" pimpinan NU di tanah air melalui pejabat atau pengusaha NU yang mampir ke Kairo. Bukan soal adanya "titipan" atau tidak yang menjadi masalah utama di sini.
Karena selama ini, sebenarnya NU Mesir juga bukannya sepi dari perhatian PBNU, dalal hal ini Ketua Umum. Bahkan sekitar tahun 2003-2004, NU Mesir mendapat suntikan dana yang cukup besar untuk menjadi pemicu geliat aktifitas NU Mesir. Dalam beberapa kali lawatannya ke Mesir ketika itu, KH. Hasyim Muzadi tak pernah melupakan "oleh-oleh" untuk NU Mesir.
Itu jika yang datang Kiai Hasyim sendiri. Nah, kalau yang datang ke Mesir adalah pejabat atau pengusaha berlatar belakang NU, maka rasanya tak pernah ada kontak terlebih dahulu antar orang NU di tanah air "sono". Kalaupun datang ke sekretariat NU Mesir yang sederhana, maka pejabat atau pengusaha itu memang sejak awal diketahui kedatangannya oleh pengurus NU Mesir, sehingga diundang dan mau datang.
Bahkan lebih miris, adalah kenyataan datangnya seorang pejabat NU yang menjadi menteri agama pada tahun 2003. Ketika itu, beberapa pengurus NU Mesir menyambangi yang bersangkutan di hotel tempat penginapan sang menteri beserta rombongan. Karena saat itu sedang ramai-ramainya geliat organisasi-organisasi di Kairo hendak memiliki sekretariat permanen, pengurus NU Mesir pun membicarakan proposal pengadaan kantor definitif, agar terbebas dari belenggu uang sewa tiap bulannya.
Ketika itu, sang menteri menjawab, "Mudah saja saya bantu niat itu, tapi tolong hal ini disetujui (ditandatangani) dulu oleh Pak Hasyim." Kebetulan, beberapa pekan berikutnya, Kiai Hasyim giliran datang ke Kairo setelah ibadah umroh di kota suci. "Ya begitulah pak menteri itu, saya sih tak keberatan menandatangani proposal ini, tapi apa iya benar dibantu kalau sudah saya tandatangani," begitu jawab Kiai Hasyim.
Terlihat jelas betapa tak ada komunikasi lancar di antara petinggi, pejabat dan pengusaha NU di Jakarta. Komunikasi dan dedikasi, itu barangkali yang amat mencolok dari perbedaan antara NU dan Muhammadiyah. Pejabat yang memang diangkat oleh atasannya sebagai representasi Muhammadiyah, dia akan sangat merasa bahwa kedudukannya memang karena dirinya menjadi bagian dari Muhammadiyah. Oleh karenanya, tanpa sungkan membantu organisasinya itu di manapun berada.
Sementara orang NU, jika diangkat menjadi pejabat, lebih banyak yang merasa bahwa dirinya menjadi pejabat karena kelebihan dan prestasi yang diraih secara pribadi. Mungkin hal ini memang benar adanya. Tapi apakah ikatan emosional sebagai warga nahdliyin kemudian harus dibuang jauh? Selain itu, kiranya komunikasi intens antar orang NU yang jadi "orang" --baik sebagai pengurus di PBNU, pejabat pemerintahan/swasta atau pengusaha-- di level mana pun harus digiatkan. Agar kelak mudah saling berbagi informasi dan lebih efektif dalam pemerataan kemajuan di kalangan NU.[]
Bawabah Tiga, 26 November 2006