Sunday, November 26, 2006
Kelebihan Mencolok Muhammadiyah
Sebenarnya ada 2 pilihan judul untuk tulisan ini. Yang pertama adalah sesuai yang tertulis di atas. Sementara yang kedua, sempat tersirat dalam benak untuk memberi judul "Kekurangan Mencolok NU". Judul kedua ini karena tujuan utamanya adalah memberikan "peringatan" bagi kalangan dimana penulis termasuk di dalamnya. Namun karena pada tulisan sebelumnya penulis sempat sedikit mengungkit soal kekekian kawan dari Muhammadiyah, maka tulisan ini diharapkan dapat menjadi "obat penawar".
Ya, kelebihan yang dimiliki Muhammadiyah sangatlah banyak, dibandingkan dengan NU. Apalagi soal manajemen, barangkali NU harus loncat pada 100 tahun berikutnya. Salah satu kelebihan Muhammadiyah yang terekam dari kedatangan Mendiknas Bambang Sudibyo di Kairo pada 13-17 November 2006, adalah gambaran betapa NU susah berpikir lebih maju.
Ceritanya, menurut seorang sumber yang sempat bertemu Mendiknas dalam lawatannya di Mesir ini, sebelum berangkat dari tanah air, Mendiknas mendapat pesan dari Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. "Tolong kawan-kawan Muhammadiyah di Mesir yang cukup banyak itu nanti "disambangi" ya," begitu kira-kira pesan yang disampaikan pada Profesor Bambang.
Kalau mau membandingkan dengan NU, sepertinya hal ini jauh berbeda. Penulis yang selama ini --merasa-- cukup aktif di NU Mesir, rasanya tak pernah mendengar mendapat "titipan" pimpinan NU di tanah air melalui pejabat atau pengusaha NU yang mampir ke Kairo. Bukan soal adanya "titipan" atau tidak yang menjadi masalah utama di sini.
Karena selama ini, sebenarnya NU Mesir juga bukannya sepi dari perhatian PBNU, dalal hal ini Ketua Umum. Bahkan sekitar tahun 2003-2004, NU Mesir mendapat suntikan dana yang cukup besar untuk menjadi pemicu geliat aktifitas NU Mesir. Dalam beberapa kali lawatannya ke Mesir ketika itu, KH. Hasyim Muzadi tak pernah melupakan "oleh-oleh" untuk NU Mesir.
Itu jika yang datang Kiai Hasyim sendiri. Nah, kalau yang datang ke Mesir adalah pejabat atau pengusaha berlatar belakang NU, maka rasanya tak pernah ada kontak terlebih dahulu antar orang NU di tanah air "sono". Kalaupun datang ke sekretariat NU Mesir yang sederhana, maka pejabat atau pengusaha itu memang sejak awal diketahui kedatangannya oleh pengurus NU Mesir, sehingga diundang dan mau datang.
Bahkan lebih miris, adalah kenyataan datangnya seorang pejabat NU yang menjadi menteri agama pada tahun 2003. Ketika itu, beberapa pengurus NU Mesir menyambangi yang bersangkutan di hotel tempat penginapan sang menteri beserta rombongan. Karena saat itu sedang ramai-ramainya geliat organisasi-organisasi di Kairo hendak memiliki sekretariat permanen, pengurus NU Mesir pun membicarakan proposal pengadaan kantor definitif, agar terbebas dari belenggu uang sewa tiap bulannya.
Ketika itu, sang menteri menjawab, "Mudah saja saya bantu niat itu, tapi tolong hal ini disetujui (ditandatangani) dulu oleh Pak Hasyim." Kebetulan, beberapa pekan berikutnya, Kiai Hasyim giliran datang ke Kairo setelah ibadah umroh di kota suci. "Ya begitulah pak menteri itu, saya sih tak keberatan menandatangani proposal ini, tapi apa iya benar dibantu kalau sudah saya tandatangani," begitu jawab Kiai Hasyim.
Terlihat jelas betapa tak ada komunikasi lancar di antara petinggi, pejabat dan pengusaha NU di Jakarta. Komunikasi dan dedikasi, itu barangkali yang amat mencolok dari perbedaan antara NU dan Muhammadiyah. Pejabat yang memang diangkat oleh atasannya sebagai representasi Muhammadiyah, dia akan sangat merasa bahwa kedudukannya memang karena dirinya menjadi bagian dari Muhammadiyah. Oleh karenanya, tanpa sungkan membantu organisasinya itu di manapun berada.
Sementara orang NU, jika diangkat menjadi pejabat, lebih banyak yang merasa bahwa dirinya menjadi pejabat karena kelebihan dan prestasi yang diraih secara pribadi. Mungkin hal ini memang benar adanya. Tapi apakah ikatan emosional sebagai warga nahdliyin kemudian harus dibuang jauh? Selain itu, kiranya komunikasi intens antar orang NU yang jadi "orang" --baik sebagai pengurus di PBNU, pejabat pemerintahan/swasta atau pengusaha-- di level mana pun harus digiatkan. Agar kelak mudah saling berbagi informasi dan lebih efektif dalam pemerataan kemajuan di kalangan NU.[]
Bawabah Tiga, 26 November 2006
Mendiknas Bikin Keki Moderator Dialog di KBRI Mesir
Ada yang unik dari acara silaturahmi dan dialog masyarakat Indonesia di Kairo dengan Menteri Pendidikan Nasional RI Prof. Dr. Bambang Sudibyo. Dalam inti acara yang diselenggarakan pada Kamis (16/11/2006) malam itu, sebenarnya tak ada yang terlalu spesial. Tapi justru di akhir acara, terjadi suatu "insiden" yang cukup menggelikan.
Ketika itu, saat dialog dan tanya jawab antara Mendiknas dan hadirin sudah selesai, moderator "iseng" menyebutkan kalimat membanggakan kemuhammadiyahnnya. Karena sebelum menyudahi pembicaraanya, Mendiknas sempat mengeluarkan beberapa dalil Alquran dan hadis. "Itulah bedanya menteri dari Muhammadiyah dan non-Muhammadiyah," ucap moderator yang kebetulan Ketua Muhammadiyah Cabang Istimewa Mesir.
Tanpa disangka, Mendiknas "tak terima" dengan kalimat itu. "Sebenarnya saya ini bukan orang Muhammadiyah," komentar Mendiknas yang tentu saja membuat keki sang moderator. Lebih lanjut, Mendiknas menceritakan bahwa masa kecilnya hidup di lingkungan NU. Bahkan sang menteri juga mengakui dirinya bisa dan terbiasa dengan amalan semacam tahlil.
Profesor Bambang mengakui sebenarnya dirinya orang NU. Sampai suatu ketika, saat harus hijrah dan memulai karir di daerah perkotaan, tanpa disadari dirinya sudah menjadi pengurus Muhammadiyah. "Padahal saya sendiri bingung, sejak kapan menjadi orang Muhammadiyah," lanjutnya. Tak pelak, hal ini pun menjadi bahan lelucon di antara kalangan hadirin yang memenuhi Balai Budaya KBRI Mesir.[]
Bawabah Tiga, 26 November 2006
Akhirnya, AD-ART KSW Diamandemen
Setelah tertunda pembahasannya dalam RPA 2005 dan 2006, Al-Wilayat Al-Tusa'iyyat Kelompok Studi Walisongo yang terdiri dari masing-masing sembilan Al-Wilayat Al-Ahdiyat (Anggaran Dasar), Al-Wilayat Al-Idariyyat (Anggaran Rumah Tangga), Al-Wilayat Al-Ansyithotiyat (Garis-garis Pelaksanaan Program) dan Al-Wilayat Al-Syakhshiyyat (Motto Organisasi), Sabtu (25/11/2006) petang selesai diamandemen melalui Rapat Permusyawaratan Luar Biasa (RPLB).
RPLB dimulai tepat pada pukul 14.00. Meski yang hadir baru sekitar 20 orang, acara tetap dimulai. Karena kalau ditunda, belum tentu akan banyak yang datang. Oleh karenanya, panitia pelaksana setelah berkonsultasi dengan MPA, menginstruksikan MC untuk segera memulai acara. Tampak hadir sejak seremonial pembukaan, beberapa sesepuh dan senior KSW, termasuk Bpk. Harry Widiyanto, guru Sekolah Indonesia Cairo yang juga salah seorang Dewan Pensehat KSW.
MPA yang memfasilitasi terselenggaranya acara ini, melalui ketuanya, M. Aji Nugroho menyatakan urgensi amandemen AD-ART. Hal ini menilik dari perkembangan yang begitu cepat di tubuh KSW, juga tuntutan atas beberapa perubahan sehubungan dengan adanya Griya Jateng.
RPLB yang digelar di Auditorium Griya Jateng ini hanya terdiri dari 1 kali sidang pleno, yakni pembahasan Al-Wilayat Al-Tusa'iyyat itu. Namun, sebagaimana layaknya sidang-sidang formal, dibahas dulu tentatif acara dan tata tertib sidang. Pada saat pembahasan 2 agenda pembuka itu, semuanya tampak lancar dan mudah bersepakat.
Baru saat memulai pembahasan Anggaran Dasar, suasana tampak lebih "hidup". Bahkan pembahasan pasal 1 tentang istilah dan singkatan yang mestinya hanya terdiri dari beberapa baris, membutuhkan waktu hampir 1 jam untuk membuat keputusan. Adu argumen antar peserta sidang tampaknya seru dan beberapa kali sempat memanas. Meski begitu, suasana tetap terkendali. Untuk pasal 1 ini, bahkan akhirnya disepakati melalui voting, dalam hal memilih 1 alternatif apakah memasukkan kata RDJT (Rumah Daerah Jawa Tengah) ataukah tidak. Saat voting, ternyata banyak yang memilih memasukkan RDJT itu.
Meski pada akhirnya, kesepakatan ini pun kemudian diamandemen lagi saat pembahasan Anggaran Rumah Tangga. Hal ini bermula pada pembahasan ART pasal tentang Badan Otonom (BO). Saat inilah Lathif Hakim, salah seorang peserta sidang, meminta peserta sidang lainnya untuk berpikir kembali apakah tidak sebaiknya Pengelolaan Griya Jateng dimasukkan sebagai BO KSW. Lathif Hakim beralasan karena sebelumnya usaha pengadaan Griya Jateng ini dilakukan oleh tim yang dibentuk DP-KSW. Sehingga wajar kalau kemudian ia tetap berada dalam wewenang DP-KSW, dalam hal ini dimasukkan sebagai salah satu BO.
Setelah beradu argumen cukup alot, muncul alternatif yang bisa menengahi pendapat ini, yaitu dimasukkannya Pengelola Griya Jateng sebagai Badan Istimewa (disingkat BI, istilah yang baru muncul di tengah serunya suasana RPLB ini). Sebelumnya, memang tidak dijelaskan bagaimana posisi Pengelola Griya Jateng. Dengan adanya BI ini, dipertegas bahwasanya dalam hubungannya dengan KSW, eksitensi Griya Jateng tetap tak boleh melenceng dari aspirasi warga yang tersalurkan melalui MPA KSW. Adapun hal-hal detail lainnya tentang Griya Jateng ini, disepakati melalui aturan tersendiri.
Hal baru lainnya berkaitan dengan amandemen Al-Wilayat Al-Tusa'iyyat ini adalah dimasukkannya klausul pergantian anggota MPA dan Ketua KSW. Dalam AD-ART sebelumnya, tak dijelaskan bagaimana mekanisme pergantian anggota MPA bila ada yang mengundurkan diri atau berhalangan tetap. Tanpa melalui perdebatan panjang, peserta sidang sepakat untuk menggantinya dengan calon MPA yang dipilih dalam RPA sesuai dengan urutan perolehan suara terbanyak.
Adapun kalau Ketua KSW berhalangan tetap, peserta sidang setuju untuk menggantinya dengan pejabat sementara (PJS) sesuai pilihan MPA. Namun hal ini tidak permanen, karena MPA harus segera mengadakan RPLB untuk memilih ketua definitif, dalam waktu selambat-lambatnya 3 minggu. Sedangkan kalau Ketua KSW hanya berhalangan sementara, Ketua KSW dipersilakan menunjuk PJS-nya sebagai hak prerogatif.
Banyak hal baru dalam amandemen AD-ART KSW ini, sementara Garis-garis Pelaksanaan Program dan Motto organisasi ditetapkan tidak mengalami perubahan. Dalam waktu dekat, direncanakan adanya sosialiasi hasil amandemen Al-Wilayat Al-Tusa'iyyat ini. Bahkan tim pengelola website KSW juga siap memasukkan AD-ART sebagai salah satu menu dalam situs KSW.[]
Bawwabah Tiga, 26 November 2006
Tuesday, November 21, 2006
MPA Bentuk Tim Rumuskan Amandemen AD-ART KSW
Rapat Permusyawaratan Anggota (RPA) adalah merupakan lembaga permusyawaratan tertinggi di organisasi Kelompok Studi Walisongo (KSW). Segala hal yang berkaitan dengan pondasi organisasi, dibahas dalam permusyawaratan yag diselenggarakan setiap 1 tahun sekali itu. Termasuk di dalamnya dibahas Anggaran Dasar KSW (Al-Wilayat Al-Ahdiyat), Anggaran Rumah Tangga (Al-Wilayat Al-Idariyyat), Garis-garis Pelaksanaan Program (Al-Wilayat Al-Ansyithotiyat) dan Motto Organisasi (Al-Wilayat Al-Syakhshiyyat).
Hanya saja, pada RPA tahun 2003 disepakati bahwa pembahasan AD-ART tidak perlu dilakukan setiap tahun karena akan sangat menguras energi. Ketika itu, kemudian disetujui peninjauan kembali AD-ART setiap 2 tahun sekali. Hal inipun dicantumkan dalam amandemen AD-ART ketika itu.
Sayangnya, dalam 2 kali RPA terakhir, amandemen AD-ART yang agenda dan rumusannya sudah disiapkan sebelumnya, tak jadi dibahas karena kekurangan waktu. Memang sudah latah, saat-saat berlangsungnya RPA, yang menonjol adalah persaingan antar calon pimpinan KSW, bukan pondasi yang akan menjadi titik tolak aktifitas organisasi. Tidak hanya di KSW, di organisasi-organisasi besar semacam partai atau ormas di Indonesia juga demikian adanya.
Melihat fenomena ini, MPA KSW yang tahun ini dipimpin oleh M. Aji Nugroho, Lc. bertindak cerdik dengan hendak menyelenggarakan Rapat Permusyawaratan Luar Biasa (RPLB). Pelaksanaan RPLB ini untuk menghadapi kebuntuan dalam 2 RPA terakhir yang selalu tak kuasa membahas AD-ART --terkalahkan oleh keramaian pembahasan laporan pertanggungjawaban dan pemilihan ketua baru.
Oleh karena itu, demi memperlancar jalannya RPLB, MPA membentuk Tim Perumus yang diketuai oleh Husnul Khitam, aktifis senior yang sudah menginjak tahun ke-6 aktif di KSW. Selain Husnul Khitam, dalam Tim Perumus yang merangkap SC RPLB ini terdapat Fakhruddin Aziz, Lc., Khoirun Niat, Lc., Agus Hidayatulloh, Rois Mahfudz, Saifuddin Zuhri dan Talqis Nurdianto.
Sebelum dimulainya RPLB yang bakal digelar Sabtu (25/11/2006) nanti, Tim Perumus sudah 2 kali mengadakan rapat. Pada pertemuan pertama yang digelar di kediaman Fakhruddin Aziz, Lc. Kamis (16/11/2006) petang, Tim Perumus membahas restrukturisasi organisasi KSW, dengan dimasukkannya Pengelola Griya Jateng sebagai bagian tak terpisahkan dalam keluarga besar KSW. Pembahasan ini bersifat global. Meski sempat adu argumen secara ketat dan cukup panas, akhirnya tercapai kesepakatan dalam Tim Perumus, sementara bentuk konkret kalimatnya dijadwalkan pada pertemuan berikutnya.
Lalu pada Senin (20/11/2006) petang, kembali Tim Perumus berkumpul. Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, pada pertemuan yang digelar di lantai dasar Griya Jateng ini, rancangan amandemen AD-ART dibahas secara lebih konkret sesuai perubahan-perubahan per kata atau per kalimat.
Hal yang cukup mendasar dari rancangan yang disepakati Tim Perumus ini adalah mengenai Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota MPA maupun Ketua KSW. Sebelumnya, masalah PAW ini tidak tercantum dalam AD-ART. Begitu juga dengan Badan Otonom (BO), yang sebelumnya disebutkan bahwa BO KSW adalah Buletin Prestasi dan Tim Pengelolaan Website, dirubah dengan usulan bahwa jumlah dan pembentukan BO diserahkan sepenuhnya pada DP-KSW.
Sementara hal yang paling baru tentunya adalah rancangan masuknya Pengelola Griya Jateng dalam lingkaran KSW. Karena selama ini, Griya Jateng yang merupakan aset Pemda, belum masuk dalam struktur KSW. Padahal jelas, bahwa Griya Jateng merupakan amanah yang diberikan pada KSW. Oleh karenanya, pengelolaan Griya Jateng juga merupakan kesatuan dalam struktur KSW, supaya pengawasannya lebih mudah untuk dapat diketahui seluruh warga KSW, dalam hal ini melalui MPA KSW.
Ada cukup banyak hal baru yang muncul dalam rapat Tim Perumus. Bahkan ada beberapa pasal dan bab yang dihilangkan atau diubah dengan yang lain, disesuaikan perkembangan kondisi terakhir. Yang pasti, Tim Perumus hanya berhak mengajukan rancangan-rancangan amandemen itu, sementara keputusan tetap berada pada suara seluruh warga KSW yang diharapkan dapat hadir pada RPLB yang kedudukannya sejajar dengan RPA itu. Jadi, jika Anda ingin KSW melangkah menuju masa depan yang lebih baik, lempangkanlah jalan menuju rumah kita Griya Jateng pada Sabtu (25/11/2006) nanti![]
Bawabah Tiga, 21 Nov 2006
Saturday, November 18, 2006
HUT Terobosan, Meriah Tapi Kurang Persiapan
Di usianya yang sudah menginjak angka 16, kelompok buletin independen Terobosan kembali menggelar perayaan ulang tahunnya. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, acara ini pun dibuat besar-besaran, sekaligus menghibur Masisir. Dalam setiap perayaan ultahnya, ada saja penampilan-penampilan yang sengaja dipersembahkan bagi para langganannya.
Kali ini, bahkan ditambah pula dengan ajang pemberian penghargaan bertajuk "Terobosan Award 2006". Dalam Terobosan Award 2006 yang berlangsung Jumat (17/11/2006) malam ini, ada 3 kategori yang dipilih. Pertama, kategori Liputan Terobosan Terbaik. Karena merupakan ajang pertama, maka yang dipilih adalah tulisan-tulisan liputan di Terobosan --ditulis oleh kru mereka sendiri-- periode 2002-2006.
Pada kategori ini, ada 7 tulisan yang masuk nominasi. Setelah diseleksi oleh tim juri, tulisan berjudul "843 Menit itu Usailah Sudah" (tahun 2003) keluar sebagai pemenang. Tulisan ini merupakan liputan atas rapat PPMI dan kekeluargaan yang membahas permasalahan adanya Temus "siluman" dari Temus yang semestinya merupakan jatah PPMI. Waktu itu, selain 100 Temus yang sudah merupakan jatah setiap tahunnya, ada tambahan 5 jatah lagi yang diperuntukkan bagi orang-orang yang telah ditentukan namanya oleh KJRI Jeddah. Kontan hal ini menimbulkan kecemburuan dan PPMI mengundang kekeluargaan melakukan rapat di KBRI.
Menurut M. Shalahuddin dan Rahman Hadianto, penulis dari liputan ini, saat itu sekitar 15 jam tanpa makan tanpa tidur, mengikuti jalannya rapat. Rapat sempat berjalan alot dan banyak perang argumen. Namun dengan pikiran jernih dan terbuka, setelah beradu pendapat yang melelahkan, dapat tercapai kesepakatan. Semua pun lega. Para peliput juga dapat beristirahat sejenak, sebelum harus menuliskan laporannya.
Pada kategori "Pegiat Sastra Terbaik", Udo Yamin Effendi berhasil menyingkirkan 6 nominator lainnya. Salah seorang aktivis Kairo ini memang sudah lama malang-melintang di dunia sastra. Selain aktif di pergerakan --di antaranya menjadi fungsionaris PPMI, Pwk-Persis, Pwk-PII-- bapak satu anak ini juga giat menulis, utamanya sastra.
Sementara pada kategori ketiga, "Penulis Terbaik", M. Shalahuddin kembali tampil sebagai pemenang. Munculnya nama M. Shalahuddin itu memang bukan hal mengejutkan. Apalagi namanya juga cukup eksis di media tanah air. Belakangan laporannya juga muncul di media sekelas Gatra dan Media Indonesia.
Format penyerahan ketiga penghargaan ini cukup elegan. Hanya sayangnya, saat pembacaan nominasi, menggunakan suara rekaman, sehingga tampak kurang jelas di telinga para pengunjung. Hal yang sama bahkan menyebabkan kejadian lebih fatal.
Saat pementasan operet kru Terobosan, juga menggunakan teknik yang sama. Tapi mungkin karena kurang persiapan, sehingga terjadi beberapa kesalahan adegan. Ada adegan orang di atas panggung, namun tak muncul juga rekaman suaranya. Sementara saat tak ada satu pun aktor berada di panggung, muncul suara dialog yang kemudian dimatikan kembali.
Penonton pun tampak kacau, bahkan ada yang meneriakkan "Huuuu...." saat itu. Beruntung MC Agla dapat mengendalikan acara. Karena penonton semakin lantang mengekspresikan ketidakpuasan, penampilan itu pun terpaksa di-cut, dilanjutkan rangkaian acara lainnya.
Penonton yang cukup memadati Auditorium Fakultas Kedokteran Al-Azhar Kairo tampaknya bisa dapat terpuaskan hanya pada penampilan group band "Vangabon". Tampil di awal dan ujung acara, penonton terlihat bisa menikmati hiburan yang disuguhkan kelompok band yang memang sudah senior itu. OM (Orkes Melayu) Krakatau juga sempat membuat penonton menggerakkan pinggulnya saat membawakan 2 lagu dangdut.
Rangkaian acara HUT ini terpaksa disudahi dengan seidkit kurang halus karena pihak pengelola gedung memang memberikan ijin sampai pukul 22.00. Padahal saat itu, Vangabon masih membawakan lagu terakhir. Karena pihak pengelola gedung mematikan sebagian lampu, terpaksa lagu persembahan terakhir itu disudahi dan penonton membubarkan diri.[]
Bawabah Tiga, 18 November 2006
Thursday, November 16, 2006
Hujan Kapan Datang
Hawa dingin belakangan memang sudah mulai menyelimuti Kairo. Tiap hari, sejak pagi hingga pagi berikutnya banyak yang terus bertahan di balik selimut atau jaket tebal. Aktifitas pun makin banyak dikerjakan di dekat kasur atau ruang tidur.
Hanya saja, meski sudah beberapa pekan musim dingin ini berlangsung, hujan belum tampak akan menyirami gedung-gedung Kairo dan kota lainnya di Mesir yang banyak tertutup debu.
Memang sudah beberapa kali ada air dari langit menyirami permukaan Mesir. Namun hujan --atau yang lebih nampak sebagai gerimis di tanah air-- itu sifatnya sangat lokal. Barangkali dalam radius 3-5 kilometer, sudah tak ditemui lagi.
Seperti Rabu (15/11/2006) kemarin. Saat sekitar jam 09.00 pagi, hujan rintik-rintik tiba-tiba saja mengganggu orang-orang yang menunggu bus di halte dekat Kampus Putri Al-Azhar Nasr City. Mahasiswi-mahasiswi yang baru turun dari angkot pun banyak yang berlarian menuju dalam kampus menghindari hujan.
Kejadiannya cepat sekali. Di kawasan Hay Ashir, sekitar 4 kilometer sebelah timur Kampus Putri itu, matahari masih nampak akan memberikan banyak kehangatan bagi mereka yang beraktifitas keluar rumah. Namun, setelah perjalanan bus sekitar 10 menit dari Hay Ashir dan sampai di halte depan Kampus Putri, tiba-tiba hujan datang.
Orang-orang tampak kaget juga. Bahkan sebagian ada yang tak mengenakan jaket, karena memang pagi itu sebelumnya tampak cerah. Terlihat pria Mesir yang hanya mengenakan kemeja hijau kotak-kotak itu menggigil memeluk dirinya sendiri.
Beruntung hujan tersebut tak begitu deras. Pun turun hanya sejenak, mungkin tak lebih dari 10 menit. Aktifitas pun bisa kembali normal tak perlu dihinggapi rasa takut jalanan akan banjir. Bahkan, sekitar 2 kilometer arah barat dari Kampus Putri menuju Kampus Putra Al-Azhar Nasr City, jalanan masih terlihat kering. Jadi, hujan hanya terjadi di lokasi tertentu yang sangat kecil dan terbatas. Barangkali karena musim dingin belum akan mencapai puncaknya.
Kelak kalau sudah memasuki puncak musim dingin, mungkin akan sedikit repot. Kalau sudah hujan, bus-bus dalam kota banyak yang tak beroperasi. Hal ini dimaklumi karena bus-bus itu --terutama yang berwarna putih/bus lama-- hampir semuanya memilki cerobong asap yang menghadap ke atas. Jadi, kalau saat hujan nekad beroperasi, tentu saja cerobong itu dapat kemasukan air dan bisa berakibat fatal pada mesin.
Ada sedikit senangnya juga barangkali kalau hujan benar-benar mengguyur. Paling tidak, kenangan-kenangan saat di tanah air sedikit banyak akan muncul dalam benak. Bagaimana dulu saat kecil suka main hujan-hujanan, bermain bola di bawah guyuran derasnya air dari langit. Kita tunggu saja, dan pasti akan semakin kangen pada tanah air![]
Bawabah Tiga, 16 November 2006
Wednesday, November 15, 2006
Jangan Menyerah pada Cuaca
Kairo sudah mulai menyongsong musim dingin. Hari-hari terakhir ini, udara sejuk sering melenakan orang-orang untuk kembali tidur di pagi hari. Pun, siang jarang nampak matahari, sore tentu makin dingin. Apalagi malam, yang kalau musim panas baru bisa terlelap di atas jam 12 malam; kali ini jam 8 atau paling lambat jam 10 rasa kantuk sudah bisa menyerang.
Tidak hanya rasa kantuk, hembusan angin di luar juga membuat orang makin malas keluar rumah. Selimut tebal pun selalu jadi sasaran empuk.
Repot juga, musim panas memang susah tidur malam, tapi justru tidak --bukan malas-- bisa bangun karena semalaman sering begadang. Di musim dingin, memang mudah tidur cepat sebelum tengah malam, sayang dinginnya udara di pagi hari membuat kaki dan tangan menggigil dan makin kuat menggenggam ujung selimut.
Walhasil, kalau mau terlena begitu saja, tak mau berusaha melawan hawa (panas atau dingin), di Kairo bisa-bisa selalu tidur saja. Kondisi cuaca memang demikian, tapi sebenarnya bisa juga "dilawan" jika memang memiliki kemauan besar. Di musim panas, asal ada keinginan kuat, bisa saja tidur selepas shalat isya (jam 10.30 malam) dan sudah terbangun saat adzan subuh menjelang.
Demikian juga di musim dingin, kalau dibiasakan dapat mengatur waktu, bisa saja mudah bergegas ke kamar mandi saat jam beker terdengar menjelang subuh --meski rasa dingin kadang sampai menembus tulang. Semua tetap bergantung pada kemauan. Tergantung pada sejauh mana keinginan hendak direalisasikan.
Barangkali memang akan terasa berat buat para "pemula", yang sebelumnya sudah membiasakan diri terlena dengan cuaca. Tentu perlu perjuangan tersendiri untuk merubah penjadwalan. Asal ada kemauan, maka kemampuan itu akan datang dengan sendirinya.[]
Bawabah Tiga, 15 Nov 2006
Tidak hanya rasa kantuk, hembusan angin di luar juga membuat orang makin malas keluar rumah. Selimut tebal pun selalu jadi sasaran empuk.
Repot juga, musim panas memang susah tidur malam, tapi justru tidak --bukan malas-- bisa bangun karena semalaman sering begadang. Di musim dingin, memang mudah tidur cepat sebelum tengah malam, sayang dinginnya udara di pagi hari membuat kaki dan tangan menggigil dan makin kuat menggenggam ujung selimut.
Walhasil, kalau mau terlena begitu saja, tak mau berusaha melawan hawa (panas atau dingin), di Kairo bisa-bisa selalu tidur saja. Kondisi cuaca memang demikian, tapi sebenarnya bisa juga "dilawan" jika memang memiliki kemauan besar. Di musim panas, asal ada keinginan kuat, bisa saja tidur selepas shalat isya (jam 10.30 malam) dan sudah terbangun saat adzan subuh menjelang.
Demikian juga di musim dingin, kalau dibiasakan dapat mengatur waktu, bisa saja mudah bergegas ke kamar mandi saat jam beker terdengar menjelang subuh --meski rasa dingin kadang sampai menembus tulang. Semua tetap bergantung pada kemauan. Tergantung pada sejauh mana keinginan hendak direalisasikan.
Barangkali memang akan terasa berat buat para "pemula", yang sebelumnya sudah membiasakan diri terlena dengan cuaca. Tentu perlu perjuangan tersendiri untuk merubah penjadwalan. Asal ada kemauan, maka kemampuan itu akan datang dengan sendirinya.[]
Bawabah Tiga, 15 Nov 2006
Wednesday, November 08, 2006
Konflik PKB, Tak Boleh Ada yang Menang
Apa gerangan yang membuat konflik PKB tak juga berakhir setelah berlangsung hampir 2 tahun? Konflik di tingkat pusat, yang tentu saja membuat jajaran di bawahnya ikut kocar-kacir, sebenarnya awalnya karena masalah yang terlalu sepele. Muktamar PKB di Semarang, 16-18 April 2005, adalah pangkal semua permasalahan yang hingga kini makin rumit itu.
Masalah utamanya, kalau mau dirunut, barangkali terletak pada tokoh Gus Dur. Ketika itu, ada pihak yang menginginkan Gus Dur tetap memangku jabatan sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB. Sementara di lain pihak, ada yang berharap sudah saatnya terjadi penyegaran di puncak kekuasaan. Pihak pendukung pendapat kedua ini beranggapan bahwa jika Gus Dur masih ditempatkan pada jabatan struktular seperti itu sudah bukan tempatnya lagi, karena kedudukannya jelas sudah lebih tinggi. Gus Dur cukup berada di balik layar, melihat dan mengawasi generasi penerusnya tampil membela partai yang didirikan pada 1998 itu.
Sejak beberapa hari sebelum muktamar dilaksanakan, sebenarnya sudah terjadi gesekan-gesekan perbedaan pandangan. Jauh-jauh hari, sudah terlalu banyak statemen yang makin memanaskan situasi. Sayang semua pihak sering tak dapat mengontrol emosinya, sehingga permainan pun makin tak cantik. Bahkan seiring kian dekatnya hari penyelenggaraan muktamar, masalah terus meruncing, panas, kemudian malah melebar tak karuan.
Awalnya barangkali dibiarkan, karena dimana-mana yang namanya kongres, muktamar, musyawarah nasional atau apapun istilahnya seringkali dibumbui intrik-intrik dengan latar belakang kepentingan tertentu. Muktamar NU yang mestinya adem-ayem saja kali terakhir terpaksa "dinodai" konflik horisontal nan membara, apalagi muktamar partai selevel PKB yang jelas lebih dekat dengan kekuasan an sich.
Maka ketika perbedaan pendapat makin mengarah pada perpecahan, semua baru sadar, betapa susahnya menyelesaikan konflik yang makin membingungkan warga nahdliyin itu. Namun, kesadaran itu seperti tak ada gunanya. Pertikaian sudah terlanjur membara. Pihak-pihak yang bertikai terus sibuk mencari pembenaran atas sikapnya. Sedangkan di antara kedua pihak itu sudah merasa tak ada lagi rujukan nasehat yang dipercaya secara bersama. Beberapa kali upaya ishlah (rekonsiliasi) pun mentah karena tidak ada yang menengahi di antara kedua pihak.
Gus Dur Sebagai Bandul
Sejak awal kedatangannya di Indonesia dari melanglang buana bertahun-tahun mencari ilmu di berbagai pelosok dunia, Gus Dur memang kerap menyulut kontroversi. Bahkan seringkali, kontroversi yang ditimbulkan menyulut konflik antar person. Sebut saja tokoh sekelas KH. Idham Khalid, KH. Ali Yafie dan KH As'ad Syamsul Arifin yang semuanya ulama kharismatik dan sempat memangku jabatan strutural di NU, harus "mengalah dan menghindar" dari jabatan dan kedudukannya masing-masing karena berbeda pendapat dengan Gus Dur.
Menghadapi kiai-kiai sepuh di atas saja Gus Dur "menang", apalagi "hanya" dihadapkan pada sosok Abu Hasan saat Muktamar NU 1994 atau Matori Abdul Jalil pada pergantian presiden tahun 2001. Semua orang yang berhadapan dengan Gus Dur saat itu tak pernah ada yang bisa menang. Semua harus "menghilang" dari peredaran. Bahkan beberapa di antaranya hampir tak diingat publik sama sekali, walau pernah punya jasa besar ketika berkhidmat bersama Gus Dur.
Hanya saja, pada Muktamar NU 2004 yang diselenggarakan di Asrama Haji Donohudan Boyolali, Gus Dur terpaksa mengakui "kemenangan" orang yang belakangan sering berseberangan dengannya. Di ajang pemilihan Rois 'Am Syuriah PBNU, Gus Dur maju menjadi calon melawan KH. MA. Sahal Mahfudz. Hal ini bisa jadi karena saking gregetan-nya Gus Dur pada pamannya sendiri itu, yang kerap lebih membenarkan berbagai tindakan KH. Hasyim Muzadi yang dinilai Gus Dur melanggar aturan NU. Sayang, pada pemilihan pucuk pimpinan ormas terbesar di Indonesia ini Gus Dur kalah dukungan.
Berikutnya, karena menolak KH. Hasyim Muzadi kembali memangku jabatan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, Gus Dur mendorong KH. Masdar F. Mas'udi sebagai calon alternatif. Bahkan orang-orang di balik ketiak Gus Dur beberapa kali melakukan kampanye dengan cara-cara yang sebenarnya tabu di kalangan NU. Meski begitu, nyatanya peserta muktamar masih mendukung KH. Hasyim Muzadi.
Itulah kiranya kali pertama Gus Dur luput dari keinginan besarnya. Bahkan ketika mengancam akan membuat NU tandingan, sedikit sekali publik yang menggubris. Walhasil, NU tandingan urung didirikan. Mirip seperti keinginan Abu Hasan yang hendak melawan Gus Dur melalui NU tandingan pada 1994-1995 tapi malah kemudian gerakannya mati tak berbekas.
Konflik Paling Parah
Beberapa bulan setelah Muktamar NU Boyolali itu, nama Gus Dur kembali jadi perbincangan publik. Di Semarang, 16-18 April 2005, PKB menggelar muktamarnya yang ke-2. Dan, lagi-lagi nama Gus Dur menjadi bahan pro-kontra, antara yang mendukung kelangsungan kekuasaannya sebagai Ketua Umum Dewan Syuro dan yang menganggap Gus Dur sudah saatnya lengser keprabon serta cukup menjadi tokoh di balik layar.
Konflik pun tak terhindarkan. Kedua kubu saling berebut dukungan. Pernyataan demi pernyataan dari kedua belah pihak makin memanaskan keadaan. Bahkan, manuver-manuver dilakukan sampai melewati batas etika. Puncaknya, karena merasa dirugikan saat pembahasan aturan tata tertib Muktamar, sebagian peserta muktamar melakukan gerakan walk out (WO). Nah, justru dengan melakukan WO ini, kubu yang ingin menempatkan Gus Dur di tempat yang lebih terhormat dari sekadar Ketua Umum Dewan Syuro PKB, makin tertinggal. Esok harinya, Gus Dur pun kembali secara resmi terpilih menduduki posisi puncak PKB.
Pada konflik-konflik sebelumnya yang melibatkan Gus Dur, hampir selalu para kiai sepuh berada di belakang Gus Dur. Semua kiai hampir selalu setuju dengan setiap pendapat Gus Dur, meskipun pendapat itu kontroversial. Nah, konflik kali ini lain. Para kiai yang sebelumnya setia mendukung setiap langkah Gus Dur, memiliki pandangan lain. Di saat peserta muktamar yang ada makin melambungkan nama Gus Dur, para kiai sepuh memunculkan calon lain. Di sinilah mulai terlihat betapa konflik itu makin tak jelas ujungnya.
Kalau selama ini konflik antara dua kubu, yang satu lemah sementara yang satu kuat karena didukung kolaborasi Gus Dur dan kiai-kai sepuh, kedudukan tak berimbang dan tak lama kemudian percikan konflik pun padam dengan sendirinya. Sedangkan yang terjadi kali ini, konflik terjadi antara dua kubu yang sama-sama kuat. Nama Gus Dur masih amat disegani di banyak kalangan nahdliyin pengurus PKB, utamanya di tingkat elit wilayah dan cabang. Sementara massa riil, yang berkutat di antara dua kantong —Jawa Tengah dan Jawa Timur— kiranya masih lebih mudah mendengarkan dawuh para kiai sepuh.
Konflik ini pun dapat dikatakan sebagai konflik terparah yang pernah dialami kaum nahdliyin. Dimana menjelang 2 tahun berlangsungnya konflik ini, tak terlihat adanya perkembangan menuju penyelesaian. Yang ada justru perseteruan yang makin meruncing. Bahkan belakangan, terjadi proses reshuffle anggota legislatif yang tak mendukung hasil Muktamar Semarang. Sementara di sisi lain, ada usulan pembentukan partai baru setelah kubu yang terkalahkan di Muktamar Semarang tak juga mendapat pengakuan dari pemerintah. Meski usul ini justru menimbulkan perbedaan persepsi baru lagi di antara pendukung kubu kedua.
Tampaknya, jika kedua kudu tak ada yang mau mengalah, konflik ini akan terus berkelanjutan. Tentu saja ini sangat tidak baik bagi seluruh nahdliyin. Apalagi jika benar ada pembentukan partai baru, sudah pasti akan merugikan kedua belah pihak. Ujung-ujungnya kalangan grass root juga yang menanggung akibatnya. Permainan politik kaum nahdliyin di tingkat elit pun akan makin kerdil, tak akan bisa bersaing dengan partai-partai lain yang justru makin berkembang dengan manuver-manuver jitu.
Sekarang saja, kedudukan pimpinan DPR dari unsur PKB sudah mulai digoyang dan ada kemungkinan bisa tersingkir. Apalagi jika kelak benar-benar mengadopsi sistem proporsional, sementara PKB sendiri terpecah dengan adanya partai baru lagi, maka jangan berharap ada orang NU berada di pimpinan DPR. Walau tak ada partai baru pun, jika keadaannya masih didera konflik seperti ini, diyakini suara PKB akan merosot drastis. Barangkali masih lumayan jika konstituen PKB memilih golput pada 2009 nanti, tapi jika sampai pindah ke partai lain? Silakan hitung kerugiannya.
Sudah terlalu banyak nasehat dari berbagai kalangan, supaya kedua belah pihak melakukan rekonsiliasi. Tapi permasalahannya seperti disebutkan di atas, tak ada yang bisa dijadikan rujukan bersama sebagai penengah. Atau kalau ada, belum tentu bersedia menjadi "juri", karena memang pihak yang bertikai benar-benar orang-orang yang berada di puncak, sehingga orang dimaksud bisa-bisa kurang pede menengahi.
Selama ini pun, ketika terjadi konflik yang melibatkan Gus Dur, sebenarnya tak ada yang menengahi. Yang ada hanyalah pembelaan terhadap Gus Dur dan meminta pihak yang berseberangan mengalah. Hal ini terus terjadi sampai akhirnya di Muktamar NU Boyolali, semua kiai sepuh yang sering membela Gus Dur lebih mendukung pencalonan kembali duet KH. MA. Sahal Mahfudz-KH. Hasyim Muzadi. Bahkan ketika itu bisa dikatakan tak ada satu kiai sepuh pun yang menyetujui pandangan Gus Dur.
Gus Dur Juga Manusia
Kemenangan demi kemenangan memang diraih Gus Dur atas para "rival"-nya sejak akhir 1970-an atau awal 1980-an. Orang pun kemudian banyak yang berpandangan, Gus Dur adalah seorang wali yang hampir atau malah sama sekali tak pernah dihinggapi kealpaan. Tentu saja pandangan ini melewati batas penghormatan. Tapi memang begitulah adanya, karena melihat "kesaktian" Gus Dur yang hampir tak pernah kalah dalam setiap "pertempuran".
Orang-orang di balik Gus Dur sepertinya tidak sadar, bahwa Gus Dur juga sebenarnya manusia biasa yang dapat berbuat salah juga. Atau barangkali mereka pura-pura tidak sadar dan justru memanfaatkan keadaan seperti ini untuk kepentingan pribadi.
Kalau saja Gus Dur masih menganggap para kiai sepuh itu sebagai rujukan setiap langkah —sebagaimana sejak dulu Gus Dur selalu minta petunjuk untuk melangkah, termasuk maju dalam pencalonan presiden—, mestinya Gus Dur mendengar dawuh KH. Abdullah Faqih, KH. MA. Sahal Mahfudz, KH. Marzuki Idris dll. Mereka inilah yang beranggapan bukan saatnya lagi bagi Gus Dur "sekadar" menjadi Ketua Umu Dewan Syuro PKB. Gus Dur sudah seharusnya memiliki tempat yang lebih terhormat.
Sayang sekali, dengan berbagai dalih, Gus Dur tetap bertahan di tempatnya semula sementara orang-orang di baliknya semakin riang merayakan "kemenangan" yang mereka raih atas "bantuan" Gus Dur. Orang sekeras Gus Dur, memang tak mudah dibisiki, apalagi oleh mereka yang dianggap Gus Dur sebagai orang yang berseberangan.
Karenanya, barangkali ada baiknya kubu non-Gus Dur mengambil langkah yang lebih cantik. Misalnya, mengumpulkan para kiai sepuh lalu bersama-sama mendatangi Gus Dur dan berbicara dari hati ke hati. Menjelaskan bagaimana keadaan umat nahdliyin di kalangan bawah yang semakin hari semakin bingung. Para kiai sepuh mungkin memiliki kesibukan masing-masing, tapi demi umat, tentu para kiai bersedia diajak bermusyawarah.
Jika deal yang diinginkan adalah soal personalia kepengurusan di tingkat DPP, maka mungkin sudah saatnya semua pihak legawa untuk mempreteli semua jabatan mereka. Serahkan semua kedudukan di PKB pada para kiai. Biarkan Gus Dur dan para kiai ini yang menyusun kepengurusan sementara, tanpa ada pembisik yang sering juga membawa kepentingan pribadi. Kalau perlu, masukkan semua orang baru, yang selama ini pasif tidak ikut kubu mana pun dalam pertikaian ini.
Mumpung pemilu masih 2,5 tahun lagi, PKB harus segera diselamatkan agar bersatu kembali. Supaya konstituen kembali tenang dan tak perlu pusing melihat tingkah para elitnya yang bertikai.[]
Agus Hidayatulloh, mahasiswa Sastra Arab Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, aktivis PCI-NU Mesir dan PKB Mesir
Masalah utamanya, kalau mau dirunut, barangkali terletak pada tokoh Gus Dur. Ketika itu, ada pihak yang menginginkan Gus Dur tetap memangku jabatan sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB. Sementara di lain pihak, ada yang berharap sudah saatnya terjadi penyegaran di puncak kekuasaan. Pihak pendukung pendapat kedua ini beranggapan bahwa jika Gus Dur masih ditempatkan pada jabatan struktular seperti itu sudah bukan tempatnya lagi, karena kedudukannya jelas sudah lebih tinggi. Gus Dur cukup berada di balik layar, melihat dan mengawasi generasi penerusnya tampil membela partai yang didirikan pada 1998 itu.
Sejak beberapa hari sebelum muktamar dilaksanakan, sebenarnya sudah terjadi gesekan-gesekan perbedaan pandangan. Jauh-jauh hari, sudah terlalu banyak statemen yang makin memanaskan situasi. Sayang semua pihak sering tak dapat mengontrol emosinya, sehingga permainan pun makin tak cantik. Bahkan seiring kian dekatnya hari penyelenggaraan muktamar, masalah terus meruncing, panas, kemudian malah melebar tak karuan.
Awalnya barangkali dibiarkan, karena dimana-mana yang namanya kongres, muktamar, musyawarah nasional atau apapun istilahnya seringkali dibumbui intrik-intrik dengan latar belakang kepentingan tertentu. Muktamar NU yang mestinya adem-ayem saja kali terakhir terpaksa "dinodai" konflik horisontal nan membara, apalagi muktamar partai selevel PKB yang jelas lebih dekat dengan kekuasan an sich.
Maka ketika perbedaan pendapat makin mengarah pada perpecahan, semua baru sadar, betapa susahnya menyelesaikan konflik yang makin membingungkan warga nahdliyin itu. Namun, kesadaran itu seperti tak ada gunanya. Pertikaian sudah terlanjur membara. Pihak-pihak yang bertikai terus sibuk mencari pembenaran atas sikapnya. Sedangkan di antara kedua pihak itu sudah merasa tak ada lagi rujukan nasehat yang dipercaya secara bersama. Beberapa kali upaya ishlah (rekonsiliasi) pun mentah karena tidak ada yang menengahi di antara kedua pihak.
Gus Dur Sebagai Bandul
Sejak awal kedatangannya di Indonesia dari melanglang buana bertahun-tahun mencari ilmu di berbagai pelosok dunia, Gus Dur memang kerap menyulut kontroversi. Bahkan seringkali, kontroversi yang ditimbulkan menyulut konflik antar person. Sebut saja tokoh sekelas KH. Idham Khalid, KH. Ali Yafie dan KH As'ad Syamsul Arifin yang semuanya ulama kharismatik dan sempat memangku jabatan strutural di NU, harus "mengalah dan menghindar" dari jabatan dan kedudukannya masing-masing karena berbeda pendapat dengan Gus Dur.
Menghadapi kiai-kiai sepuh di atas saja Gus Dur "menang", apalagi "hanya" dihadapkan pada sosok Abu Hasan saat Muktamar NU 1994 atau Matori Abdul Jalil pada pergantian presiden tahun 2001. Semua orang yang berhadapan dengan Gus Dur saat itu tak pernah ada yang bisa menang. Semua harus "menghilang" dari peredaran. Bahkan beberapa di antaranya hampir tak diingat publik sama sekali, walau pernah punya jasa besar ketika berkhidmat bersama Gus Dur.
Hanya saja, pada Muktamar NU 2004 yang diselenggarakan di Asrama Haji Donohudan Boyolali, Gus Dur terpaksa mengakui "kemenangan" orang yang belakangan sering berseberangan dengannya. Di ajang pemilihan Rois 'Am Syuriah PBNU, Gus Dur maju menjadi calon melawan KH. MA. Sahal Mahfudz. Hal ini bisa jadi karena saking gregetan-nya Gus Dur pada pamannya sendiri itu, yang kerap lebih membenarkan berbagai tindakan KH. Hasyim Muzadi yang dinilai Gus Dur melanggar aturan NU. Sayang, pada pemilihan pucuk pimpinan ormas terbesar di Indonesia ini Gus Dur kalah dukungan.
Berikutnya, karena menolak KH. Hasyim Muzadi kembali memangku jabatan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, Gus Dur mendorong KH. Masdar F. Mas'udi sebagai calon alternatif. Bahkan orang-orang di balik ketiak Gus Dur beberapa kali melakukan kampanye dengan cara-cara yang sebenarnya tabu di kalangan NU. Meski begitu, nyatanya peserta muktamar masih mendukung KH. Hasyim Muzadi.
Itulah kiranya kali pertama Gus Dur luput dari keinginan besarnya. Bahkan ketika mengancam akan membuat NU tandingan, sedikit sekali publik yang menggubris. Walhasil, NU tandingan urung didirikan. Mirip seperti keinginan Abu Hasan yang hendak melawan Gus Dur melalui NU tandingan pada 1994-1995 tapi malah kemudian gerakannya mati tak berbekas.
Konflik Paling Parah
Beberapa bulan setelah Muktamar NU Boyolali itu, nama Gus Dur kembali jadi perbincangan publik. Di Semarang, 16-18 April 2005, PKB menggelar muktamarnya yang ke-2. Dan, lagi-lagi nama Gus Dur menjadi bahan pro-kontra, antara yang mendukung kelangsungan kekuasaannya sebagai Ketua Umum Dewan Syuro dan yang menganggap Gus Dur sudah saatnya lengser keprabon serta cukup menjadi tokoh di balik layar.
Konflik pun tak terhindarkan. Kedua kubu saling berebut dukungan. Pernyataan demi pernyataan dari kedua belah pihak makin memanaskan keadaan. Bahkan, manuver-manuver dilakukan sampai melewati batas etika. Puncaknya, karena merasa dirugikan saat pembahasan aturan tata tertib Muktamar, sebagian peserta muktamar melakukan gerakan walk out (WO). Nah, justru dengan melakukan WO ini, kubu yang ingin menempatkan Gus Dur di tempat yang lebih terhormat dari sekadar Ketua Umum Dewan Syuro PKB, makin tertinggal. Esok harinya, Gus Dur pun kembali secara resmi terpilih menduduki posisi puncak PKB.
Pada konflik-konflik sebelumnya yang melibatkan Gus Dur, hampir selalu para kiai sepuh berada di belakang Gus Dur. Semua kiai hampir selalu setuju dengan setiap pendapat Gus Dur, meskipun pendapat itu kontroversial. Nah, konflik kali ini lain. Para kiai yang sebelumnya setia mendukung setiap langkah Gus Dur, memiliki pandangan lain. Di saat peserta muktamar yang ada makin melambungkan nama Gus Dur, para kiai sepuh memunculkan calon lain. Di sinilah mulai terlihat betapa konflik itu makin tak jelas ujungnya.
Kalau selama ini konflik antara dua kubu, yang satu lemah sementara yang satu kuat karena didukung kolaborasi Gus Dur dan kiai-kai sepuh, kedudukan tak berimbang dan tak lama kemudian percikan konflik pun padam dengan sendirinya. Sedangkan yang terjadi kali ini, konflik terjadi antara dua kubu yang sama-sama kuat. Nama Gus Dur masih amat disegani di banyak kalangan nahdliyin pengurus PKB, utamanya di tingkat elit wilayah dan cabang. Sementara massa riil, yang berkutat di antara dua kantong —Jawa Tengah dan Jawa Timur— kiranya masih lebih mudah mendengarkan dawuh para kiai sepuh.
Konflik ini pun dapat dikatakan sebagai konflik terparah yang pernah dialami kaum nahdliyin. Dimana menjelang 2 tahun berlangsungnya konflik ini, tak terlihat adanya perkembangan menuju penyelesaian. Yang ada justru perseteruan yang makin meruncing. Bahkan belakangan, terjadi proses reshuffle anggota legislatif yang tak mendukung hasil Muktamar Semarang. Sementara di sisi lain, ada usulan pembentukan partai baru setelah kubu yang terkalahkan di Muktamar Semarang tak juga mendapat pengakuan dari pemerintah. Meski usul ini justru menimbulkan perbedaan persepsi baru lagi di antara pendukung kubu kedua.
Tampaknya, jika kedua kudu tak ada yang mau mengalah, konflik ini akan terus berkelanjutan. Tentu saja ini sangat tidak baik bagi seluruh nahdliyin. Apalagi jika benar ada pembentukan partai baru, sudah pasti akan merugikan kedua belah pihak. Ujung-ujungnya kalangan grass root juga yang menanggung akibatnya. Permainan politik kaum nahdliyin di tingkat elit pun akan makin kerdil, tak akan bisa bersaing dengan partai-partai lain yang justru makin berkembang dengan manuver-manuver jitu.
Sekarang saja, kedudukan pimpinan DPR dari unsur PKB sudah mulai digoyang dan ada kemungkinan bisa tersingkir. Apalagi jika kelak benar-benar mengadopsi sistem proporsional, sementara PKB sendiri terpecah dengan adanya partai baru lagi, maka jangan berharap ada orang NU berada di pimpinan DPR. Walau tak ada partai baru pun, jika keadaannya masih didera konflik seperti ini, diyakini suara PKB akan merosot drastis. Barangkali masih lumayan jika konstituen PKB memilih golput pada 2009 nanti, tapi jika sampai pindah ke partai lain? Silakan hitung kerugiannya.
Sudah terlalu banyak nasehat dari berbagai kalangan, supaya kedua belah pihak melakukan rekonsiliasi. Tapi permasalahannya seperti disebutkan di atas, tak ada yang bisa dijadikan rujukan bersama sebagai penengah. Atau kalau ada, belum tentu bersedia menjadi "juri", karena memang pihak yang bertikai benar-benar orang-orang yang berada di puncak, sehingga orang dimaksud bisa-bisa kurang pede menengahi.
Selama ini pun, ketika terjadi konflik yang melibatkan Gus Dur, sebenarnya tak ada yang menengahi. Yang ada hanyalah pembelaan terhadap Gus Dur dan meminta pihak yang berseberangan mengalah. Hal ini terus terjadi sampai akhirnya di Muktamar NU Boyolali, semua kiai sepuh yang sering membela Gus Dur lebih mendukung pencalonan kembali duet KH. MA. Sahal Mahfudz-KH. Hasyim Muzadi. Bahkan ketika itu bisa dikatakan tak ada satu kiai sepuh pun yang menyetujui pandangan Gus Dur.
Gus Dur Juga Manusia
Kemenangan demi kemenangan memang diraih Gus Dur atas para "rival"-nya sejak akhir 1970-an atau awal 1980-an. Orang pun kemudian banyak yang berpandangan, Gus Dur adalah seorang wali yang hampir atau malah sama sekali tak pernah dihinggapi kealpaan. Tentu saja pandangan ini melewati batas penghormatan. Tapi memang begitulah adanya, karena melihat "kesaktian" Gus Dur yang hampir tak pernah kalah dalam setiap "pertempuran".
Orang-orang di balik Gus Dur sepertinya tidak sadar, bahwa Gus Dur juga sebenarnya manusia biasa yang dapat berbuat salah juga. Atau barangkali mereka pura-pura tidak sadar dan justru memanfaatkan keadaan seperti ini untuk kepentingan pribadi.
Kalau saja Gus Dur masih menganggap para kiai sepuh itu sebagai rujukan setiap langkah —sebagaimana sejak dulu Gus Dur selalu minta petunjuk untuk melangkah, termasuk maju dalam pencalonan presiden—, mestinya Gus Dur mendengar dawuh KH. Abdullah Faqih, KH. MA. Sahal Mahfudz, KH. Marzuki Idris dll. Mereka inilah yang beranggapan bukan saatnya lagi bagi Gus Dur "sekadar" menjadi Ketua Umu Dewan Syuro PKB. Gus Dur sudah seharusnya memiliki tempat yang lebih terhormat.
Sayang sekali, dengan berbagai dalih, Gus Dur tetap bertahan di tempatnya semula sementara orang-orang di baliknya semakin riang merayakan "kemenangan" yang mereka raih atas "bantuan" Gus Dur. Orang sekeras Gus Dur, memang tak mudah dibisiki, apalagi oleh mereka yang dianggap Gus Dur sebagai orang yang berseberangan.
Karenanya, barangkali ada baiknya kubu non-Gus Dur mengambil langkah yang lebih cantik. Misalnya, mengumpulkan para kiai sepuh lalu bersama-sama mendatangi Gus Dur dan berbicara dari hati ke hati. Menjelaskan bagaimana keadaan umat nahdliyin di kalangan bawah yang semakin hari semakin bingung. Para kiai sepuh mungkin memiliki kesibukan masing-masing, tapi demi umat, tentu para kiai bersedia diajak bermusyawarah.
Jika deal yang diinginkan adalah soal personalia kepengurusan di tingkat DPP, maka mungkin sudah saatnya semua pihak legawa untuk mempreteli semua jabatan mereka. Serahkan semua kedudukan di PKB pada para kiai. Biarkan Gus Dur dan para kiai ini yang menyusun kepengurusan sementara, tanpa ada pembisik yang sering juga membawa kepentingan pribadi. Kalau perlu, masukkan semua orang baru, yang selama ini pasif tidak ikut kubu mana pun dalam pertikaian ini.
Mumpung pemilu masih 2,5 tahun lagi, PKB harus segera diselamatkan agar bersatu kembali. Supaya konstituen kembali tenang dan tak perlu pusing melihat tingkah para elitnya yang bertikai.[]
Agus Hidayatulloh, mahasiswa Sastra Arab Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, aktivis PCI-NU Mesir dan PKB Mesir
Kangen Bergelantungan
Dengan semangat empat lima, aku bangun pagi. Tidak terlalu pagi sebenarnya, karena satu jam lebih terlambat dari waktu sahur. Masih untung lah tidak bablas terlewat shalat subuh. Tapi, menyesal juga karena niat puasa Syawal yang malam harinya didengungkan terpaksa dibatalkan; takut tidak kuat atau sakit maag.
Setelah bersih-bersih diri dan sedikit bersolek seperlunya, dandanan necis tebal siap melawan dinginnya udara Kairo. Di halte --sementara hawa sejuk terus berhembus--, sempat bertemu teman-teman seperjuangan dengan berbagai arah; ada yang mau kuliah, mengurus perpanjangan visa, bikin kartu mahasiswa atau sekadar jalan-jalan.
Sempat menunggu beberapa menit di halte, akhirnya bus menuju kampus datang juga. Wouw... tampaknya sudah tak ada tempat walau hanya untuk berdiri. "Khuz, khuz gowwa..," demikian kondektur memerintahkan orang-orang untuk mengisi beberapa jengkal lahan yang masih ada di dalam bus.
Meski sudah begitu, tampaknya tak juga cukup untuk menampung beberapa orang yang hendak naik dari halte yang sama denganku. Beruntung, aku dapat melangkah lebih cepat sebelumnya sehingga tak perlu memaksa diri bergelantungan di luar pintu. Sementara 2 orang di belakangku terpaksa beberapa saat harus mengaitkan tangannya pada pegangan di samping pintu, meski tubuhnya masih tertinggal di luar badan bus.
Halte berikutnya yang berjarak tak lebih dari 300 meter, sudah ada beberapa calon penumpang lagi. "Mafisy makan ya kapten," kata salah seorang penumpang protes pada kondektur. Ya, sebelum kondektur memaksa mereka yang di dalam untuk lebih berhimpitan lagi, salah seorang di antaranya sudah keberatan bahwa di dalam sudah terlalu sesak dan tak ada tempat lagi untuk penumpang berikutnya, kecuali ada yang turun.
Tapi, bus ini adalah spesialis langganan mahasiswa Al-Azhar, sementara kampusnya masih berkilo-kilo meter lagi. Memang ada satu-dua penumpang yang turun di tengah perjalanan, tapi tetap saja jumlah yang membutuhkan bus itu lebih banyak dari jumlah dan kuota armadanya. Apalagi sekarang adalah masa-masa aktif kuliah.
Masih sedikit beruntung sebenarnya, karena saat ini adalah musim dingin. Kalau saja harus berhimpitan seperti itu pada musim panas, tentu saja berharap hidung pilek dan tahan bau. Bagaimana tidak, peluh keringat bercampur debu dan semua berhimpitan saling menempel, sungguh suatu "teror" tersendiri bagi mereka yang hendak rajin kuliah.
Kalau saat berangkat kuliah, barangkali sebenarnya tak terlalu dirisaukan, musim panas juga orang bisa mandi tiap hari. Tapi pulang kuliah? Hmmm, bisa dibayangkan seperti apa bau orang-orang mesir yang suka makan bawang dan sayuran mentah, serta setelah sekian jam berada dalam kecimpung aktifitas.
Hal ini mengingatkanku pada masa-masa awal datang di Kairo dulu. Saat masih baru-barunya menyandang predikat sebagai mahasiswa Al-Azhar, datang ke kampus lumrah dilakukan tiap hari. Tapi seiring dengan usia di Kairo yang makin lama, serta "ideologi" tak wajib kuliah yang kian tertanam dalam hati, hal seperti ini jadi makin terlupakan.
Maka, setelah sekian lama tak "menikmati" indahnya berjubel dalam bus menuju kampus, adalah menjadi kenangan tersendiri berangkat kuliah pada jam sibuk seperti itu. Apalagi, tahun sebelumnya aku sempat tinggal di asrama, yang jaraknya tak terlalu jauh dengan kampus, sehingga tak perlu berdesakan dalam bus dulu sebelum menghadapi "teror" berikutnya; bagaimana mendengarkan penjelasan dosen yang selalu menggunakan bahasa Arab pasaran.
Bawabah Tiga, 7 November 2006
Setelah bersih-bersih diri dan sedikit bersolek seperlunya, dandanan necis tebal siap melawan dinginnya udara Kairo. Di halte --sementara hawa sejuk terus berhembus--, sempat bertemu teman-teman seperjuangan dengan berbagai arah; ada yang mau kuliah, mengurus perpanjangan visa, bikin kartu mahasiswa atau sekadar jalan-jalan.
Sempat menunggu beberapa menit di halte, akhirnya bus menuju kampus datang juga. Wouw... tampaknya sudah tak ada tempat walau hanya untuk berdiri. "Khuz, khuz gowwa..," demikian kondektur memerintahkan orang-orang untuk mengisi beberapa jengkal lahan yang masih ada di dalam bus.
Meski sudah begitu, tampaknya tak juga cukup untuk menampung beberapa orang yang hendak naik dari halte yang sama denganku. Beruntung, aku dapat melangkah lebih cepat sebelumnya sehingga tak perlu memaksa diri bergelantungan di luar pintu. Sementara 2 orang di belakangku terpaksa beberapa saat harus mengaitkan tangannya pada pegangan di samping pintu, meski tubuhnya masih tertinggal di luar badan bus.
Halte berikutnya yang berjarak tak lebih dari 300 meter, sudah ada beberapa calon penumpang lagi. "Mafisy makan ya kapten," kata salah seorang penumpang protes pada kondektur. Ya, sebelum kondektur memaksa mereka yang di dalam untuk lebih berhimpitan lagi, salah seorang di antaranya sudah keberatan bahwa di dalam sudah terlalu sesak dan tak ada tempat lagi untuk penumpang berikutnya, kecuali ada yang turun.
Tapi, bus ini adalah spesialis langganan mahasiswa Al-Azhar, sementara kampusnya masih berkilo-kilo meter lagi. Memang ada satu-dua penumpang yang turun di tengah perjalanan, tapi tetap saja jumlah yang membutuhkan bus itu lebih banyak dari jumlah dan kuota armadanya. Apalagi sekarang adalah masa-masa aktif kuliah.
Masih sedikit beruntung sebenarnya, karena saat ini adalah musim dingin. Kalau saja harus berhimpitan seperti itu pada musim panas, tentu saja berharap hidung pilek dan tahan bau. Bagaimana tidak, peluh keringat bercampur debu dan semua berhimpitan saling menempel, sungguh suatu "teror" tersendiri bagi mereka yang hendak rajin kuliah.
Kalau saat berangkat kuliah, barangkali sebenarnya tak terlalu dirisaukan, musim panas juga orang bisa mandi tiap hari. Tapi pulang kuliah? Hmmm, bisa dibayangkan seperti apa bau orang-orang mesir yang suka makan bawang dan sayuran mentah, serta setelah sekian jam berada dalam kecimpung aktifitas.
Hal ini mengingatkanku pada masa-masa awal datang di Kairo dulu. Saat masih baru-barunya menyandang predikat sebagai mahasiswa Al-Azhar, datang ke kampus lumrah dilakukan tiap hari. Tapi seiring dengan usia di Kairo yang makin lama, serta "ideologi" tak wajib kuliah yang kian tertanam dalam hati, hal seperti ini jadi makin terlupakan.
Maka, setelah sekian lama tak "menikmati" indahnya berjubel dalam bus menuju kampus, adalah menjadi kenangan tersendiri berangkat kuliah pada jam sibuk seperti itu. Apalagi, tahun sebelumnya aku sempat tinggal di asrama, yang jaraknya tak terlalu jauh dengan kampus, sehingga tak perlu berdesakan dalam bus dulu sebelum menghadapi "teror" berikutnya; bagaimana mendengarkan penjelasan dosen yang selalu menggunakan bahasa Arab pasaran.
Bawabah Tiga, 7 November 2006
Friday, November 03, 2006
Akademik Problem yang Pelik (?)
Mendengar rubrik yang disodorkan dan ditawarkan pada saya ini, sebenarnya saya kurang berani mengiyakan. Hanya saja, lebih malu rasanya untuk menolak, apalagi saya juga pernah berkecimpung dalam dunia tulis-menulis.
Dengan keberanian-keberanian yang "dipaksakan" ada inilah, saya mencoba mengurutkan beberapa kalimat yang berseliweran dalam pikiran. Jika disebut sebagai analisa, barangkali masih kurang tepat, karena saya bukanlah orang yang cakap dalam menelaah kasus tertentu hingga jauh mendalam.
Berbicara mengenai prestasi akademik Masisir, barangkali sudah tidak sehangat beberapa waktu lalu, saat baru-barunya turun pengumuman hasil ujian. Namun demi menjaga perhatian kita akan pentingnya prestasi belajar, tentu tetap pantas terus kita bicarakan.
Menurut saya, ada banyak hal yang dapat menjadi faktor penunjang kegagalan maupun keberhasilan nilai akademis Masisir. Tentu saja yang utama adalah faktor personal masing-masing. Jika datang ke Mesir dengan hanya modal ijazah sementara kemampuan bahasa Arab nol, tentu harus bersabar untuk dapat lulus strata satu Universitas Al-Azhar —yang barangkali banyak dipilih Masisir karena murahnya.
Sementara memiliki kemampuan bahasa Arab pun, belum tentu dapat berjalan mulus mengikuti dan melewati kelas demi kelas dalam jenjang pendidikan Al-Azhar. Selain kemampuan yang mesti terus diasah, setiap pelajar dan mahasiswa tentunya harus selalu dapat mempertahankan kemauannya untuk terus belajar. Sudah terlalu banyak contoh personal di antara kita, yang sebenarnya memiliki kemampuan bahasa Arab (sebagai kekuatan utama di Al-Azhar) mencukupi, tapi karena meremehkan atau memang tak memiliki kemauan tinggi, akhirnya terseok-seok.
Di sisi lain, tidak sedikit pula yang ketika awal datang ke sini sebenarnya baru mengerti beberapa kosakata bahasa Arab, tapi karena kemauan yang terus membubung ke langit, akhirnya lancar menjalani setiap ujian. Barangkali awalnya mengandalkan hafalan, sementara pemahaman masih sedikit, tapi lama kelamaan dapat dengan sendirinya mengikuti setiap materi; asal dapat menjaga konsistensi kemauan dan mengasah kemampuan. Ya, dan konsistensi sudah jamak menjadi masalah yang pelik.
Selain faktor diri masing-masing —yang erat kaitannya dengan kemampuan dan kemauan itu—, memang sedikit banyak di antara kita ikut terpengaruh lingkungan yang ada. Kesepakatan Mahasiswa Minang (KMM) yang empat kali menjadi jawara PPMI Academic Awards selama lima tahun terakhir, merupakan suri teladan nyata dari pembentukan lingkungan yang "lebih dekat" dengan pengembangan dan peningkatan mutu akademis anggotanya. Sejak datangnya mahasiswa baru, sudah dibentuk kelompok belajar (biasanya dibuat satu rumah) dengan masing-masing memiliki senior dengan kompetensi tertentu. Sehingga lingkungan yang ada, dapat diarahkan untuk selalu memperhatikan tujuan awal Masisir datang ke Mesir; belajar.
Memang tidak semua Masisir harus sependapat atau sejalan pikirannya dengan apa yang sudah dilakukan KMM ini. Tidak setiap mahasiswa harus dan atau mau diarahkan. Barangkali ada yang memiliki tipe lain, bisa belajar atas kemauan sendiri dan malah merasa "tersiksa" jika "diawasi" orang lain; sah-sah saja. Tapi paling tidak, KMM telah menunjukkan diri sebagai organisasi yang peduli pada tujuan awal kedatangan anggotanya, yaitu mencari ilmu.
Lingkungan Masisir yang dari dulu —entah sejak kapan— dibiasakan dengan "ideologi" tidak wajib kuliah, kalau mau disadari sebenarnya sangatlah negatif. Kalau alasannya adalah ruangan kuliah di Al-Azhar yang terlalu sempit menampung jika semua mahasiswa hadir, sepertinya itu adalah pembenaran atas "ideologi" tadi. Jadi, perlu secara ekstrim merubah "ideologi" seperti itu, yang harus saya akui, saya sendiri kurang dapat memberikan alternatif solusinya.
Memang ada contoh yang menunjukkan beberapa orang bisa tetap lancar menunaikan setiap tingkat hingga lulus kuliah meski tak pernah mengikuti muhadharah dosen, tapi jika hal itu terus didengungkan tentu sangat tidak baik bagi mereka "yang hidup normal". Karena normalnya, mereka yang tiap hari datang ke kuliah tanpa lelah, dapat dengan mudah mengakses setiap perkembangan terbaru; baik ketentuan bacaan wajib (tahdid muqarrar), perubahan atau tambahan keterangan dari dosen dan lain-lain.
Semua pihak yang bersinggungan dengan Masisir —langsung maupun tak langsung— mestinya memang harus peduli dengan fenomena ini. Apalagi, dengan semakin membludaknya kuantitas Masisir dari tahun ke tahun; yang sayang peningkatan ini kurang dapat diikuti secara linear dengan peningkatan kualitas akademis Masisir.
Kepedulian Departemen Agama sendiri saya kira patut diacungi jempol. Saya memang salah seorang yang setuju dengan langkah Depag dalam menyeleksi setiap mahasiswa yang hendak ke Mesir. Meski dalam pelaksanaan teknisnya menurut saya perlu adanya perbaikan-perbaikan, esensi adanya seleksi ini sangatlah perlu. Hal ini juga untuk menghindari disorientasi beberapa pihak yang gencar mendorong lulusan-lulusan madrasah aliyah atau pondok pesantren segera datang ke Mesir sebagai gudangnya ilmu.
Awalnya saya berharap tes (demikian saya harapkan) pada tahun ini tidak memutuskan jalan bagi mereka yang hendak ke Mesir tapi tak mampu mengungguli nilai 6,00. Biarkan pada tahun pertama penggunaan seleksi (atau istilah "tes" yang saya harapkan), cukup dilihatkan nilainya dan semuanya diberangkatkan ke Mesir. Jika kelak mereka yang mendapat nilai di bawah 6,00 memang tak ada yang lulus atau mayoritas memang gagal naik tingkat, di sinilah ditemukan alat pemukul balik bagi mereka yang tak setuju dengan diadakannya seleksi. Tapi ternyata Depag bertindak lebih tegas dari yang saya bayangkan, dan saya pun tetap mendukung langkah itu.
Sementara KBRI, beberapa tahun belakangan ini terlihat semakin peduli dengan prestasi akademik Masisir. Bahkan secara teknis mau turun tangan datang ke setiap Bagian Kemahasiswaan tiap-tiap fakultas untuk mengumpulkan hasil ujian semua mahasiswa Indonesia —agar data yang terkumpul benar-benar valid. Langkah nyata pemantauan seperti ini perlu terus dilanjutkan, di samping memberikan penghargaan bagi mereka yang memiliki prestasi akademik di atas rata-rata.
Selain itu, dorongan motivasi juga perlu terus didengungkan. Belakangan, makin banyak pejabat dan staf KBRI menanyai hasil ujian satu per satu mahasiswa yang datang ke Garden City atau jika bertemu di beberapa kesempatan. Hal ini baik juga, supaya mereka yang gagal ujian mau dan lebih tergerak hatinya untuk belajar makin rajin.
PPMI dan organisasi-organisasi di bawahnya —baik kekeluargaan, afiliatif, almamater dll—, pun juga harus peduli dengan prestasi akademik ini. Kepedulian masing-masing organisasi barangkali tak bisa disamakan, tapi jika semua benar-benar memperhatikan masalah ini, niscaya tidak terlalu sulit mengangkat Masisir dari jurang keterpurukan prestasi akademik. Pengadaan bimbingan belajar, penyelenggaraan acara yang tak bertabrakan dengan jadwal kuliah secara umum, pelaksanaan diskusi atau seminar yang tak jauh dari bau akademis, tentu sangat membantu dalam proyek bersama mengangkat nilai akademis Masisir ini.
Sementara kita sebagai mahasiswa yang jelas-jelas saling bersinggungan langsung tiap hari dengan masalah prestasi akademik ini, harus dapat menjaga konsistensi kemauan dan kemampuan untuk terus belajar. Jika setiap pribadi dapat berbuat maksimal untuk mengangkat dan meningkatkan mutu akademiknya, tentu dengan sendirinya nilai akademik Masisir akan terangkat secara umum.[]
*Tulisan untuk TEROBOSAN Edisi 1 November 2006
Dengan keberanian-keberanian yang "dipaksakan" ada inilah, saya mencoba mengurutkan beberapa kalimat yang berseliweran dalam pikiran. Jika disebut sebagai analisa, barangkali masih kurang tepat, karena saya bukanlah orang yang cakap dalam menelaah kasus tertentu hingga jauh mendalam.
Berbicara mengenai prestasi akademik Masisir, barangkali sudah tidak sehangat beberapa waktu lalu, saat baru-barunya turun pengumuman hasil ujian. Namun demi menjaga perhatian kita akan pentingnya prestasi belajar, tentu tetap pantas terus kita bicarakan.
Menurut saya, ada banyak hal yang dapat menjadi faktor penunjang kegagalan maupun keberhasilan nilai akademis Masisir. Tentu saja yang utama adalah faktor personal masing-masing. Jika datang ke Mesir dengan hanya modal ijazah sementara kemampuan bahasa Arab nol, tentu harus bersabar untuk dapat lulus strata satu Universitas Al-Azhar —yang barangkali banyak dipilih Masisir karena murahnya.
Sementara memiliki kemampuan bahasa Arab pun, belum tentu dapat berjalan mulus mengikuti dan melewati kelas demi kelas dalam jenjang pendidikan Al-Azhar. Selain kemampuan yang mesti terus diasah, setiap pelajar dan mahasiswa tentunya harus selalu dapat mempertahankan kemauannya untuk terus belajar. Sudah terlalu banyak contoh personal di antara kita, yang sebenarnya memiliki kemampuan bahasa Arab (sebagai kekuatan utama di Al-Azhar) mencukupi, tapi karena meremehkan atau memang tak memiliki kemauan tinggi, akhirnya terseok-seok.
Di sisi lain, tidak sedikit pula yang ketika awal datang ke sini sebenarnya baru mengerti beberapa kosakata bahasa Arab, tapi karena kemauan yang terus membubung ke langit, akhirnya lancar menjalani setiap ujian. Barangkali awalnya mengandalkan hafalan, sementara pemahaman masih sedikit, tapi lama kelamaan dapat dengan sendirinya mengikuti setiap materi; asal dapat menjaga konsistensi kemauan dan mengasah kemampuan. Ya, dan konsistensi sudah jamak menjadi masalah yang pelik.
Selain faktor diri masing-masing —yang erat kaitannya dengan kemampuan dan kemauan itu—, memang sedikit banyak di antara kita ikut terpengaruh lingkungan yang ada. Kesepakatan Mahasiswa Minang (KMM) yang empat kali menjadi jawara PPMI Academic Awards selama lima tahun terakhir, merupakan suri teladan nyata dari pembentukan lingkungan yang "lebih dekat" dengan pengembangan dan peningkatan mutu akademis anggotanya. Sejak datangnya mahasiswa baru, sudah dibentuk kelompok belajar (biasanya dibuat satu rumah) dengan masing-masing memiliki senior dengan kompetensi tertentu. Sehingga lingkungan yang ada, dapat diarahkan untuk selalu memperhatikan tujuan awal Masisir datang ke Mesir; belajar.
Memang tidak semua Masisir harus sependapat atau sejalan pikirannya dengan apa yang sudah dilakukan KMM ini. Tidak setiap mahasiswa harus dan atau mau diarahkan. Barangkali ada yang memiliki tipe lain, bisa belajar atas kemauan sendiri dan malah merasa "tersiksa" jika "diawasi" orang lain; sah-sah saja. Tapi paling tidak, KMM telah menunjukkan diri sebagai organisasi yang peduli pada tujuan awal kedatangan anggotanya, yaitu mencari ilmu.
Lingkungan Masisir yang dari dulu —entah sejak kapan— dibiasakan dengan "ideologi" tidak wajib kuliah, kalau mau disadari sebenarnya sangatlah negatif. Kalau alasannya adalah ruangan kuliah di Al-Azhar yang terlalu sempit menampung jika semua mahasiswa hadir, sepertinya itu adalah pembenaran atas "ideologi" tadi. Jadi, perlu secara ekstrim merubah "ideologi" seperti itu, yang harus saya akui, saya sendiri kurang dapat memberikan alternatif solusinya.
Memang ada contoh yang menunjukkan beberapa orang bisa tetap lancar menunaikan setiap tingkat hingga lulus kuliah meski tak pernah mengikuti muhadharah dosen, tapi jika hal itu terus didengungkan tentu sangat tidak baik bagi mereka "yang hidup normal". Karena normalnya, mereka yang tiap hari datang ke kuliah tanpa lelah, dapat dengan mudah mengakses setiap perkembangan terbaru; baik ketentuan bacaan wajib (tahdid muqarrar), perubahan atau tambahan keterangan dari dosen dan lain-lain.
Semua pihak yang bersinggungan dengan Masisir —langsung maupun tak langsung— mestinya memang harus peduli dengan fenomena ini. Apalagi, dengan semakin membludaknya kuantitas Masisir dari tahun ke tahun; yang sayang peningkatan ini kurang dapat diikuti secara linear dengan peningkatan kualitas akademis Masisir.
Kepedulian Departemen Agama sendiri saya kira patut diacungi jempol. Saya memang salah seorang yang setuju dengan langkah Depag dalam menyeleksi setiap mahasiswa yang hendak ke Mesir. Meski dalam pelaksanaan teknisnya menurut saya perlu adanya perbaikan-perbaikan, esensi adanya seleksi ini sangatlah perlu. Hal ini juga untuk menghindari disorientasi beberapa pihak yang gencar mendorong lulusan-lulusan madrasah aliyah atau pondok pesantren segera datang ke Mesir sebagai gudangnya ilmu.
Awalnya saya berharap tes (demikian saya harapkan) pada tahun ini tidak memutuskan jalan bagi mereka yang hendak ke Mesir tapi tak mampu mengungguli nilai 6,00. Biarkan pada tahun pertama penggunaan seleksi (atau istilah "tes" yang saya harapkan), cukup dilihatkan nilainya dan semuanya diberangkatkan ke Mesir. Jika kelak mereka yang mendapat nilai di bawah 6,00 memang tak ada yang lulus atau mayoritas memang gagal naik tingkat, di sinilah ditemukan alat pemukul balik bagi mereka yang tak setuju dengan diadakannya seleksi. Tapi ternyata Depag bertindak lebih tegas dari yang saya bayangkan, dan saya pun tetap mendukung langkah itu.
Sementara KBRI, beberapa tahun belakangan ini terlihat semakin peduli dengan prestasi akademik Masisir. Bahkan secara teknis mau turun tangan datang ke setiap Bagian Kemahasiswaan tiap-tiap fakultas untuk mengumpulkan hasil ujian semua mahasiswa Indonesia —agar data yang terkumpul benar-benar valid. Langkah nyata pemantauan seperti ini perlu terus dilanjutkan, di samping memberikan penghargaan bagi mereka yang memiliki prestasi akademik di atas rata-rata.
Selain itu, dorongan motivasi juga perlu terus didengungkan. Belakangan, makin banyak pejabat dan staf KBRI menanyai hasil ujian satu per satu mahasiswa yang datang ke Garden City atau jika bertemu di beberapa kesempatan. Hal ini baik juga, supaya mereka yang gagal ujian mau dan lebih tergerak hatinya untuk belajar makin rajin.
PPMI dan organisasi-organisasi di bawahnya —baik kekeluargaan, afiliatif, almamater dll—, pun juga harus peduli dengan prestasi akademik ini. Kepedulian masing-masing organisasi barangkali tak bisa disamakan, tapi jika semua benar-benar memperhatikan masalah ini, niscaya tidak terlalu sulit mengangkat Masisir dari jurang keterpurukan prestasi akademik. Pengadaan bimbingan belajar, penyelenggaraan acara yang tak bertabrakan dengan jadwal kuliah secara umum, pelaksanaan diskusi atau seminar yang tak jauh dari bau akademis, tentu sangat membantu dalam proyek bersama mengangkat nilai akademis Masisir ini.
Sementara kita sebagai mahasiswa yang jelas-jelas saling bersinggungan langsung tiap hari dengan masalah prestasi akademik ini, harus dapat menjaga konsistensi kemauan dan kemampuan untuk terus belajar. Jika setiap pribadi dapat berbuat maksimal untuk mengangkat dan meningkatkan mutu akademiknya, tentu dengan sendirinya nilai akademik Masisir akan terangkat secara umum.[]
*Tulisan untuk TEROBOSAN Edisi 1 November 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)