Sunday, March 18, 2007
Mesir = Abu Simbel
Ada banyak hal yang mendukung kalimat "jangan ngaku pernah ke Mesir sebelum sampai Abu Simbel". Maklum, justru peradaban Mesir kuno yang amat terkenal itu banyak berserakan di daerah selatan Mesir, mulai dari Luxor, Aswan hingga Abu Simbel di ujung selatan dekat perbatasan Mesir-Sudan. Beruntung bagi para pemegang kartu pelajar dapat menjadi anggota Nadi Wafidin yang menyelenggarakan rihlah Luxor-Aswan tiap tahunnya. Petualangan biasanya dimulai dari sekitar Luxor, lalu menuju Aswan dan Abu Simbel.
Salah satu kuil besar di Luxor adalah Karnak Temple. Di situ berdiri cukup banyak patung dewa-dewa yang dipuja oleh Mesir kuno (sekitar 1000-2000 tahun sebelum Masehi). Banyak juga patung raja-raja dan para istrinya. Selain itu, tampak menjulang tinggi 2 obelisk (semacam tugu atau menara). Konon, obelisk menunjukkan lambang kejantanan, digunakan sebagai monumen untuk pemujaan dewa-dewa yang tidak diketahui.
Dalam wilayah Karnak Temple, juga terdapat kolam cukup luas, dinamakan sebagai Buhairah Muqaddasah (danau suci). Danau (atau lebih tepat disebut sebagai kolam besar) ini, meski berada di tengah-tengah daerah yang tandus, kanan-kiri lebih banyak gurun dan bebatuan, tapi airnya tetap jernih.
Kuil besar lainnya di sekitar kota Luxor bernama Luxor Temple, yang terletak tak jauh dari aliran sungai Nil. Di bagian paling depan, berdiri 2 patung besar dan di sampingnya sebuah obelisk amat tinggi, melebihi tingginya gerbang sekaligus benteng utama di sisi kanan-kiri. Agak jauh di depan gerbang Luxor Temple ini, sebenarnya berjajar rapi puluhan patung singa duduk.
Saat masuk ke dalam Luxor Temple, suasana tak jauh berbeda dengan Karnak Temple. Di kanan-kiri jalan dalam area Luxor Temple ini, berdiri dengan kokoh tiang-tiang besar. Kalau zaman sekarang barangkali untuk membuatnya harus dengan teknologi beton atau cor. Tapi orang Mesir kuno hanya membuatnya dengan batu-batu besar, keras dan amat kuat. Entah bagaimana orang Mesir kuno menata batu-batu berat itu sampai menjadi bangunan yang sedemikian tinggi dan kokoh.
Kuil lainnya yang perlu dikunjungi adalah Hatsipsut Temple yang terdiri dari dua tingkat. Masing-masing berdiri kokoh dihiasi dengan tiang-tiang yang menjulang cukup tinggi. Untuk menuju ke tingat dua, sudah ada tangga-tangga yang menjulur jauh ke depan hingga dekat parkir kendaraan.
Pemandangan di dalam Hatsipsut Temple ini terlihat lebih sederhana dibanding kuil lainnya. Kalau di dinding Karnak Temple dan Luxor Temple terdapat banyak sekali pahatan-pahatan yang menggambarkan kejadian atau legenda di zaman Mesir kuno, maka hal itu tidak terlalu mencolok di Hatsipsut Temple. Namun Hatsipsut Temple memiliki keistimewaan tersendiri karena terletak di bawah gunung batu yang tandus serta amat jauh dari nuansa kehidupan makhluk, hewan atau tumbuhan.
Selain kuil, ada juga tempat pemakaman yang terletak di dalam gunung, yaitu Wâdi al-Mulûk atau Kings Valley atau Lembah Raja. Dikatakan demikian karena memang lembah ini diperuntukkan sebagai makam raja-raja dan pembesar di masa Mesir kuno. Uniknya, makam dibuat di dalam pegunungan batu cadas yang ada di lembah ini. Dengan menggali pegunungan ini, jadilah terowongan atau gua yang di ujungnya disediakan tempat sebagai makam raja atau bangsawan.
Ada 48 gua yang digali di lembah ini. Jarak antara satu gua (sekaligus makam) dengan yang lainnya tidak terlalu jauh. Tapi jika ingin mengelilingi dan memasuki setiap makam ini, tentu butuh waktu yang tak sedikit. Belum lagi jalanan yang menanjak dan naik turun layaknya pegunungan. Di sepanjang lorong setiap gua, terukir dan terpahat jalan hidup yang dilalui penghuni makam. Hebatnya, ukiran yang juga ada di langit-langit lorong gua-gua itu, dilengkapi warna-warni sesuai gambaran aslinya. Misalnya kuda berwarna coklat, pakaian berwarna merah dan lain sebagainya. Entah bangsa Mesir kuno menggunakan bahan pewarna seperti apa, hingga warna itu tak luntur meski sudah berumur ribuan tahun.
Di Aswan dan sekitarnya, lebih banyak lagi bukti sejarah peradaban Mesir kuno. Hanya saja jarak antara satu dan yang lainnya cukup jauh, berbeda dengan kuil-kuil yang berada di sekitar Luxor. Jika meniti perjalanan antara Luxor-Aswan, maka tidak boleh melwatkan Edfu Temple dan Kum Ambo Temple.
Edfu Temple, kuil yang terletak sekitar 105 km sebelum Aswan ini, konon didirikan untuk menyembah Dewa Horus. Seperti kebanyakan kuil-kuil yang dibangun bangsa Mesir kuno, bagian depan bangunan utamanya adalah pintu gerbang menjulang tinggi, diapit benteng yang lebih tinggi lagi di kanan-kirinya.
Baru sebelum masuk bagian dalam bangunan utama, tampak patung Dewa Horus yang digambarkan dengan burung elang tampak berdiri kokoh. Seakan baru dibuat beberapa tahun silam, patung setinggi lebih kurang 3,5 meter ini masih tampak kuat, rapi dan terawat.
Bagian dalam Edfu Temple cukup gelap. Ini karena bagian atas kuil tersebut tertutup rapat, berbeda dengan Karnak Temple dan Luxor Temple yang tak memiliki atap. Di dinding-dinding kuil ini, banyak terukir cerita tentang Dewa Horus dan beberapa dewa lainnya. Yang paling mencolok adalah gambaran tentang ‘id al-liqâ' al-jamîl (perayaan bertautnya dua cinta), dimana menunjukkan bertemunya Dewa Horus dan istrinya yang cantik jelita bernama Hathur. Gambaran lain, seperti yang terukir di atap Edfu Temple adalah betapa cantiknya salah satu sesembahan orang Mesir kuno, Dewi Nut.
Sementara Kum Ambo Temple, berdiri kokoh di tengah-tengah perjalanan Edfu-Aswan. Terlihat begitu anggun karena berada di dataran tinggi di tepian sungai Nil. Dari depan Kum Ambo Temple, sungai Nil terbentang luas mengalir dari selatan ke utara. Bahkan kini, dibuat taman bunga nan indah di depan kuil. Sehingga kalau berdiri di depan kuil, jauh ke depan dapat melihat pemandangan indah terbentang luas di pelupuk mata. Mulai dari taman bunga, tumbuh-tumbuhan hijau yang tumbuh liar di tepi sungai, lalu Nil yang dialiri air biru nan jernih dan jauh di depannya lagi nampak pepohonan hijau yang tumbuh subur berkat aliran sungai Nil.
Di sekitar kota Aswan sendiri, kita dapat mengunjungi banyak obyek, di antaranya Philae Temples. Philae Temples merupakan kumpulan kuil-kuil yang sempat dikuasai dan dimanfaatkan oleh tiga agama/kepercayaan. Berada di tengah-tengah aliran sungai Nil, untuk sampai pada kuil ini, pengunjung harus menyeberang dengan naik kapal.
Bangsa Yunani, Romawi dan kaum Masehi (Kristiani) pernah menggunakan bangunan-bangunan ini sebagai tempat ibadah mereka. Hal ini juga nampak dari beberapa perubahan yang ada pada kuil-kuil. Orang Masehi misalnya, sempat mengukirkan lambang salib pada beberapa sudut bangunan. Beberapa pahatan yang mengambarkan bentuk dewa Mesir kuno juga terpaksa dirusak oleh penguasa kuil setelahnya. Konon, orang Mesir kuno mengkhususkan tempat ini untuk pemujaan pada Dewi Isis.
Saat ini, Philae Temples berada di pulau Agelica, lebih kurang 500 meter dari tempat aslinya. Hal ini karena sekitar tahun 1960-an, pada saat pembangunan Aswan High Dam, kumpulan kuil Philae sempat terendam air. Ketika itu yang tampak hanya pucuk-pucuk dan atap-atap bangunan Philae Temples. Karenanya, pemerintah Mesir bersama UNESCO berinisiatif memindahkan seluruh bangunan Philae Temples di daratan yang tak tergenang air dan pulau Agelica lah yang jadi pilihan.
Sementara bila kita bisa menyambangi hingga ujung selatan Mesir, maka kita dapat menikmati Abu Simbel Temple. Sejarahnya, kuil besar ini didirikan dengan "memotong" aliran sungai Nil. Setelah tak ada air setitikpun di kubangan besar akibat dimatikannya arus air ke kawasan itu, perbukitan batu itu lalu dipahat dan diukir. Secara garis besar, kuil Abu Simbel terdiri dari dua bagian. Kuil pertama sebagai kuil utama dihiasi 4 patung besar setinggi hampir 40 meter. Empat patung itu adalah masing-masing dua patung Ramses II yang sedang duduk didampingi istrinya, Nefertari.
Di dalam kuil, terdapat ruangan cukup luas. Berbagai ukiran dan pahatan menghiasi dinding-dinding setiap ruangan serta tiang-tiang yang ada di dalamnya. Di antaranya adalah gambar yang menunjukkan Ramses II memegang anak panah dan busurnya yang siap dilepas, berada di atas kereta sedang memimpin perang. Ramses II memang dikenal gagah berani dan sering turun langsung dalam peperangan.
Sementara kuil kedua yang ukurannya lebih kecil, dihiasi 6 buah patung masing-masing setinggi sekitar 27 meter. Patung-patung berdiri itu adalah 4 patung Ramses II dan 2 patung istrinya Nefertari. Tak jauh berbeda dengan kuil utama, dinding-dinding kuil ini juga indah terpahat cerita dan legenda zaman Mesir kuno.
Salah satu kelebihan Abu Simbel Temple adalah bisa masuknya sinar matahari hingga ke ruangan terdalam di kuil utama, dimana 4 patung dewa berada. Setiap tahun, pada tanggal 22 Februari dan 22 Oktober sinar matahari dapat menerobos masuk hingga ruangan terdalam itu. Uniknya, 22 Februari merupakan hari ulang tahun Ramses II sementara 22 Oktober adalah hari dimana penguasa Mesir di zaman Nabi Musa As. itu naik tahta.
Banyak yang bertanya, kenapa kuil sebesar ini justru dibangun di tempat yang jauh dari tempat tinggal kebanyakan orang. Ternyata konon, kuil ini memang sengaja dibangun agar mereka yang berlayar dan akan melewati daerah Mesir dapat langsung tahu terdapat kerajaan dan kebudayaan besar yang ada di kawasan itu. Hal ini juga untuk menunjukkan betapa kuatnya penguasa yang memimpin Mesir.
Ada cerita lain di balik kuil Abu Simbel ini. Sebenarnya sebelum berada pada tempatnya yang sekarang, dua kuil itu sempat terendam air saat pembuatan bendungan besar (Aswan High Dam) di dekat kota Aswan. Karena kuil ini merupakan peninggalan sejarah yang amat berharga, UNESCO turut serta memikirkan bagaimana melestarikannya. Akhirnya pada tahun 1964-1968, pemerintah Mesir dibantu UNESCO memindahkan Abu Simbel Temple, diangkat sekitar 60 meter dari tempat semula. Agar posisi dan letaknya persis sesuai dengan aslinya, dibuatlah bukit buatan sebagai penyangga di belakangnya.
Akhirnya meski berpindah tempat, kuil Abu Simbel ini tetap terlihat seperti sedia kala, hanya sudah nampak guratan-guratan pecahan patung dan bangunan secara umum. Karena untuk memindahkan pahatan gunung batu sebesar itu, rasanya mustahil jika dilakukan dengan sekali angkut. Makanya terpaksa dipecah-pecah, lalu diangkat satu per satu dan ditata kembali seperti sedia kala sebagaimana aslinya saat dibuat lebih dari 3000 tahun silam.
* Tulisan ini dimuat di buletin Informatika edisi 16 Maret 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment