Friday, February 09, 2007

Dahsyatnya Peninggalan Firaun

Memori Rihlah Luxor-Aswan (7)


Setelah mampir sebentar di pusat produksi Alabaster, rombongan menuju objek wisata selanjutnya. Tempat keempat yang dikunjungi pada hari kedua di Luxor ini adalah Wadi al-Muluk atau Kings Valley. Dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai lembah raja-raja.

Dikatakan demikian karena memang lembah ini diperuntukkan sebagai makam raja-raja dan pembesar di masa Mesir kuno. Uniknya, makam dibuat di dalam pegunungan batu cadas yang ada di lembah ini. Dengan menggali pegunungan ini, jadilah terowongan atau gua yang ujungnya disediakan tempat sebagai makam raja atau bangsawan.

Ada puluhan gua yang digali di lembah ini. Jarak antara satu gua atau makam dengan yang lainnya tidak terlalu jauh. Tapi jika ingin mengelilingi dan memasuki setiap makam ini, tentu butuh waktu yang tak sedikit. Belum lagi jalanan yang menanjak dan naik turun layaknya pegunungan.

Di sepanjang lorong setiap gua, terukir dan terpahat jalan hidup yang dilalui penghuni makam. Hebatnya, ukiran yang juga ada di langit-langit lorong gua-gua itu, dilengkapi warna-warni sesuai gambaran aslinya. Misalnya kuda berwarna coklat, pakaian berwarna merah dan lain sebagainya. Entah bangsa Mesir kuno menggunakan bahan pewarna seperti apa, hingga warna itu tak luntur meski sudah berumur ribuan tahun.


Oleh karenanya, demi menjaga keawetan warna dan kekuatan dinding-dinding gua, wisatawan dilarang menggunakan kamera di dalam gua. Sedangkan handycam malah sudah dilarang sejak sebelum memasuki kawasan Wadi al-Muluk. Di pintu masuk, disediakan tempat penitipan handycam. Meski demikian, masih ada juga beberapa orang tampak mencuri-curi foto. Bahkan ada yang berani menggunakan flash.

Setelah cukup puas mendalami kawasan Wadi al-Muluk, peserta rihlah Nadi Wafidin kembali ke bus. Karena sudah siang, rombongan menuju hotel sekadar istirahat sejenak dan makan siang. Apalagi, program berikutnya memang lebih dekat ke hotel, sehingga pas timingnya untuk makan siang di hotel.

Sekitar pukul 14.30, bus sampai di depan hotel. Semua pun berlarian langsung menuju restoran. Maklum, sarapan tidak terlalu banyak mengganjal perut sedangkan makan siang bisa dikatakan rada terlambat. Setelah makan siang, masing-masing kembali ke kamar untuk cuci muka atau mandi sekaligus shalat.

Di saat itulah, kejadian menjengkelkan terjadi. Ulya yang sedang mengutak-atik kameranya, melihat-lihat hasil jepretannya selama setengah hari, secara tak sengaja memencet tombol format. Otomatis dengan demikian semua file yang ada dalam kamera digitalnya ludes tak tersisa satupun. Sebenarnya sudah ada peringatan pilihan untuk OK atau CANCEL. Tapi namanya kecelakaan, tombol OK pun terpencet.

Ulya tentu saja shock berat. Apalagi, menurutnya cukup banyak hasil bidikannya dalam kamera digital itu yang mendekati sempurna. Gaya-gayanya saat difoto dengan kamera sendirnya itupun sudah terasa mantap selama di Madinat Habou. Terutama foto di bawah pohon kurma, yang sudah diidam-idamkannya sejak lama. Tapi mau bagaimana lagi, namanya kecelakaan, ya harus ditanggapi dengan sabar dan tabah.

Agak sore sedikit, beberapa puluh menit setelah ashar, semua harus sudah berkumpul dalam bus. Program berikutnya adalah melihat parade Sound and Light di Karnak Temple. Karena sudah jelas timingnya, maka saat ada beberapa peserta terlihat terlambat cukup lama terpaksa harus dimarahi Ustad Majdi dan terutama Miss Najla. Mereka yang terlambat rupanya ketiduran. Untung ada teman lainnya yang membangunkan meski sudah agak terlambat.


Meski hari sebelumnya sudah mengunjungi Karnak Temple, tapi di hari kedua ini suasananya lain. Di saat menjelang tenggelamnya matahari di ufuk barat, parade sound and light dimulai. Dengan menggunakan pengeras suara yang tersebar di beberapa sudut kuil, suara dialog antara raja dengan para punggawa kerajaan terdengar lantang, menggambarkan apa yang kiranya pernah terjadi di masa lampau.

Sound and light ini terbagi menjadi beberapa segmen. Pertama sejak sebelum masuk gerbang besar Karnak Temple yang tepat di depannya terdapat banyak
patung singa sedang duduk berjajar rapi. Setelah mendengar dialog cukup panjang di situ, pengunjung digiring agak ke dalam, melewati dua bangunan besar yang terletak di kanan kiri jalan masuk. Sambil mendengarkan percakapan yang disalurkan melalui pengeras suara, wisatawan bisa melihat-lihat tiang-tiang yang kuat dan kokoh menjulang tinggi di sekitar mereka berdiri.


Setelah itu perjalanan dilanjutkan agak lebih ke dalam lagi. Hal yang hampir sama juga terjadi di situ. Hanya saja, di depan mereka tampak patung-patung besar menyerupai dewa yang dipuja-puji oleh orang Mesir kuno. Selain itu juga ada dua obelisk yang tinggi.

Kembali pengunjung digiring ke tempat yag lebih dalam lagi, untuk mendengarkan dialog antara raja dan para dewa. Langit sudah makin gelap saat itu. Dihiasi lampu-lampu yang diatur sedemikian rupa untuk mempercantik penampilan bangunan amat kuno itu, warna kuning kilauan sinar matahari di ufuk barat juga menambah suasana makin indah.

Di segmen terakhir, wisatawan dipersilakan duduk di tribun yang berada di salah satu sisi danau suci. Kembali suara dan efek cahaya dipermainkan oleh penyelenggara. Kali ini, terdengar suara perempuan, anak salah seorang raja yang berdialog dengan ayahnya. Ketika itu, karena disediakan tribun khusus layaknya stadion atau tempat teater, banyak wisatawan mengira bakal ada tambahan pagelaran semacam teater atau film. Namun setelah ditunggu hingga selesainya acara, tetap saja hanya suara dan cahaya yang dipertunjukkan. Namanya saja sound and light, pantas saja begitu. Baru kalau namanya sound, light and picture atau sound, light and drama atau sound, light and theatre kita dapat mengharapkan lebih.

Meski begitu, pengunjung tampak puas dengan menikmati suara merdu dari soundsystem modern dan efek cahaya yang dimainkan oleh pihak pengelola. Pintu keluar ternyata berbeda dengan jalan saat masuk. Itu karena di jalan yang sebelumnya dilalui, sudah ada gelombang kedua yang mengikuti.


Saat parade sound and light ketika itu, kebetulan bahasa pengantarnya adalah bahasa Arab. Sementara dalam papan yang tertera di dekat tempat penjualan tiket, ada beberapa pilihan bahasa dengan waktu-waktu khusus. Kalau tidak salah ingat, selain bahasa Arab, penyelenggara juga menyediakan sarana bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman. Masing-masing bahasa itu memiliki jadwal tersendiri yang sudah diatur dan diumumkan secara terbuka.

Setelah menikmati sound and light, peserta rihlah Nadi Wafidin diajak mengunjungi Museum Luxor. Museum yang terletak di dekat pinggiran sungai Nil ini, sebenarnya memiliki bangunan yang tak terlalu besar. Namun saat masuk ke dalamnya, rasa takjub tak dapat dielakkan.

Betapa tingginya tingkat peradaban jaman Mesir kuno. Dalam museum itu terlihat banyak sekali hasil tinggalan peradaban yang sudah berdiri sejak ribuan tahun lalu. Mulai dari koin-koin yang diperkirakan menjadi alat pertukaran barang. Banyak juga koin yang terbuat dari emas, meski cetakannya tak sehalus sekarang, tapi bulatannya tampak cukup rapi.

Selain itu masih ada juga patung-patung kecil perlambang dewa-dewa yang disembah oleh orang Mesir kuno. Ada yang terbuat dari kayu, marmer, granit maupun batu. Alat-alat dapur, tempat tidur dan beberapa hasil tenunan juga tampak masih ada, meski tak utuh selayaknya barang baru. Maklum, sudah berumur ribuan tahun.

Di museum ini, Aghi dan Yayah yang terpisah dari geng berenam, secara tak sengaja bisa masuk ke dalam museum bagian dalam. Awalnya tak berniat masuk, tapi dipanggil oleh sekuriti berpakaian seragam polisi. Dengan senang hati Aghi dan Yayah masuk. Rupanya di dalamnya terdapat alat-alat perang jaman Mesir kuno. Mulai dari tombak, parang, pisau, belati, (semacam) keris, busur sekaligus anak panahnya, pedang, tameng hingga sebuah kereta perang.

Luar biasa, kereta yang tampak terdiri dari dua roda, lalu kayu yang menghubungkan keduanya disambung dengan kayu yang dihubungkan dengan kuda, tampak masih kokoh. Dimasukkan dalam ruangan kaca khusus yang dijaga temperatur suhunya. Selian itu, di museum bagian dalam itu juga ada 2 mumi. Bahkan di situ tertulis bahwa sebuah mumi malah sempat dibawa ke Kanada, lalu dikembalikan lagi ke Mesir dan diletakkan di Museum Luxor ini. Beberapa perhiasan emas juga terlihat di sekeliling dua mumi ini.

Saat Aghi dan Yayah keluar dari museum bagian dalam itu, tampak beberapa peserta rihlah Nadi Wafidin sedang adu mulut dengan para petugas sekuriti. Rupanya, yang masuk ke dalam situ harus memliki karcis khusus. Dengan demikian, Aghi dan Yayah hanya mendapatkan keberuntungan bisa masuk ke museum bagian dalam. Sayangnya, selama dalam museum semua pengunjung dilarang berfoto-foto.


Setelah mengunjungi museum ini, peserta diberi kebebasan untuk mengatur programnya sendiri. Karena kebetulan melihat tepian Nil (sering disebut sebagai kornish Nil), kami berenam pun menyempatkan diri jalan-jalan sebentar. Di pinggiran sungai Nil itu terdapat banyak sekali kapal-kapal yang dijadikan restoran di atas sungai, menyerupai kapal pesiar. Lampu kerlap-kerlip menghiasi kapal-kapal itu. Tapi karena rasa letih setelah seharian berkunjung ke berbagai objek wisata, sesaat kemudian kami sepakat untuk pulang saja.

Awalnya disuruh jalan kaki saja oleh Ustad Majdi, karena menurutnya jarak antara Museum Luxor dengan Hotel Karnak hanya 500 meter. Tapi karena sudah lelah juga feeling yang mengatakan rasanya tak mungkin hanya berjarak 500 meter antara hotel dengan museum, kami menyewa sebuah dokar. Benar saja, saat kami menunggang dokar, rasanya memang lumayan jauh. BIsa-bisa sakit semua kaki kalau dipaksa jalan. Bahkan di jalan, kami sempat melihat Ustad Majdi masih berjalan kaki di tengah-tengah antara hotel dan museum. Padahal, selisih waktu antara Ustad Majdi (dan rombongan) jalan kaki dulu lalu kami mencarter kuda cukup lama.

Setelah sampai hotel, kami langsung istirahat. Tentu saja setelah setor foto untuk dimasukkan ke laptop.[]

1 comment:

Cah Bhinus said...

artikelnya bagus, tapi lebih bagus lagi bila di beri gambr peninggalan firaun di museum mesir , walaupun kemungkinan besar tidak mendapatkan izin unt membw kamera disana.......