Thursday, February 08, 2007

Jenuh di Kereta, Main Poker Solusinya

Memori Rihlah Luxor-Aswan (3)

Menaiki tramco --angkutan umum sejenis angkot di Jakarta-- dari H10 hingga Ramses tak sampai 45 menit. Apalagi, kami berlima sengaja membayar semua kursi yang ada, sehingga dari awal hingga tujuan tak menaik-turunkan penumpang di tengah jalan. Selain itu, sang sopir juga rada ugal-ugalan mengemudikan tramco, sampai-sampai kami harus berteriak agar dikurangi kecepatannya.


Sesampainya di stasiun Ramses, sekitar pukul 20.30, Meri sudah menunggu. Di depan gerbang utama stasiun, Meri berdiri melambaikan tangan didampingi sang arjunanya yang masih bau tanah suci. Masih kangen-kangenan rupanya.

Di dalam stasiun, cukup ramai hiruk-pikuk orang Mesir penumpang yang hendak atau sudah naik kereta api. Sementara orang asing --yang bisa ditebak sebagai sesama anggota Nadi Wafidin-- belum tampak satupun. Setelah tengok kanan-kiri, rupanya di salah satu sudut tampak gerombolan wajah Melayu.Hanya saat didekati, mereka banyak bercakap dengan logat Malaysia. Sedangkan jamak diketahui orang Melayu yang doyan ikut Nadi Wafidin hanya orang Indonesia dan sebagian kecil Thailand. Benar saja, saat ditanya mereka memang bukan hendak ikut rihlah Luxor-Aswan.

Tidak jauh dari mereka, tampak wajah yang lumayan familiar di antara mahasiswa Indonesia. Yakin mereka juga mau ikut rihlah Luxor-Aswan, kami mendekat. Melihat barang bawaan mereka yang cukup banyak, keyakinan kami tak salah. Mereka adalah 9 orang dari geng DN (alumni Darun Najah Jakarta).

Salah seorang di antaranya malah mengakui mereka sudah datang sejak pukul 18.00, padahal sama-sama tahu instruksi kumpul paling lambat pukul 21.00. Barangkali untuk jaga-jaga, karena tahun lalu sempat juga ada yang terlambat datang beberapa detik, terpaksa ditinggal. Sedangkan untuk mengejarnya harus menunggu kereta berikutnya dan tentu saja membayar lagi, dengan ongkos yang tak terlalu murah.

Setelah beberapa saat kami bercengkerama, ada usulan untuk menelpon Ustad Majdi, staf Nadi Wafidin yang dijadwalkan berangkat bersama kami sebagai musyrif/pendamping. Saat ditelpon, dirinya mengaku sudah di jalan, dan bakal sampai sebelum pukul 21.00.

Saat menunggu Ustad Majdi, tampaklah muka-muka orang asing yang beberapa di antaranya sudah sempat bertemu di Nadi Wafidin. Ada yang dari China, Rumania, Bosnia, Ukraina juga Afghanistan. Sementara beberapa wajah yang lain belum pernah terlihat sebelumnya, namun diyakini juga anggota Nadi Wafidin.

Tepat pukul 21.00, Ustad Majdi tiba dengan senyum ramahnya yang khas. Geng kami yang memang sudah kenal dengan Ustad Majdi dengan senang hati ikut menarikkan kopernya yang besar, disatukan dengan barang-barang bawaan kami. Lalu mulailah Ustad Majdi mengabsen satu persatu anggotanya. Masih ada beberapa yang nampak terlambat, tapi tetap ditunggu.

Setelah lengkap semua, diberitahukan bahwa kereta akan datang pada pukul 22.30. Semua calon peserta rihlah lalu digiring ke jalur rel dimana kereta akan datang. Sayangnya saat jam menunjukkan pukul 22.30, kereta yang ditunggu belum tampak juga. Baru sekitar pukul 22.50 kereta itu muncul. Itupun masih harus stand by beberapa saat lamanya entah untuk apa.

Baru sekitar pukul 23.15, suara keras menandai kereta mulai berjalan. Semua pun tampak riang, melihat perjalanan jauh nan menyenangkan akan dimulai. Mahasiswa Indonesia yang berjumlah 24 orang (dari total seluruh peserta sejumlah 46 orang) bergabung di satu gerbong, bersama beberapa orang berwajah China.

Di awal-awal perjalanan, masing-masing sibuk menata barang bawaan sendiri. Setelah terlihat rapi, baru duduk manis di kursinya sendiri-sendiri. Enaknya, kursi bisa diputar-putar, sehingga jika ada 4 orang berada pada 2 kursi yang sejajar, dapat dihadap-hadapkan. Geng kami yang berjumlah 6 orang terpaksa sedikit pecah. Empat orang bisa duduk berhadapan, sementara 2 lainnya terpisah. Tidak apa-apa, toh prakteknya juga tetap sering duduk seperti melingkar, menggunakan koper yang dijadikan tempat duduk.

Sayang sekali, jalannya kereta jauh dari bayangan semula. Dilihat dari bodi kereta, sebenarnya cukup meyakinkan. Tapi herannya tiap halte (stasiun kecil) kereta harus berhenti, baik menaik-turunkan penumpang atau tidak. Melihat gelagat tidak menyenangkan seperti itu, tentu saja semua gerah. Jenuh pun tak terhindarkan. Optimisme bahwa kereta akan sampai Luxor pada pagi hari, kian lama kian luntur, melihat larinya kereta yang hanya seperti itu.


Demi menghilangkan perasaan jenuh dan tidak menyenangkan itu, geng kami membuat permainan. Mula-mula saling cerita hal-hal yang lucu, seru atau bahkan harus agak saru. Lalu main tunjuk jari, dihitung dengan huruf dan berebut menyebutkan nama iklan --atau apa saja sesuai kesepakatan-- dimulai dari huruf terakhir yang disebut dari penghitungan jari.

Setelah cukup bosan dengan permainan itu, kartu poker pun dikeluarkan. Karena poker maksimal dilakukan oleh 4 orang, 2 orang pun terpaksa hanya jadi penonton. Apalagi, memang tak semua anggota geng kami bisa bermain poker.

Selain mengisi waktu-waktu di kereta dengan permainan-permainan tadi, Adon yang membawa laptop juga menunjukkan film kocak, Boboho. Hingga film ini pun jadi trademark geng kami selama rihlah, dengan menirukan beberapa adegan atau kalimat-kalimat yang dirasa seru. Suara tawa pun terus memenuhi tiap sudut gerbong kereta, meski beberapa orang di gerbong kami juga banyak yang sudah tampak terbuai mimpi di balik selimut (atau jaket atau sekadar sarung).[]

No comments: