Memori Rihlah Luxor-Aswan (6)
Setelah menyelesaikan dua objek di hari pertama kedatangan di Luxor, waktu malam betul-betul digunakan untuk istirahat. Praktis setelah datang ke hotel, langsung menuju restoran untuk makan malam walau hanya dengan roti dan kentang goreng serta telur rebus. Tak butuh waktu lama untuk melahap habis makanan yang bisa dianggap sebagai "terlalu ringan" untuk makan malam kebanyakan orang Indonesia.
Seusai makan malam, geng kami sepakat setor foto untuk dimasukkan ke dalam laptop yang Adon bawa. Kami berenam pun berkumpul di kamar cowok (kamar Adon, Aghi dan Ulya). Tak luput saat melihat-lihat foto-foto hasil jepretan sejak berangkat dari rumah, kami berenam kadang terkekeh-kekeh bersama, melihat beberapa pose yang terlihat seru atau malah terlalu jelek.
Setelah setor foto selesai, semua kembali ke kamar masing-masing. Tak lama setelah itu, kami cowok bertiga juga langsung menuju tempat tidur. Aghi dan Ulya berada di kasur besar, sementara Adon sendirian di kasur kecil. Karena rasa lelah yang ditahan sejak keberangkatan dari Cairo, kami pun langsung terlelap dalam alam mimpi.
Tak terasa, saat bangun sudah menunjukkan waktu subuh. Setelah shalat, kami bertiga sempat bercengkerama ringan. Meski masih diselingi dengan sesekali menguap, badan terasa segar kembali dan siap untuk memulai perjalanan mengelilingi dunia peradaban Mesir kuno.
Sekitar pukul 08.00, semua sudah siap dengan dandanan yang rapi. Sesuai pesanan mereka yang sudah pengalaman ikut rihlah Luxor-Aswan, kami memang harus membawa banyak pakaian, agar tak terlihat monoton saat difoto. Selain itu, tentu juga dalam rangka menjaga wibawa bangsa Indonesia di hadapan bangsa lain, terutama sesama anggota Nadi Wafidin yang bersama-sama ke Luxor-Aswan.
Setelah sarapan pagi dengan menu yang kurang lebih sama dengan saat makan malam, semua langsung masuk ke dalam bus. Sekitar pukul 09.00, bus pun berjalan mengantar peserta rihlah untuk kembali berpetualang.
Petualangan dimulai dengan mengunjungi daerah yang disebut sebagai Madinat Habou. Hampir sama dengan ma'bad-ma'bad lainnya, Madinat Habou juga terdiri dari beberapa bangunan yang didirikan dari batu-batu besar nan keras. Sebelum masuk jauh ke dalam, guide seperti biasa menerangkan sejarah didirikannya Madinat Habou. Namun seperti biasa juga, kami berenam langsung asyik berfoto ria.
Hal ini dilakukan karena kalau harus mendengarkan setiap kalimat yang diungkapkan guide, bisa-bisa tidak ada cukup kesempatan untuk mengabadikan bangunan-bangunan itu dalam album kenangan. Sementara di sisi lain, kami melihat ada seorang Indonesia yang cukup akrab dengan kami, begitu antusias mendengarkan dan bahkan merekam setiap kalimat yang diutarakan guide. Artinya, kalau kelak benar-benar membutuhkan wawasan mengenai tempat-tempat yang sudah dikunjungi, tidak terlalu repot untuk mencari narasumbernya.
Setelah sekitar kurang dari 1 jam di Madinat Habou, perjalanan dilanjutkan ke Hatsipsut Temple. Di sini, cuaca terasa sangat panas, amat bertolakbelakang dengan hawa yang dirasakan di Cairo saat kami berangkat. Beruntung, dari area parkir menuju ke dekat Hatsipsut Temple disediakan kereta khusus. Sehingga bagi mereka yang ingin mengirit tenaga dapat menaiki kereta yang biayanya sudah termasuk dalam karcis masuk.
Sebenarnya jarak antara tempat parkir dan bangunan Hatsipsut Temple tidak terlalu jauh. Bahkan Adon, Aghi, Ulya dan Alfi juga berjalan kaki, sekalian lebih leluasa menjepretkan kameranya ke arah depan, belakang, kanan dan kiri bangunan Hatsipsut Temple yang terletak persis di bawah lereng gunung batu besar nan terjal. Bahkan terlihat bangunan kuil ini menyatu dengan gunung, atau merupakan bagian dari gunung yang dipahat sedemikian rupa menjadi layaknya kuil.
Kuil Hatsipsut terdiri dari dua tingkat. Masing-masing berdiri kokoh dihiasi dengan tiang-tiang yang menjulang cukup tinggi. Untuk menuju ke tingat dua, sudah ada tangga-tangga yang menjulur jauh ke depan hingga persis di depan tempat berhentinya kereta internal tadi.
Pemandangan di dalam Hatsipsut Temple ini terlihat lebih sederhana dibanding kuil lainnya. Kalau di dinding Karnak Temple, Luxor Temple dan Madinat Habou terdapat banyak sekali pahatan dan ukiran indah yang menggambarkan kejadian, legenda atau dongeng di jaman Mesir kuno, maka hal itu tidak terlalu mencolok di Hatsipsut Temple. Namun Hatsipsut Temple memiliki keistimewaan tersendiri karena terletak di bawah gunung batu yang tandus serta amat jauh dari nuansa kehidupan makhluk, hewan atau tumbuhan.
Agak lama berpanas-panasan di area Hatsipsut Temple ini, karena Ustad Majdi memang memberikan waktu cukup longgar meski tetap juga dibatasi. Karena cuaca yang begitu panas, Aghi dan Alfi yang tak sedia kacamata gelap sejak dari Cairo, bersama-sama anggota geng lainnya mampir ke toko di dekat lahan parkir. Sebelumnya sempat mampir di kafe yang berada di dekat kuil, tapi harganya jauh melambung tinggi.
Akhirnya memilih pertokoan yang berdiri berjajar di dekat parkir bus. Harga yang ditawarkan tentu saja lebih tinggi dibanding di Cairo atau pusat kota Luxor, tapi karena kacamata dirasa sebagai kebutuhan mendesak di tengah teriknya matahari, terpaksa merogoh kocek agak dalam. Selain itu, karena lupa membawa persediaan air minum, anggota geng lainnya membeli air kemasan dalam botol. Harganya juga lebih mahal, lebih dari dua kali lipat dibanding harga normal.
Setelah selesai di Hatsipsut Temple ini, peserta diajak menuju ke tempat pembuatan Alabaster. Sekitar 10 km dari Hatsipsut Temple, berdiri banyak sekali usaha produksi Alabaster. Alabaster merupakan hasil kerajinan khas di kawasan itu. Terbuat dari bebatuan yang keras dan kuat, bisa menjadi patung-patung kecil, pot atau vas bunga, asbak dan berbagai macam hiasan lainnya.
Saat sampai di salah satu tempat produksi Alabaster itu, sang pemilik menunjukkan cara pembuatan Alabaster, lengkap dengan berbagai peralatannya yang banyak sekali macamnya. Pemilik tempat juga menguji kekuatan batu Alabaster dengan mengadukannya secara keras, terbukti tak lecet sedikitpun apalagi patah atau pecah.
Setelah atraksi pembuatan, peserta dipersilakan masuk ke dalam showroom. Di dalamnya terdapat berbagai macam Alabaster. Bahan bakunya pun berwarna-warni. Bahkan beberapa saat sempat dipertunjukkan bahwa batu-batu tertentu dapat menyala saat gelap. Pintu dan jendela ditutup rapat, lalu listrik dimatikan. Beberapa orang sempat menjerit kaget, tapi ternyata itu untuk menunjukkan bahwa ada batu yang bisa menyala.
Saat tiba waktunya kembali ke bus, beberapa orang nampak membawa Alabster, hasil pembelian dari sang pemilik. Entah berapa harganya, tapi yang pasti batu Alabaster dengan pelbagai macam bentuknya cuku unik. Perjalanan pun dilanjutkan kembali.[]
No comments:
Post a Comment