Umur tak pernah bohong. Demikian yang
saya rasakan saat membaca Alquran dengan mushaf kecil. Kini mata sungguh tak
nyaman saat membaca mushaf berukuran kira-kira kurang dari 7x10cm itu, bahkan
terasa sakit. Menyesal juga kenapa Alquran Madinah seukuran kertas A5 yang ada
di rumah 2 buah tidak dibawa salah satunya. Beruntung masih membawa tablet,
ukuran cukup ideal jika untuk membaca Alquran. Namun, sepertinya akan lebih sehat
jika bisa mengurangi interaksi mata dengan pancaran sinar dari barang
elektronik.
Alhamdulillah, seorang teman dari Brunei
kemudian menawarkan meminjami sebuah Alquran seukuran A5, atau sedikit lebih
besar. Dengan senang hati saya menerimanya, dengan harapan semoga makin banyak
yang tertular kebaikan: yang membaca Alquran berpahala, yang meminjamkan mushaf
juga berpahala.
Hanya saja, saat baru mulai membaca
surah Yasin, terasa seperti ada “kejanggalan”. Seingat saya, pada ayat kelima, saya
biasa membaca tanziilal-aziizir-rahiim, tetapi saya dapati harakat yang
tertera pada mushaf Brunei ini adalah dhammah pada huruf lam,
menjadi tanziilul-aziizir-rahiim. Saya pun tetap membaca tanziilal-aziizir-rahiim,
seperti yang saya biasa baca dengan mushaf-mushaf yang selama ini saya tahu.
Saya berpikir, jangan-jangan typo dan lolos dari pemeriksaan sebelum
pencetakan. Karena saya yakin mushaf ini tentu sudah melewati
pemeriksaan lembaga berwenang, sebagaimana di Indonesia dilakukan oleh Lajnah
Pentashihan Mushaf Alquran di bawah Kemenag RI, apalagi di halaman depan jelas
tertulis sebagai mushaf dari Sultan Brunei, tentu tidak sembarangan dicetak dan
didistribusikan.
Pada ayat-ayat berikutnya, rupanya
terasa lagi “kejanggalan-kejanggalan” lain, yang terdekat adalah dua kata saddan
pada ayat ke-9 surah Yasin itu, di mana di mushaf Brunei ini tertulis suddan
dengan sin yang dhammah. Saya pun mulai berpikir, sepertinya apa
yang terlihat ini bukan typo, ini ada unsur “kesengajaan”. Hal yang sama
juga terjadi di surah lain, misalnya saat membaca surah Alkahfi, baru ayat
kedua sudah langsung merasakan “kejanggalan”, di mana biasa membaca mil
ladunhu, tiba-tiba cukup jauh berubah menjadi mil ladunihii.
Karena saya rasa saya masih bisa
mengingat dan yakin dengan bacaan tanziilal, saddan, ladunhu, dll, maka
saya pun membaca sesuai dengan yang saya ingat dan yakin itu. Meskipun saya
bukan orang yang hafal Alquran, mengingat ini adalah surah-surah yang sangat sering
dan biasa dibaca, baik sendiri maupun beramai-ramai, maka saya yakin dengan bacaan
saya—mengabaikan harakat dan tanda baca yang tertera pada mushaf Brunei itu.
Untuk membaca surah-surah lain yang tidak sesering surah-surah itu, saya pun
menggunakan mushaf di tablet—menghindari kekurangyakinan atau kekurangtepatan cara
baca.
Setelah selesai membaca Yasin dan
Alkahfi itu, saya penasaran untuk lebih mengetahui seluk-beluk mushaf Brunei
ini. Di cover dengan sangat jelas tertulis: bir-rasmil-utsmani.
Saya pikir selama ini di Indonesia, juga Mesir dan Arab Saudi, rasm inilah
yang paling mudah dijumpai. Atau lebih tepatnya saya sebenarnya juga penasaran
seperti apakah rasm yang lain. Sejauh apa perbedaannya. Mushaf Brunei
ini, rupanya juga menggunakan rasm yang sama, menandakan sesama rasm
utsmani pun bisa terjadi perbedaan, dalam hal ini harakat atau tanda baca.
Tulisan lain yang cukup mencolok di cover
adalah: mushaf al-waatsiq billah, jalalatis sulthan hasanal bulqiyah, mu’izziddiin
wad daulah, sultan dan yang dipertuan negara brunei darussalam. Tak ada
yang salah dalam hal ini. Tentu saja mushaf Raja Abdul Aziz atau Raja Salman
Saudi, juga mushaf Sultan Brunei, pasti sama-sama telah melewati pemeriksaan
ketat sebelum dicetak dan diedarkan.
Kemudian baru ada tulisan lain, yang
sepertinya kalah mencolok dengan tulisan-tulisan lainnya, yaitu: biriwaayati
syu’bah ‘an ‘ashim, bacaan riwayat Syu’bah dan ‘Ashim. Sepertinya di
sini kuncinya. Teringat kembali pelajaran-pelajaran dasar mengenai qiraah
sab’ah di Madrasah TBS Kudus dulu. Mungkin sangat dasar, tetapi mungkin tidak
terlalu dasar juga. Satu yang pasti hanyalah bahwa saya kurang mendalami atau
kurang memahami pelajaran itu (untuk guru tercinta yang mengajari kami qiraah
sab’ah, K.H. Muhammad Manshur, lahul-faatihah).
Sedikit membuka ingatan, di otak muncul adanya
keterangan tentang 7 imam qira’ah (bacaan) yang disepakati oleh para
ulama akan validitas dan kesahihan riwayat bacaannya sampai kepada Baginda
Rasulullah saw. Ke-7 imam itu memiliki setidaknya masing-masing dua penerus yang
tiap penerus itu memiliki perbedaan-perbedaan bacaan. Dengan demikian,
setidaknya ada 14 qira’ah atau cara baca yang berbeda-beda, tetapi
kesemuanya insyaAllah sama-sama benar, sahih, dan valid.
Klarifikasi
Untuk meyakinkan diri, saya coba hubungi
teman yang bekerja di Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kemenag RI yang
kantornya ada di kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Saya juga mintakan
pendapat kepada teman yang sudah hafal Alquran 30 juz sejak kelas 5 SD, lulusan
Madrasah TBS dan Pondok Tahfidz Yanbu’ul Quran Kudus. Saya kirimkan capture
foto mushaf Brunei itu dan menanyakan pendapatnya. Menurut keterangan keduanya,
mushaf-mushaf yang banyak beredar di Indonesia umumnya didasarkan dari bacaan
riwayat Hafsh dari ‘Ashim. Adapun mushaf Brunei ini tertera merupakan riwayat
Syu’bah dari ‘Ashim.
Dengan demikian, perbedaan tanda baca,
juga terkadang ada perbedaan huruf, ini merupakan turunan dari perbedaan perawi
bacaan. Karena belajar dari satu imam, yaitu Imam Ashim, maka Imam Syu’bah dan
Imam Hafsh ini tidak terlalu kentara perbedaan bacaannya. Jika dilihat lebih
lanjut, sepertinya memang tidak terlalu banyak perbedaan antara mushaf Brunei
riwayat Syu’bah ini dengan mushaf-mushaf riwayat Hafsh yang banyak beredar di
Indonesia. Jika mau satu persatu membuka setiap halaman mushaf Brunei riwayat
Syu’bah ini, jelas tidak setiap halaman ada perbedaan dengan mushaf Hafsh.
Beruntung mushaf Brunei yang dipinjamkan
ke saya ini tertera biriwayati Syu’bah sehingga menjadi clue yang
sangat membantu untuk menelusuri “kejanggalan” seperti yang saya rasakan.
Seandainya tidak tertulis biriwayati Syu’bah itu, barangkali saya mesti
mengeluarkan keringat lebih banyak untuk memecahkan kunci perbedaan ini.
Di kesempatan berikutnya, teman Brunei
ini membawa mushaf Brunei lainnya. Saya lihat cover-nya ada perbedaan.
Memang sama-sama diterbitkan oleh Sultan Brunei, tetapi kali ini mencantumkan biriwayati
Hafsh ‘an ‘Ashim. Isinya pun persis seperti mushaf yang lebih banyak
beredar di Indonesia. Apresiasi patut diberikan kepada Sultan Brunei yang mau
mencetak mushaf dengan beragam riwayat. Hal ini kiranya dapat memperkaya
khazanah keilmuan Alquran di Brunei.
Tashih
Dari kejadian ini, saya menyimpulkan
bahwa kita memiliki dua pilihan saat melihat mushaf yang “rasanya” berbeda atau
ada yang janggal menurut kita. Tentu saja pilihan ini berwujud setelah
ditelusuri kesahihan mushaf tersebut. Untuk kita yang tinggal di Indonesia,
kita percaya otoritas Lajnah Pentashihan Alquran. Jika mushaf tersebut sudah
mendapatkan surat tanda tashih resmi dari lajnah tersebut, insyaAllah dapat
kita percayai validitasnya.
Pengecekan tanda tashih perlu dilakukan
karena tidak semua mushaf lokal yang ada di pasaran tanah air mencantumkan
tanda tashih ini. Memang, tidak adanya tanda tashih bukanlah tanda pasti bahwa mushaf
tersebut tidak valid. Namun, berdasarkan pengalaman pribadi, saya pernah
mendapati adanya kesalahan cukup fatal pada mushaf yang tidak mencantumkan
tanda tashih, padahal dikeluarkan oleh penerbit spesialis Alquran, yang
menginduk pada kelompok penerbit besar yang dikenal banyak menerbitkan
buku-buku keislaman.
Sebenarnya, selain tanda tashih yang
dikeluarkan Lajnah Pentashihan Alquran Kemenag RI itu, beberapa penerbit mushaf
di Indonesia juga terkadang secara mandiri mencari tashih dari para ulama pakar
bacaan Alquran. Secara substansi, hal itu tidaklah masalah, yang terpenting
adalah bahwa mushaf yang dicetak dan didistribusikan di masyarakat umum itu
sudah betul-betul diperiksa dan divalidasi oleh para ahlinya.
Kembali kepada dua pilihan saat melihat
mushaf yang “rasanya” berbeda atau ada yang janggal menurut kita, maka mungkin
dapat dipilih salah satu untuk konsistensi. Pertama, membaca sesuai
hafalan atau ingatan yang ada, dengan syarat betul-betul yakin. Dalam arti, karena
mungkin belum betul-betul hafal di luar kepala atas suatu ayat atau surah atau
juz Alquran, maka membacanya akan terbantu dengan memegang mushaf dengan “rasa
berbeda” itu. Saat menemukan atau merasakan perbedaan itu maka yang dipegang
adalah yang sesuai hafalan atau ingatan atas dasar keyakinan. Dengan demikian,
dapat mengabaikan tanda baca yang tertera pada mushaf yang tengah dipegangnya.
Kedua, mengabaikan semua hafalan
dan ingatan yang selama ini ada di otak, untuk kemudian berpegang teguh dengan
semua tanda baca yang ada pada mushaf “berbeda” yang tengah dibacanya. Asalkan
diterapkan secara konsisten, tentunya tidak masalah. Suatu hal yang selayaknya dihindari
adalah mencampuradukkan hafalan dan tanda baca mushaf “berbeda”. Misalnya, pada
awal ayat berpegang pada hafalan, tetapi saat terjadi perbedaan berikutnya
malah berpegang pada tanda baca mushaf “berbeda” itu.
Sederhananya, bila pada awal membaca
mengikuti bacaan riwayat Syu’bah, maka seterusnya, atau setidaknya sampai satu
surah, selayaknya membaca atas riwayat Syu’bah. Jika membacanya di muka umum
dan hendak membaca dengan riwayat berbeda-beda, ada baiknya pula menjelaskan
dengan riwayat apa ia sedang membaca. Jangan sampai malah membingungkan pendengar karena seakan-akan hanya melihat inkonsistensi dari lahiriah bacaannya.
Menyikapi Perbedaan
Jika permasalahan ini dapat dibahas lebih
lebar, dalam hal melihat setiap perbedaan maka kita harus dapat mengurainya
dengan kepala dingin. Bahwa tidak semua hal yang berbeda dengan pemahaman kita
itu selalu salah. Bahkan, belum tentu juga pemahaman atau ilmu yang kita miliki
100% benar dan bebas dari kesalahan. Bisa jadi, pemahaman kita benar dan
pemahaman yang berbeda itu juga sama benarnya. Seperti kasus mushaf Syu’bah dan
mushaf Hafsh ini.
Jika sedang tidak waras, bisa saja saya
akan dengan mudah menyalahkan mushaf Brunei itu. Misalnya ketika berlaku
sombong karena merasa sudah cukup lama belajar di Kudus, kota yang cukup
terkenal dengan tradisi ilmu Alqurannya, maka bisa jadi akan berpikiran: mushaf
Brunei ini pasti tidak diteliti sebelum dicetak. Itulah laku sombong yang harus
dihindari. Kasus saya ini tentu saja sombong dengan kebodohan. Karena kalau
betul—tidak hanya merasa—lama belajar di Kudus, tentu setidaknya pernah
mendengar sekelumit pelajaran qira’ah sab’ah dan ujung-ujungnya akan
mengklarifikasi perbedaan yang ada.
Saat terdapat perbedaan di antara dua
hal, kiranya dapat disimpulkan tiga kemungkinan, yaitu keduanya benar, keduanya
salah, atau salah satunya benar dan salah satunya salah. Dalam hal ini,
mengingat semakin luasnya ilmu yang ada di dunia ini, dan nyaris mustahil bagi
kita menguasai semuanya, maka satu sikap paling mudah diambil jalur amannya
adalah: tidak mudah menyalahkan orang lain.
Boleh menganggap ilmu yang kita miliki
benar, tetapi jangan sampai saat melihat orang lain yang berbeda pemahaman maka
langsung mengecapnya salah. Kembali ke tiga kemungkinan di atas. Dengan kunci
“tidak mudah menyalahkan orang lain” inilah diharapkan dapat meyakinkan
orang-orang yang terkadang mengungkapkan keluhannya, “Saya ingin belajar Islam,
tetapi Islam yang manakah, sepertinya Islam itu banyak, saya malah menjadi
bingung.”
Dengan demikian, keluhan orang itu dapat
diubah menjadi, “Saya melihat banyak warna dalam Islam, dan karena saya baru
belajar satu warna maka saya yakini satu warna ini sebagai kebenaran. Adapun
warna lainnya, saya harus belajar jauh lebih dalam lagi untuk mengomentarinya. Bisa
jadi saya tidak punya cukup waktu bahkan untuk sekadar mendalami luasnya
samudra ilmu satu warna ini sehingga cukuplah bagi saya untuk memegang satu
warna tanpa menyalahkan warna lain.”
Sabda Rasulullah saw.—sebagian meyakini
sebagai perkataan tabi’in—menyebutkan bahwa perbedaan di antara umat Islam
adalah merupakan rahmat. Dengan demikian, setiap perbedaan yang ada harus
disikapi secara bijak. Perbedaan dianggap sebagai bentuk kasih sayang Allah,
bukan sumber perpecahan. Lagi-lagi kembali kepada tiga kemungkinan di atas.
Ujung-ujungnya, apalagi melihat kemungkinan ketiga bahwa bisa jadi salah
satunya adalah salah, dan misalnya yang salah adalah pemahaman yang tengah kita
yakini, maka ada baiknya kita terus belajar. Terus mendalami ilmu yang masih
sebagian kecil saja kita raih, daripada sibuk menyalahkan pemahaman atau
praktik yang berbeda dari orang lain.[]
Iligan City, 1 Agustus 2016