Wednesday, February 28, 2007
Tak Ada Perubahan Klasemen di Hari Ketiga
Hujan gol yang terjadi di hari kedua penyelenggaraan turnamen Java Cup IV, Senin (26/2/2007) kemarin, tak terulang lagi. Bahkan saat memasuki hari ketiga, Rabu (28/2/2007), semua tim tak beranjak dari posisi masing-masing di klasemen sementara. Hal ini terjadi setelah 3 partai yang ada semua berakhir imbang.
Pada partai pertama yang mempertemukan peringkat 5 dan 6, Siliwangi berhasil menahan juara bertahan sekaligus penduduk posisi buncit klasemen sementara, Pasher dengan skor 2-2. Dengan hasil imbang ini, kedua tim hampir dapat dipastikan tersisih dari persaingan menuju final. Apalagi, turnamen sudah berjalan melewati setengah lebih rute menuju partai pamungkas.
Pada pertandingan kedua, tim peserta paling muda, Krakatau, secara mengejutkan mampu mengejar ketertinggalan dan memaksakan pembagian poin atas tim paling tua, The Jakmania. Di luar dugaan, The Jakmania yang kali ini kembali diunggulkan setelah sebelumnya menahan tim favorit Airlangga, harus bersusah payah menembus pertahanan Krakatau. Meski penyerang The Jakmania berhasil dua kali menceploskan bola ke gawang Krakatau, dua kali juga kipernya harus memungut bola dari jalanya. Walhasil, kedua tim tak beranjak dari posisi semula di peringkat 3 (The Jakmania) dan 4 (Krakatau).
Sementara di partai terakhir yang diperkirakan berjalan panas, pemuncak klasemen sementara Walisongo ditahan imbang Airlangga tanpa gol. Sejak wasit meniup peluit pertama, kedua tim tampak hati-hati dalam memainkan bola. Lini tengah kedua tim pun juga terlihat lamban melakukan pergerakan.
Sementara di luar lapangan, teriakan supporter kedua tim terdengar bergantian menyanyikan yel-yel kebanggaan masing-masing. Meski sudah mendapat suntikan semangat dari penonton yang berteriak menggebu-gebu, permainan tetap berjalan alot. Irama permainan juga tak ubahnya seperti air mengalir di wilayah yang datar.
Meski begitu, kedua tim bukannya tanpa peluang. Beberapa kali penyerang dari kedua skuad yang banyak disebut sebagai musuh abadi ini, saling merepotkan barisan pertahanan lawan. Kesempatan terbaik Walisongo diperoleh playmaker andalannya, Conte. Mendapat umpan dari rekannya di tengah, Conte menggiring bola ke wilayah penalti lawan. Dijaga dengan ketat oleh Eko, Conte sempat hanya berhadap-hadapan dengan kiper Ferdi. Sayang, saat akan menendang, karena lapangan tidak cukup datar bola tiba-tiba naik agak tinggi sehingga tendangannya pun melesat di atas mistar.
Selain itu, beberapa kali umpan terobosan Walisongo hanya berbuah tendangan bebas untuk Airlangga karena Miko selalu terjebak offside. Sedangkan di sisi lain, Airlangga juga bukannya tanpa peluang. Tapi, hampir sama seperti saat menghadapi The Jakmania pada partai sebelumnya, penyerang Airlangga beberapa kali menyia-nyiakan kesempatan di depan mata.
Hingga berakhirnya pertandingan skor kacamata tak berubah. Hal ini mengulang 2 kali pertemuan kedua tim sebelumnya di turnamen resmi. Saat Java Cup III tahun lalu, kedua tim juga bermain alot dan tak menghasilkan satu gol pun. Begitu juga pada final Indonesian Games VI/2006, penentuan juara harus melalui adu penalti setelah tak ada satu gol pun tercipta dalam pertandingan.
Dengan berakhirnya partai-partai di hari ketiga ini, sementara masing-masing tim hanya berhasil menambah satu poin, perjalanan menuju babak final terasa masih panjang. Hampir semua tim masih memiliki peluang untuk melaju ke babak pamungkas. Apalagi di partai berikutnya, pemimpin klasemen Walisongo akan dijajal kuda hitam The Jakmania. Sementara partai lainnya mempertemukan Airlangga dengan Siliwangi dan Pasher dengan Krakatau. Terlalu dini untuk memperkirakan siapa yang bakal bertemu di partai puncak, kita lihat saja perkembangan pada Sabtu (3/3/2007) besok.[]
Jadwal pertandingan selanjutnya:
Sabtu, 3 Maret 2007
09.30 – 11.10 KPMJB vs GAMAJATIM
11.15 – 12.55 KPJ vs KSW
13.00 – 14.40 KMB vs FOSGAMA
Griya Jateng, 28 Februari 2007
Monday, February 26, 2007
Lebih Telak, Juara Bertahan Takluk Lagi
Tampaknya piala Java Cup bakal berpindah tangan. Hal ini setelah untuk kedua kalinya berturut-turut, juara bertahan Pasher kembali keok di hadapan lawannya. Setelah kebobolan dua gol saat melawan Airlangga, kali ini Kamil dkk harus bertekuk lutut di hadapan juara dua kali, Walisongo.
Bahkan di partai hari kedua ini, kiper Pasher harus 6 kali memungut bola dari gawangnya. Sempat unggul lebih dulu lewat gol cepat yang dicetak pada menit ke-3, pendukung Pasher tampak diam membisu saat meninggalkan area pertandingan.
Sejak wasit meniup peluit tanda dimulainya pertandingan, kedua tim langsung mencoba bermain cepat dan berinisiatif membongkar pertahanan musuhnya. Walisongo yang mendapat kesempatan menendang bola dulu, langsung menggebrak dengan umpan satu-dua di antara pemainnya.
Tanpa memberi kesempatan pemain Pasher untuk menguasai bola, umpan-umpan pendek antara Conte dan Shofa hampir saja dapat masuk ke jantung pertahanan sebelum disapu bersih Kamil yang mengomando tembok pertahanan Pasher.
Pasher pun mencoba menyusun serangan balik mengandalkan ujung tombak nan lincah, Yudi. Cukup merepotkan memang, tapi benteng Walisongo seperti karang dengan kembali bermainnya stopper tangguh Buya yang baru datang dari tanah air sehari sebelumnya.
Secara bergantian kedua tim menyusun serangan sporadis ke jantung pertahanan lawan. Hingga di menit ke-3, sebuah umpan panjang yang dikirim lini tengah Pasher gagal diantisipasi libero gaek Walisongo Babeh. Kiper Rikza yang tak mengira Babeh bakal kehilangan bola pun sudah salah posisi hingga tanpa kesulitan berarti penyerang Pasher menceploskan bola ke gawang.
Tanpa dikomando, para pendukung Pasher pun berteriak kegirangan. Maklum, merekalah tim pertama yang mampu menjebol gawang Walisongo dalam turnamen resmi sejak Maret 2005. Gol terakhir yang masuk ke gawang Walisongo adalah tendangan bebas Shofa saat masih membela Airlangga dalam Java Cup II/2005. Saat Java Cup III/2006 Walisongo berhasil mempertahankan cleansheet, meski harus gigit jari gelar juara direbut Pasher. Sementara saat menjuarai Indonesian Games VI Juli 2006, gawang Walisongo yang bergantian dijaga dua kiper tangguh Habib dan Rikza, tak pernah jebol, kecuali dalam adu penalti.
Tertinggal 1 gol, skuad Walisongo mencoba meningkatkan tempo permainan. Irama permainan juga terus coba dikendalikan. Hingga pertahanan Pasher benar-benar dikurung dan terpaksa membuat pelanggaran untuk menghentikan pergerakan penyerang Walisongo. Mendapat tendangan bebas tak jauh dari kotak penalti, Conte mencoba langsung mengarahkan ke jala, tapi masih membentur mistar. Beruntung bola pantulan mendekati Hilmi yang langsung menyambar dengan kepalanya. Kedudukan 1-1 disambut suka cita supporter Walisongo.
Merasa unggul di lapangan tengah, Walisongo mencoba selalu menguasai ball possesion. Dengan umpan-umpan pendek, sedikit demi sedikit bola dibawa ke jantung pertahanan Pasher. Tim Pasher pun tak mau kalah. Mengimbangi permainan cepat Walisongo, mereka langsung membuang jauh ke tengah lapangan jika ada bola mendekat ke kaki mereka. Serangan balik cepat ini juga beberapa kali membahayakan pertahanan Walisongo.
Baru beberapa menit, sadar bek kanannya tidak terlalu sulit ditembus penyerang Pasher, Walisongo melakukan pergantian pemain. Bek senior Kholid masuk mendampingi 2 pemain senior lainnya di lini belakang, Babeh dan Buya.
Benar saja, baru beberapa saat masuk lapangan, Kholid malah bisa ikut membantu menyerang. Di menit ke-32, melalui overlapping di sayap kiri, Kholid mengirim umpan silang ke depan mulut gawang Pasher. Miko yang lepas dari kawalan lalu menyundul bola masuk gawang. Tanpa basa-basi Miko pun melakukan selebrasi merayakan gol pertamanya di Java Cup IV ini.
Saat kedudukan 2-1, permainan tetap enak ditonton. Para pemain Walisongo masih tampak belum berpuas diri. Di sisi lain Pasher juga bernafsu untuk menyamakan kedudukan. Hanya saja sampai berakhirnya 40 menit babak pertama, tak ada gol tambahan tercipta.
Saat babak kedua, permainan tetap ketat. Setelah mengurung area permainan Pasher, Walisongo kembali menciptakan gol. Memanfaatkan kesalahan lini pertahanan lawan, tak sampai menunggu 2 menit dimulainya babak kedua Miko kembali mencetak gol. 3-1 untuk Walisongo.
Setelah itu, gol demi gol kembali dicetak para pemain Walisongo. Bahkan, Conte makin kukuh di puncak daftar top scorer setelah menambah 2 gol lagi. Di menit ke-63, sepak pojok Shofa dari kanan pertahanan Pasher tak mampu dihalau kiper. Conte yang berada di tiang jauh pun dengan mudah melesakkan gol melalui sundulan. Dua menit kemudian Conte mampu menambah koleksi golnya menjadi lima buah melalui sontekan tenang memanfaatkan terobosan striker Royan.
Di menit ke-68, Pasher sebenarnya memiliki kesempatan memperkecil ketertinggalan melalui penalti. Wasit menunjuk titik putih usai melihat bek Walisongo mengganjal pemain Pasher di are terlarang. Sayangnya tendangan Yudi yang menjadi algojo melesat di atas gawang.
Urung mencetak gol, tugas Pasher makin terasa sulit karena seorang pemainnya terkena kartu merah. Dianggap melakukan professional foul pada Ismail, Agus yang bernomor punggung 9 diusir keluar lapangan. Sementara kubu Walisongo terpaksa mengganti Ismail karena tampak kesakitan.
Sepuluh menit sebelum babak kedua selesai, Shofa membuat pendukung Walisongo makin keras menyanyikan yel-yel khas mereka. Meski berjarak sekitar 30 meter dari gawang, Shofa berani melakukan tendangan spekulasi. Sebenarnya sepakan Shofa tak terlalu keras, tapi karena salah mengantisipasi, kiper Pasher harus rela memungut bola dari gawangnya untuk yang ke-8 dalam 2 pertandingan.
Walau perbedaan skor mencolok, kedua tim masih terus bergantian mencoba membangun serangan. Sayang hingga wasit meniup peluit panjang tak ada tambahan gol. Skor 6-1 tentu membuat girang supporter Walisongo yang sempat geram pemain kesayangannya selalu kesusahan menembus pertahanan Pasher dalam 2 pertemuan sebelumnya.
Krakatau Raih Kemenangan Pertama
Sementara pada 2 partai lainnya, The Jakmania berbagi angka dengan Airlangga dan Krakatau berhasil membalikkan keadaan untuk mengungguli Siliwangi. Pertandingan pertama antara The Jakmania dengan Airlangga, memang berlangsung seimbang. Memiliki cukup banyak peluang, sayangnya lini depan Airlangga gagal menyelesaikannya menjadi gol.
Di sisi lain, beberapa kali serangan The Jakmania yang dipimpin Fadhil, top scorrer Java Cup I, seperti menghadapi tembok kukuh. Walhasil hingga pertandingan berakhir, kedudukan tetap imbang kaca mata, tak ada satu gol pun tercipta.
Di partai kedua yang mempertemukan dua tim yang sama-sama mengalami kekalahan di pertandingan perdananya, Siliwangi terlihat akan mudah mengganyang Krakatau. Dalam waktu kurang dari dua menit, penyerang Siliwangi berhasil 2 kali merobek jala Krakatau. Uniknya, dua gol itu sama-sama melalui umpan terobosan cantik di menit ke-18 dan ke-19.
Tertinggal dua gol, Krakatau semakin merapatkan barisan. Dipimpin gelandang Fakhru yang saat partai melawan Walisongo ditugaskan menjadi kiper, gol pertama Krakatau di turnamen Java Cup IV tercipta. Hanya saja, beberapa saat kemudian Siliwangi berhasil menambah golnya yang ke-3.
Titik balik terjadi saat ada kemelut di depan gawang Siliwangi. Karena kiper menangkap umpan pemain belakang Siliwangi, wasit meniup peluit tanda hukuman tendangan bebas tak langsung. Merasa tak bersalah, beberapa pemain Siliwangi tampak mengerubungi wasit Ali Ghana. Wasit tetap tak mau mengubah keputusan. Merasa protesnya tak digubris, Asep malah memegang kaos wasit. Lalu tanpa ampun, Ali Ghana mengeluarkan kartu merah untuk pemain bernomor punggung 10 itu.
Permainan yang sebelumnya dikendalikan Siliwangi jadi lumayan berimbang dan malah berbalik arah. Namun hingga turun minum, kedudukan bertahan 3-1 untuk keunggulan Siliwangi. Baru di babak kedua, Krakatau dapat memanfaatkan kelebihan jumlah pemain. Siliwangi yang kewalahan mempertahankan irama permainan dipaksa sering bertahan. Hasilnya, di menit ke-65 Uuk dapat memperkecil ketertinggalan Krakatau. Bahkan beberapa menit kemudian Ambon bisa menyamakan kedudukan.
Tragisnya, saat pertandingan tinggal 2 menit, Siliwangi harus gigit jari tak memperoleh satu poin pun. Kapten Krakatau yang mendapat umpan dari Fakhru dapat melesakkan bola ke gawang Siliwangi. Kedudukan 4-3 untuk kemenangan Krakatau bertahan hingga pertandingan usai.[]
Jadwal pertandingan berikutnya:
Rabu, 28 Februari 2007
09.30 – 11.10 FOSGAMA vs KPMJB
11.15 – 12.55 KPJ vs KMB
13.00 – 14.40 GAMAJATIM vs KSW
Daftar Top Scorer:
5 gol: Conte (Walisongo)
Klasemen Sementara:
1. Walisongo; poin 6, selisih gol 9/1
2. Airlangga; poin 4, selisih gol 2/0
3. The Jakmania; poin 4, selisih gol 2/1
4. Krakatau; poin 3, selisih gol 4/6
5. Siliwangi; poin 0, selisih gol 4/6
6. Pasher; poin 0, selisih gol 1/8
Bawabah Tiga, 26 Februari 2007
Saturday, February 24, 2007
Walisongo Gebuk Krakatau 3 Gol Tanpa Balas
Meski terlambat lebih dari 1 jam dari jadwal semula, pertandingan pembuka turnamen tahunan Java Cup tetap dilanjutkan. Sesuai undian yang disaksikan oleh seluruh perwakilan tim peserta, tuan rumah Walisongo harus menghadapi tantangan tim yang sempat absen pada Java Cup I, Krakatau.
Pada dua kali pertemuan sebelumnya saat Java Cup kedua dan ketiga, Krakatau merupakan salah satu lumbung gol para penyerang Walisongo. Namun di tengah hujan debu yang mengguyur Cairo dan utamanya lapangan Asrama Buuts yang memang banyak pasir dan debunya, Krakatau tampak bisa mengimbangi permainan Walisongo yang merupakan jawara 2004 dan 2005.
Para pemain Walisongo sebenarnya cukup menguasai jalannya pertandingan, namun kali ini peningkatan kualitas bermain anggota skuad Banten cukup merepotkan barisan penyerang Walisongo yang dipimpin Miko dan Royan. Beberapa kali peluang emas Miko juga barisan tengah Walisongo dapat dengan gemilang dipatahkan kiper Fakhru. Pemain serba bisa sekaligus andalan Krakatau ini, sebenarnya juga sempat satu dua kali mati langkah saat diserbu Miko dkk, namun finishing touch para pemain Walisongo membuat kedudukan imbang hingga turun minum.
Memasuki babak kedua, Walisongo tetap mempertahankan kualitas permaiannya. Begitu pula skuad Krakatau, juga terus disiplin menjaga area pertahanannya. Meski hampir sepanjang pertandingan dikurung, penyerang Krakatau sempat menerobos masuk kotak penalti lawan melalui serangan balik cepat. Hampir saja terjadi blunder yang dilakukan kiper Walisongo, Habib, beruntung bola yang terlepas bisa direbut kembali sebelum dicontekkan pemain Krakatau.
Kebuntuan akhirnya bisa dipecahkan oleh playmaker andalan Walisongo, Agus Dwi Kuncoro. Setelah melalui kerjasama apik dengan rekannya di tengah, Shofa, pemain yang akrab dipanggil Conte itu dapat menceploskan si kulit bundar ke gawang Fakhru. Sontak para pendukung Walisongo meneriakkan yel-yel kebanggaan mereka.
Permainan pun semakin panas. Meski sudah menang 1 gol, para pemain Walisongo tidak tampak puas. Maklum, tahun sebelumnya mereka dapat memasukkan bola 6 kali ke gawang Krakatau. Beberapa saat kemudian, terjadi pelanggaran di depan garis gawang Krakatau. Conte yang ditunjuk menjadi algojo, kembali berhasil menambah tabungan golnya. Tanpa ada aba-aba, tentu saja supporter Walisongo bersorak gembira.
Yakin dapat menambah jumlah gol, para pemain Walisongo terus berusaha menguasai jalannya pertandingan. Tim Krakatau pun tak kalah semangat mengamankan daerah pertahanan mereka. Karena mengganjal seorang pemain Walisongo yang mencoba menusuk ke area penalti, Krakatau kembali mendapatkan hukuman tendangan bebas. Untuk yang kedua kalinya, Conte mencoba peruntungannya dalam bola mati.
Tak ingin gawangnya jebol lagi, Fakhru mengatur rekan-rekannya di barisan belakang untuk membuat pagar betis. Sempat berancang-ancang dengan kaki kanan, Conte berpindah haluan untuk menyiapkan kaki kirinya menendang bola. Fakhru pun merasa bola kiranya akan dilesakkan ke sebelah kiri gawangnya. Namun tak disangka, Conte justru melihat peluang di situ. Meski tak terlalu keras, bola ditendangnya secara akurat ke pojok kanan bawah gawang tanpa bisa dihalau Fakhru. Kemenangan 3-0 untuk Walisongo bertahan hingga peluit panjang ditiupkan wasit.
Airlangga dan The Jakmania Menang
Pada pertandingan berikutnya, terjadi big match saat Pasher memulai kampanyenya untuk mempertahankan gelar juara, melawan Airlangga yang tahun lalu digebugnya 3-1 di partai terakhir. Di awal pertandingan, sang juara bertahan rupanya belum menemukan irama permainannya. Beberapa kali penyerang Airlangga dapat masuk ke kotak penalti dan membahayakan gawang Pasher.
Mengandalkan beberapa pemain anyar, Airlangga dapat memimpin setelah andalan mereka Anang Wahid Cahyono melesakkan gol ke gawang Pasher. Botaqmania, julukan pendukung Airlangga pun makin keras menyanyikan lagu-lagu khas mereka. Setelah selalu dikurung di awal pertandingan, lama-kelamaan Pasher mulai bisa mengimbangi permainan ofensif Airlangga. Permainan pun semakin enak dilihat meski beberapa penonton sempat harus mengeluarkan beberapa kata tak pantas menganggap pemain tim lawan mengganjal pemain kesayangannya.
Setelah 40 menit babak pertama usai tak ada gol tambahan, Pasher baru menurunkan striker andalan mereka, Yudi. Entah karena taktik atau masalah kebugaran, Yudi memang baru memasuki lapangan pada awal babak kedua. Permainan Pasher pun makin meningkat, bahkan dalam beberapa waktu mereka sempat mengurung pertahanan Airlangga. Semangatnya para pemain Pasher diimbangi disiplinnya skuad Airlangga yang dipimpin pemain senior mereka, Azam.
Di tengah, pemain Airlangga yang sempat dikenal tempramental, Ali Oncom, terlihat lebih kalem sebagai kapten tim. Meski demikian, demi mempertahankan keunggulan dan tak mau gawangnya dibobol Yudi, Ali Oncom harus mendengar cemoohan supporter Pasher setelah terpaksa mengganjal atau menghalangi-halangi pemain lawan. Karena kerasnya pertandingan, beberapa kali sempat terjadi pelanggaran secara bergantian. Beruntung wasit bertindak tegas sehingga tidak terjadi keributan yang tak diinginkan.
Walau demikian, pendukung Pasher terpaksa tetap beberapa kali mengeluarkan kata tak sopan baik untuk pemain Airlangga maupun wasit. Bahkan di menit-menit akhir, cemoohan supporter Pasher makin keras setelah menganggap pemain Airlangga mengulur waktu dengan membuang-buang bola. Untungnya hal ini ditanggapi biasa oleh para pemain di tengah lapangan. Permainan pun tetap berlangsung seru.
Beberapa saat sebelum usainya babak kedua, melalui serangan balik Airlangga dapat menggandakan keunggulan melalui gol yang dicetak Siro. Pemain Pasher jadi tampak frustasi, hingga Yudi yang selama ini dikenal kalem dan murah senyum pun harus emosi dan beberapa kali melanggar pemain Airlangga. Kedudukan tetap 2-0 di babak kedua yang juga berlangsung 40 menit itu.
Pada pertandingan lainnya atau partai terakhir di hari pertama, The Jakmania unggul 2-1 atas Siliwangi. Dengan masing-masing kaos barunya, The Jakmania berwarna orange dan Siliwangi berwarna merah, kedua tim memperagakan permainan keras. Bahkan tampak beberapa pemain dari kedua tim harus diganti karena cedera.
Dengan berakhirnya pertandingan antara The Jakmania dan Siliwangi, di hari pertama turnamen Conte memimpin daftar top scorrer terbanyak dengan koleksi 3 gol.[]
Jadwal pertandingan berikutnya:
Senin, 26 Februari 2007
08.30 – 10.10 KPJ vs GAMAJATIM
10.15 – 11.55 KMB vs KPMJB
12.00 – 13.40 FOSGAMA vs KSW
Bawabah Tiga, 24 Februari 2007
Gong Java Cup IV Ditabuh
Mulai hari ini, Sabtu (24/2/2007), turnamen Java Cup dimulai. Even yang untuk keempat kalinya diselenggarakan ini, kembali mempertemukan 6 tim yang mewakili 6 kekeluargaan mahasiswa Indonesia yang ada di Mesir. Kecuali KMB yang absen pada gelaran pertama tahun 2004, seluruh tim selalu ikut memeriahkan Java Cup.
Sama seperti tahun sebelumnya, Java Cup diadakan di lapangan Asrama Buuts. Ingin meniru kisah sukses yang dilakukan oleh Gamajatim yang menjadi tuan rumah tahun lalu, KSW juga membuat panitia yang ditulangpunggungi darah muda. Persiapan demi persiapan pun dilakukan demi target sukses penyelenggaraan dan sukses prestasi.
Sayangnya, barangkali karena sedikit kurangnya pengalaman panitia, upacara pembukaan terpaksa tertunda beberapa saat. Dijadwalkan pukul 08.00, baru sekitar satu jam kemudian Drs. Agus Salim, Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Cairo bisa membuka acara. Itupun beberapa panitia masih tampak melakukan finishing dalam membuat garis lapangan. Di sisi lain, sebelum dimulainya opening ceremony beberapa orang panitia tampak harus memberi pengertian kepada pemakai lapangan (tanpa ijin) yang terdiri dari orang berkulit hitam. Hal ini karena panitia merasa sudah sah menggunakan lapangan pada waktu yang ditentukan, sementara orang-orang kulit hitam itu menggunakan lapangan tanpa ijin dulu.
Meski begitu, sedikit kekurangsiapan panitia itu bisa ditutupi dengan lancarnya jalannya pembukaan dan pertandingan-pertandingan pada hari pertama. Pihak panitia sendiri melalui ketuanya, Saiful Amar, mengakui kekurangan yang terjadi. Namun di sisi lain ia menjanjikan akan memberikan pelayanan terbaik agar penyelenggaraan sukses hingga selesainya final yang diagendakan berlangsung pada Kamis (5/3/2007) mendatang. Evaluasi dalam tubuh panitia juga direncanakan segera dilangsungkan sebelum tiba hari penyelenggaraan berikutnya.
Selama 3 kali penyelenggaraan turnamen Java Cup, tidak pernah ada pertandingan final. Bahkan even kedua tahun 2005 dan ketiga (2006) menggunakan sistem setengah kompetisi, sementara pada tahun 2004 menggunakan sistem kompetisi penuh. Karenanya, untuk pertama kalinya, tahun ini akan ada babak final, dimana bakal mempertemukan peringkat 1 dan 2 dari 6 kontestan setelah sebelumnya harus menyelesaikan sistem setengah kompetisi.
Bahkan sesuai kesepakatan antara panitia dan para perwakilan tim peserta dan setelah melihat keuangan panitia yang cukup terbantu dengan adanya tambahan dana dari KBRI, final akan diselenggarakan di Stadion Nadi Syabab Abbasea. Di tempat inilah final Indonesian Games tahun lalu digelar, dimana kesebelasan Walisongo (KSW) berhasil merebut emas dengan menundukkan Airlangga (Gamajatim) melalui adu penalti. Tapi, tentu bukan karena memori kemenangan Walisongo itulah pihak penyelenggara dari KSW memilih Nadi Abbasea sebagai tempat final, melainkan karena memang kualitas lapangan dan fasilitasnya lebih memadai.
Perubahan lain yang terjadi pada penyelenggaraan Java Cup kali ini adalah dengan ditunjuknya wasit yang lebih berkualitas. Tahun lalu, meski wasit yang ada berasal dari negara Afrika dengan dalih menjauhkan kesan subjektivitas, tapi cukup banyak tim yang merasa dirugikan. Karenanya, setelah melihat pengalaman sebelumnya, panitia mencari wasit yang lebih mumpuni. Kali ini, wasit utama juga berasal dari Afrika, yakni Ali dari Ghana. Sementara 2 orang asisten wasit dipilihkan dari anggota skuad Angin Mamiri (KKS Sulawesi) yang notabene berlatih di bawah asuhan Ali Ghana.
Jadwal pertandingan:
Sabtu, 24 Februari 2007
08.30 – 10.10 Walisongo (KSW) vs Krakatau (KMB)
10.15 – 11.55 Airlangga (GAMAJATIM) vs Pasher (FOSGAMA)
12.00 – 13.40 Siliwangi (KPMJB) vs The Jakmania (KPJ)
Senin, 26 Februari 2007
08.30 – 10.10 KPJ vs GAMAJATIM
10.15 – 11.55 KMB vs KPMJB
12.00 – 13.40 FOSGAMA vs KSW
Rabu, 28 Februari 2007
08.30 – 10.10 FOSGAMA vs KPMJB
10.15 – 11.55 KPJ vs KMB
12.00 – 13.40 GAMAJATIM vs KSW
Sabtu, 3 Maret 2007
08.30 – 10.10 KPMJB vs GAMAJATIM
10.15 – 11.55 KPJ vs KSW
12.00 – 13.40 KMB vs FOSGAMA
Senin, 5 Maret 2007
08.30 – 10.10 KPJ vs FOSGAMA
10.15 – 11.55 KPMJB vs KSW
12.00 – 13.40 GAMAJATIM vs KMB
Kamis, 8 Maret 2007
15.00 – 16.40 Final 1st Vs 2nd
NB: Perubahan jadwal akan diberitahukan kepada tim peserta
Panitia berharap setiap pertandingan dapat menghibur penonton yang datang. Di sisi lain, penonton juga diharapkan dapat mendukung tim kesayangannya secara sportif, sebagaimana tema yang diusung dalam Java Cup IV ini, "Merajut Ukhuwah dengan Sportivitas".[]
Bawabah Tiga, 24 Februari 2007
Wednesday, February 14, 2007
KOMPAS: Tulisan Muncul di Koran Harus Lalui 5 Tahap
Wartawan senior harian KOMPAS, Musthafa Abd Rahman mengatakan, sebuah tulisan harus diseleksi secara ketat sebelum muncul di koran atau majalah, apalagi media berskala nasional. Menurutnya ada 5 tahap yang harus dilewati agar tulisan dinilai layak dibaca khalayak ramai.
Di depan sekitar 30-an peserta Training Leadership dan Kepenulisan KSW, mantan Pemred Buletin HIMMAH PPI Mesir (1988-1990) ini menyampaikan materi "Bagaimana menjadi Penulis Hebat". Dengan gayanya yang khas, Pak Mus --demikian akrab dipanggil-- menyebutkan satu per satu langkah yang harus dilalui.
Pertama, tulisan dibuat oleh wartawan atau penulis dari luar. Kedua, masuk ke meja editor untuk diperiksa bahasanya. Ketiga, harus melalui redaktur pelaksana sebelum masuk ke meja ke-4, desk sunting. Sedangkan langkah terakhir sebelum benar-benar tampil di koran atau majalah, diteliti dulu oleh pimpinan media, baik pemimpin redaksi atau wakilnya. Di bagian pimpinan ini, tulisan hanya dilihat secara politis atau isi yang terkandung, apakah layak dimuat dan tak menimbulkan kontroversi berlebihan. Karena bagaimanapun, jika suatu media berbuat salah, pemred lah pihak pertama yang dimintai keterangan.
Mendengar penjelasan seperti itu peserta training hanya manggut-manggut. Sebuah ilmu yang sebelumnya sama sekali tak diketahui bisa mereka dapatkan secara gratis. Ya, peserta memang tak ditarik iuran sepeserpun untuk mengikuti training selama 2 hari ini.
Selain itu, Pak Mus yang sedang menempuh program doktoralnya di sebuah universitas di Beirut, Libanon, juga menjelaskan beberapa wawasan lainnya yang sangat berharga. Menurutnya juga, ada dua unsur yang terdapat dalam proses menulis. Pertama adalah seni menulis, yang merupakan fitrah atau bawaan. Sedangkan yang kedua adalah ketrampilan yang harus dilatih terus-menerus.
Peserta pun selama sekitar 1,5 jam tak henti-hentinya memperhatikan dengan seksama setiap kalimat yang terucap dari jurnalis paling senior di Kairo itu. Apalagi ada sesi tanya jawab, maka dengan sigap peserta memanfaatkan secara baik-baik kesempatan emas bertatap langsung dengan wartawan yang sudah hampir 16 tahun bergabung dengan KOMPAS itu.
Sebelum Pak Mus presentasi di sesi terakhir hari itu, ada 2 materi tentang "Mengenal Kepenulisan Non-Fiksi" yang dibawakan oleh Ridlwan, MA (dosen UIN Yogyakarta) dan "Mengenal Kepenulisan Fiksi" yang dibawakan oleh Nanang Musha (sastrawan muda Kairo).
Sementara di hari sebelumnya, Senin (12/2/2007) 2 materi disampaikan oleh Fakhruddin Aziz, Lc. (Manajemen Konflik) dan Iswan Kurnia Hasan, Lc. (Membangun Kekuatan Tim). Selain materi-materi itu, panitia penyelenggara didampingi panitia pengarah menyediakan banyak bentuk acara yang membuat peserta dengan enjoy menikmati keseluruhan acara. Sehingga, meski acara berlangsung sejak jam 10 pagi sampai jam 8 malam, peserta betah duduk lesehan di Auditorium Griya Jateng.[]
Bawabah Tiga, 14 Februari 2007
Pulaaaaaaaaaaaang...!
Memori Rihlah Luxor-Aswan (13-habis)
Sesampainya di hotel, sebagian besar peserta langsung ke kamar mandi untuk cuci muka, wudlu dan shalat magrib sekaligus isya. Sementara beberapa orang tampak menuju pasar yang berada persis di samping hotel. Rupanya masih ada yang ketinggalan membeli oleh-oleh sekadar cabe Aswan atau kacang Sudan. Beberapa peserta rihlah juga sempat terlihat membeli makanan berat seperti nasi dan lauknya, sebagai persiapan untuk bekal dalam perjalanan jauh Aswan-Cairo.
Tak berapa lama kemudian, semua berkumpul di lobi hotel. Barang-barang yang dititipkan kepada petugas hotel pun diambil dan langsung dimasukkan ke dalam bus. Setelah mengecek semua barang tak ada yang tertinggal, bus pun melaju pelan menuju stasiun kereta api. Karena memang jaraknya tak jauh dari Cleopatra Hotel, hanya sekitar 1 km, sekitar 5 menit kemudian bus berhenti di depan stasiun.
Semua pun mengambil barang masing-masing di bagasi bus. Setelah itu satu per satu check in masuk stasiun dan langsung menuju sebuah jalur yang sudah diberitahukan sebelumnya. Sama seperti saat berangkat, peserta dari Indonesia dan China berada di satu gerbong, sementara sisanya bersama Ustad Majdi, Madam Ikhlas dan Miss Najla berada di gerbong berikutnya.
Saat sampai di jalur yang telah ditentukan, ternyata kereta sudah ada. Peserta rihlah pun berebetuan naik agar dapat memilih tempat yang kiranya paling strategis. Saat itu gerbong masih kosong, hingga tak sadar beberapa peserta rihlah menduduki kursi yang sudah dipesan penumpang lain. Beruntung Ustad Majdi mengingatkan dan semua diatur kembali sesuai nomor kursi yang sudah dipesan sebelumnya. Sekitar pukul 19.00, persis seperti jadwal, kereta bergerak meninggalkan kota Aswan.
Pengalaman perjalanan berangkat dari Cairo-Luxor yang membosankan, tak terulang saat pulang. Hal ini karena kereta api berjalan lebih cepat, berbeda dari sebelumnya. Begitu pula adanya beberapa stasiun kecil yang dilewati saja, sementara saat berangkat dulu seperti tak ada satu pun stasiun yang dilewati, harus berhenti walau tak ada penumpang yang naik-turun.
Karena merasa sudah tak ada tanggungan untuk kelak berlelah-lelah lagi, saat perjalanan pulang banyak yang menghabiskan waktu untuk mengobrol, bercanda atau bermain-main dengan teman-teman segeng. Sedikit dan sebentar saja peserta rihlah yang memanfaatkan waktu untuk tidur atau istirahat.
Lebih seru dari saat perjalanan berangkat, Yayah kembali membuat geger gerbong dengan guyonan-guyonannya yang segar. Begitu juga dengan Alfi, yang jadi tampak lebih berani mengeluarkan simpanan ceritanya. Sementara Adon lebih banyak curhat mengenai banyak kejadian menarik saat di pondok dulu.
Saking asyiknya bercanda dan bermain-main serta sedikit saja istirahat atau terlelap tidur, tak terasa perjalanan Aswan-Cairo sejauh 899 km cepat terlewati. Sekitar pukul 09.30 Ahad (4/2/2007) pagi, kereta sampai di stasiun Ramses. Wajah-wajah lelah pun satu per satu keluar dari gerbong kereta. Setelah ala kadarnya "say good bye" pada Ustad Majdi, masing-masing mencari kendaraan carteran untuk pulang bersama gengnya.[]
Sesampainya di hotel, sebagian besar peserta langsung ke kamar mandi untuk cuci muka, wudlu dan shalat magrib sekaligus isya. Sementara beberapa orang tampak menuju pasar yang berada persis di samping hotel. Rupanya masih ada yang ketinggalan membeli oleh-oleh sekadar cabe Aswan atau kacang Sudan. Beberapa peserta rihlah juga sempat terlihat membeli makanan berat seperti nasi dan lauknya, sebagai persiapan untuk bekal dalam perjalanan jauh Aswan-Cairo.
Tak berapa lama kemudian, semua berkumpul di lobi hotel. Barang-barang yang dititipkan kepada petugas hotel pun diambil dan langsung dimasukkan ke dalam bus. Setelah mengecek semua barang tak ada yang tertinggal, bus pun melaju pelan menuju stasiun kereta api. Karena memang jaraknya tak jauh dari Cleopatra Hotel, hanya sekitar 1 km, sekitar 5 menit kemudian bus berhenti di depan stasiun.
Semua pun mengambil barang masing-masing di bagasi bus. Setelah itu satu per satu check in masuk stasiun dan langsung menuju sebuah jalur yang sudah diberitahukan sebelumnya. Sama seperti saat berangkat, peserta dari Indonesia dan China berada di satu gerbong, sementara sisanya bersama Ustad Majdi, Madam Ikhlas dan Miss Najla berada di gerbong berikutnya.
Saat sampai di jalur yang telah ditentukan, ternyata kereta sudah ada. Peserta rihlah pun berebetuan naik agar dapat memilih tempat yang kiranya paling strategis. Saat itu gerbong masih kosong, hingga tak sadar beberapa peserta rihlah menduduki kursi yang sudah dipesan penumpang lain. Beruntung Ustad Majdi mengingatkan dan semua diatur kembali sesuai nomor kursi yang sudah dipesan sebelumnya. Sekitar pukul 19.00, persis seperti jadwal, kereta bergerak meninggalkan kota Aswan.
Pengalaman perjalanan berangkat dari Cairo-Luxor yang membosankan, tak terulang saat pulang. Hal ini karena kereta api berjalan lebih cepat, berbeda dari sebelumnya. Begitu pula adanya beberapa stasiun kecil yang dilewati saja, sementara saat berangkat dulu seperti tak ada satu pun stasiun yang dilewati, harus berhenti walau tak ada penumpang yang naik-turun.
Karena merasa sudah tak ada tanggungan untuk kelak berlelah-lelah lagi, saat perjalanan pulang banyak yang menghabiskan waktu untuk mengobrol, bercanda atau bermain-main dengan teman-teman segeng. Sedikit dan sebentar saja peserta rihlah yang memanfaatkan waktu untuk tidur atau istirahat.
Lebih seru dari saat perjalanan berangkat, Yayah kembali membuat geger gerbong dengan guyonan-guyonannya yang segar. Begitu juga dengan Alfi, yang jadi tampak lebih berani mengeluarkan simpanan ceritanya. Sementara Adon lebih banyak curhat mengenai banyak kejadian menarik saat di pondok dulu.
Saking asyiknya bercanda dan bermain-main serta sedikit saja istirahat atau terlelap tidur, tak terasa perjalanan Aswan-Cairo sejauh 899 km cepat terlewati. Sekitar pukul 09.30 Ahad (4/2/2007) pagi, kereta sampai di stasiun Ramses. Wajah-wajah lelah pun satu per satu keluar dari gerbong kereta. Setelah ala kadarnya "say good bye" pada Ustad Majdi, masing-masing mencari kendaraan carteran untuk pulang bersama gengnya.[]
Tuesday, February 13, 2007
Hari Terakhir di Aswan yang Kaya Sejarah
Memori Rihlah Luxor-Aswan (12)
Hampir tak ada yang tak dapat ditemukan di Aswan dan sekitarnya. Kota indah di tepian sungai Nil ini merupakan gudangnya peninggalan sejarah peradaban Mesir kuno. Sayangnya, karena waktu yang terbatas untuk berada di Aswan ini, rombongan rihlah Nadi Wafidin hanya dapat mengunjungi beberapa objek saja. Sementara banyak sekali tujuan wisata (dan studi) yang mestinya mendapatkan hak untuk disambangi.
Selain kuil-kuil di Kum Ambo, Edfu dan Abu Simbel yang berada jauh dari kota Aswan, hampir semuanya berada di tempat yang berdekatan dan mudah dijangkau dari pusat kota. Hanya saja, demi menghormati jadwal kereta yang sudah ditentukan pihak Nadi Wafidin di Kairo, rombongan hanya seharian keliling objek wisata di Aswan dan mendapati 4 tempat terpilih.
Sejak sekitar pukul 08.00, Sabtu (3/2/2007), peserta rihlah diminta check out dari kamar hotel dan mengeluarkan seluruh barangnya untuk dititipkan kepada petugas hotel sebelum ditinggal untuk berwisata. Agak molor sedikit karena sebagian kelelahan dan bangun rada terlambat, baru sekitar pukul 08.45 check out beres dan semua menuju bus.
Tujuan pertama di hari terakhir jatah berada di Aswan ini, adalah al-Masallah al-Naqishah. Ianya merupakan Obelisk yang berukuran sepanjang 41 km dan berat 1150 ton. Obelisk yang konon pasangan dari Obelisk Laterin (ditemukan di Karnak dan kini berada di Roma) ini terletak di dekat Kawasan Kuburan Fatimiyah, tak seberapa jauh dari pusat kota Aswan.
Tak lebih dari 45 menit di kawasan al-Masallah al-Naqishah, perjalanan dilanjutkan ke Philae Temples. Kuil-kuil yang sempat dikuasai dan dimanfaatkan oleh tiga agama/kepercayaan ini berada di tengah-tengah aliran sungai Nil. Untuk sampai pada gabungan dari beberapa kuil (sehingga disebut sebagai "temples" bukan "temple") ini, pengunjung harus menyeberang dengan naik kapal dimana para nahkodanya berebut menawarkan layanan.
Bangsa Yunani, Romawi dan kaum Masehi (Kristiani) pernah menggunakan bangunan-bangunan ini sebagai tempat ibadah mereka. Hal ini juga nampak dari beberapa perubahan yang ada pada kuil-kuil. Orang Masehi misalnya, sempat mengukirkan lambang salib pada beberapa sudut bangunan. Beberapa pahatan yang mengambarkan bentuk dewa Mesir kuno juga terpaksa dirusak oleh penguasa kuil setelahnya. Konon, orang Mesir kuno mengkhususkan tempat ini untuk pemujaan pada Dewi Isis.
Saat ini, Philae Temples berada di pulau Agelica, lebih kurang 500 meter dari tempat aslinya. Hal ini karena sekitar tahun 1960-an, pada saat pembangunan Aswan High Dam, kumpulan kuil Philae sempat terendam air. Ketika itu yang tampak hanya pucuk-pucuk dan atap-atap bangunan Philae Temples. Karenanya, pemerintah Mesir bersama UNESCO berinisiatif memindahkan seluruh bangunan Philae Temples di daratan yang tak tergenang air dan pulau Agelica lah yang jadi pilihan.
Pilihan pulau Agelica ini sepertinya dipikirkan matang-matang. Terbukti keindahan nuansa yang dapat terangkum saat berada di pinggiran pulau kecil ini. Angin semilir yang banyak berhembus di sekitar pulau Agelica juga menambah suasana makin enak dinikmati. Bahkan kini di salah satu bibir pantai pulau itu didirikan kafetaria terbuka. Walau dengan sekadar memesan minuman ringan, pengunjung dapat bersantai menghilangkan kepenatan rutinitas di kafetaria yang harga menunya tentu tak sama dengan di daratan biasa itu.
Setelah sekitar 1,5 jam berada di pulau Agelica, peserta rihlah kembali ke kapal untuk menuju bus dan melanjutkan perjalanan. Sama seperti saat berangkat, kapal berlayar sekitar 15 menit dan sampai di parkiran bus. Petualangan berikutnya adalah Aswan High Dam.
Melewati sebuah bendungan yang memotong aliran sungai Nil (sebelumnya banyak yang mengira itu merupakan Aswan High Dam), bus harus beberapa kali diperiksa petugas keamanan sebelum sampai di kawasan Aswan High Dam (Bendungan Besar Aswan). Tak aneh harus menjalani pemeriksaan seketat itu, karena memang Aswan High Dam sangat besar peranannya dalam menyediakan listrik untuk seluruh pelosok Mesir.
Aswan High Dam memang sangat terkenal di seluruh dunia. Dibangun pada tahun 1960-an, pengunjung yang berada di bendungan sepanjang 2 mil itu dapat jauh memandang keindahan panorama Danau Naser. Selain itu, di sisi selatan juga nampak daratan dimana terdapat sebuah kuil bernama Klabsha Temple.
Karena berada di Aswan High Dam tepat saat tengah hari, matahari pun dengan gagahnya menyinari kota Aswan. Tampak juga kilauan cahaya yang dipantulkan oleh air yang tenang menghanyutkan dari danau Naser. Tak kuat berlama-lama di bawah terik matahari, peserta rihlah pun pulang menuju hotel.
Sesuai instruksi Ustad Majdi, peserta rihlah tak boleh berlama-lama di dalam hotel. Hanya untuk makan siang dan shalat, semua harus langsung kembali berkumpul di depan hotel untuk kemudian bersama-sama jalan kaki ke dermaga sungai Nil.
Dari situ, sebuah kapal disewa menuju objek berikutnya, Desa Nubia. Konon, penduduk desa Nubia merupakan orang-orang yang dulunya tinggal di sekitar pinggiran Nil. Cukup banyak bukti sejarah berupa pahatan dan ukiran yang berada di kuil-kuil Mesir kuno, menunjukkan keberadaan kaum Nubia.
Saat meluapnya danau Naser, banyak penduduk Nubia berpindah tempat tinggal. Bahkan desa Nubia yang saat ini ditinggali keturunan orang-orang Nubia itu, juga merupakan tempat "pelarian". Selain itu, orang-orang Nubia juga banyak yang menuju daerah sekitar Kum Ambo Temple, Aswan bahkan hingga Sudan.
Orang Nubia memiliki ciri khas tersendiri dalam keseharian dan bahasa mereka. Bahasa Nubia sendiri hanya dapat diucapkan, tanpa ada huruf yang dapat dipelajari. Ucapan setiap kata juga jauh berbeda dari bahasa Arab. Saat perang penting Arab-Israel 6 Oktober 1967 [selamat ulang tahun goeshid!], bahasa Nubia dipakai sebagai bahasa isyarat di antara tentara Mesir. Walhasil, pihak musuh sama sekali tak bisa mengetahui maksud percakapan di antara mereka.
Di desa Nubia, anggota Nadi Wafidin dipersilakan masuk ke salah satu rumah orang Nubia. Rumah yang sepertinya memang biasa dikunjungi para turis itu, sejatinya memang berbeda dari kebanyakan bentuk rumah orang Mesir. Hal ini menunjukkan bahwa orang Nubia benar-benar memiliki ciri khas tersendiri, meski hidup mereka berada tak jauh dari orang-orang Arab.
Kini, hampir setiap bagian dinding-dinding rumah orang Nubia banyak terlukis berbagai macam hal, seperti alat musik (baik tradisional maupun modern), hewan, pohon, orang dan lain-lain. Entah ini adat orang Nubia terdahulu atau berubah sesuai perkembangan zaman. Karena memang rata-rata rumah orang Nubia besar dan luas, lukisan pun ada berbagai macam bentuk.
Hingga menjelang matahari terbit berada di desa Nubia, peserta rihlah juga diajak masuk ke salah satu ruangan sebuah sekolah. Di situ, seorang penduduk Nubia asli sempat mengajarkan sedikit bahasa Nubia. Utamanya yang berkaitan dengan angka, mulai angka 1 hingga 10. Selain itu juga percakapan umum sehari-hari seperti "apa kabar" dan "selamat pagi".
Keluar dari desa Nubia sekitar pukul 15.15, perjalanan pulang terasa lebih cepat karena tak melawan arah arus sungai Nil. Tak sampai setengah jam kemudian sampai kembali di hotel. Bus yang akan membawa rombongan menuju stasiun juga sudah stand by menunggu.[]
Hampir tak ada yang tak dapat ditemukan di Aswan dan sekitarnya. Kota indah di tepian sungai Nil ini merupakan gudangnya peninggalan sejarah peradaban Mesir kuno. Sayangnya, karena waktu yang terbatas untuk berada di Aswan ini, rombongan rihlah Nadi Wafidin hanya dapat mengunjungi beberapa objek saja. Sementara banyak sekali tujuan wisata (dan studi) yang mestinya mendapatkan hak untuk disambangi.
Selain kuil-kuil di Kum Ambo, Edfu dan Abu Simbel yang berada jauh dari kota Aswan, hampir semuanya berada di tempat yang berdekatan dan mudah dijangkau dari pusat kota. Hanya saja, demi menghormati jadwal kereta yang sudah ditentukan pihak Nadi Wafidin di Kairo, rombongan hanya seharian keliling objek wisata di Aswan dan mendapati 4 tempat terpilih.
Sejak sekitar pukul 08.00, Sabtu (3/2/2007), peserta rihlah diminta check out dari kamar hotel dan mengeluarkan seluruh barangnya untuk dititipkan kepada petugas hotel sebelum ditinggal untuk berwisata. Agak molor sedikit karena sebagian kelelahan dan bangun rada terlambat, baru sekitar pukul 08.45 check out beres dan semua menuju bus.
Tujuan pertama di hari terakhir jatah berada di Aswan ini, adalah al-Masallah al-Naqishah. Ianya merupakan Obelisk yang berukuran sepanjang 41 km dan berat 1150 ton. Obelisk yang konon pasangan dari Obelisk Laterin (ditemukan di Karnak dan kini berada di Roma) ini terletak di dekat Kawasan Kuburan Fatimiyah, tak seberapa jauh dari pusat kota Aswan.
Tak lebih dari 45 menit di kawasan al-Masallah al-Naqishah, perjalanan dilanjutkan ke Philae Temples. Kuil-kuil yang sempat dikuasai dan dimanfaatkan oleh tiga agama/kepercayaan ini berada di tengah-tengah aliran sungai Nil. Untuk sampai pada gabungan dari beberapa kuil (sehingga disebut sebagai "temples" bukan "temple") ini, pengunjung harus menyeberang dengan naik kapal dimana para nahkodanya berebut menawarkan layanan.
Bangsa Yunani, Romawi dan kaum Masehi (Kristiani) pernah menggunakan bangunan-bangunan ini sebagai tempat ibadah mereka. Hal ini juga nampak dari beberapa perubahan yang ada pada kuil-kuil. Orang Masehi misalnya, sempat mengukirkan lambang salib pada beberapa sudut bangunan. Beberapa pahatan yang mengambarkan bentuk dewa Mesir kuno juga terpaksa dirusak oleh penguasa kuil setelahnya. Konon, orang Mesir kuno mengkhususkan tempat ini untuk pemujaan pada Dewi Isis.
Saat ini, Philae Temples berada di pulau Agelica, lebih kurang 500 meter dari tempat aslinya. Hal ini karena sekitar tahun 1960-an, pada saat pembangunan Aswan High Dam, kumpulan kuil Philae sempat terendam air. Ketika itu yang tampak hanya pucuk-pucuk dan atap-atap bangunan Philae Temples. Karenanya, pemerintah Mesir bersama UNESCO berinisiatif memindahkan seluruh bangunan Philae Temples di daratan yang tak tergenang air dan pulau Agelica lah yang jadi pilihan.
Pilihan pulau Agelica ini sepertinya dipikirkan matang-matang. Terbukti keindahan nuansa yang dapat terangkum saat berada di pinggiran pulau kecil ini. Angin semilir yang banyak berhembus di sekitar pulau Agelica juga menambah suasana makin enak dinikmati. Bahkan kini di salah satu bibir pantai pulau itu didirikan kafetaria terbuka. Walau dengan sekadar memesan minuman ringan, pengunjung dapat bersantai menghilangkan kepenatan rutinitas di kafetaria yang harga menunya tentu tak sama dengan di daratan biasa itu.
Setelah sekitar 1,5 jam berada di pulau Agelica, peserta rihlah kembali ke kapal untuk menuju bus dan melanjutkan perjalanan. Sama seperti saat berangkat, kapal berlayar sekitar 15 menit dan sampai di parkiran bus. Petualangan berikutnya adalah Aswan High Dam.
Melewati sebuah bendungan yang memotong aliran sungai Nil (sebelumnya banyak yang mengira itu merupakan Aswan High Dam), bus harus beberapa kali diperiksa petugas keamanan sebelum sampai di kawasan Aswan High Dam (Bendungan Besar Aswan). Tak aneh harus menjalani pemeriksaan seketat itu, karena memang Aswan High Dam sangat besar peranannya dalam menyediakan listrik untuk seluruh pelosok Mesir.
Aswan High Dam memang sangat terkenal di seluruh dunia. Dibangun pada tahun 1960-an, pengunjung yang berada di bendungan sepanjang 2 mil itu dapat jauh memandang keindahan panorama Danau Naser. Selain itu, di sisi selatan juga nampak daratan dimana terdapat sebuah kuil bernama Klabsha Temple.
Karena berada di Aswan High Dam tepat saat tengah hari, matahari pun dengan gagahnya menyinari kota Aswan. Tampak juga kilauan cahaya yang dipantulkan oleh air yang tenang menghanyutkan dari danau Naser. Tak kuat berlama-lama di bawah terik matahari, peserta rihlah pun pulang menuju hotel.
Sesuai instruksi Ustad Majdi, peserta rihlah tak boleh berlama-lama di dalam hotel. Hanya untuk makan siang dan shalat, semua harus langsung kembali berkumpul di depan hotel untuk kemudian bersama-sama jalan kaki ke dermaga sungai Nil.
Dari situ, sebuah kapal disewa menuju objek berikutnya, Desa Nubia. Konon, penduduk desa Nubia merupakan orang-orang yang dulunya tinggal di sekitar pinggiran Nil. Cukup banyak bukti sejarah berupa pahatan dan ukiran yang berada di kuil-kuil Mesir kuno, menunjukkan keberadaan kaum Nubia.
Saat meluapnya danau Naser, banyak penduduk Nubia berpindah tempat tinggal. Bahkan desa Nubia yang saat ini ditinggali keturunan orang-orang Nubia itu, juga merupakan tempat "pelarian". Selain itu, orang-orang Nubia juga banyak yang menuju daerah sekitar Kum Ambo Temple, Aswan bahkan hingga Sudan.
Orang Nubia memiliki ciri khas tersendiri dalam keseharian dan bahasa mereka. Bahasa Nubia sendiri hanya dapat diucapkan, tanpa ada huruf yang dapat dipelajari. Ucapan setiap kata juga jauh berbeda dari bahasa Arab. Saat perang penting Arab-Israel 6 Oktober 1967 [selamat ulang tahun goeshid!], bahasa Nubia dipakai sebagai bahasa isyarat di antara tentara Mesir. Walhasil, pihak musuh sama sekali tak bisa mengetahui maksud percakapan di antara mereka.
Di desa Nubia, anggota Nadi Wafidin dipersilakan masuk ke salah satu rumah orang Nubia. Rumah yang sepertinya memang biasa dikunjungi para turis itu, sejatinya memang berbeda dari kebanyakan bentuk rumah orang Mesir. Hal ini menunjukkan bahwa orang Nubia benar-benar memiliki ciri khas tersendiri, meski hidup mereka berada tak jauh dari orang-orang Arab.
Kini, hampir setiap bagian dinding-dinding rumah orang Nubia banyak terlukis berbagai macam hal, seperti alat musik (baik tradisional maupun modern), hewan, pohon, orang dan lain-lain. Entah ini adat orang Nubia terdahulu atau berubah sesuai perkembangan zaman. Karena memang rata-rata rumah orang Nubia besar dan luas, lukisan pun ada berbagai macam bentuk.
Hingga menjelang matahari terbit berada di desa Nubia, peserta rihlah juga diajak masuk ke salah satu ruangan sebuah sekolah. Di situ, seorang penduduk Nubia asli sempat mengajarkan sedikit bahasa Nubia. Utamanya yang berkaitan dengan angka, mulai angka 1 hingga 10. Selain itu juga percakapan umum sehari-hari seperti "apa kabar" dan "selamat pagi".
Keluar dari desa Nubia sekitar pukul 15.15, perjalanan pulang terasa lebih cepat karena tak melawan arah arus sungai Nil. Tak sampai setengah jam kemudian sampai kembali di hotel. Bus yang akan membawa rombongan menuju stasiun juga sudah stand by menunggu.[]
Sunday, February 11, 2007
Gagal Sunrise di Abu Simbel
Memori Rihlah Luxor-Aswan (11)
Kamis (1/2/2007) malam, saat makan malam di kafetaria hotel, Ustad Majdi mengumumkan bahwa perjalanan berikutnya adalah ke Abu Simbel. Karena letaknya yang jauh, 282 km selatan Aswan, seluruh anggota Nadi Wafidin diharapkan bangun pukul 03.00 dan setengah jam kemudian dapat berkumpul di depan hotel.
Benar saja, sekitar pukul 02.45 tiap kamar ditelpon oleh Ustad Majdi, diingatkan untuk segera bangun dan bersiap-siap melakukan perjalanan. Tak lupa juga disarankan untuk membawa pakaian yang tebal, karena hawa sangat dingin di dini hari menjelang pagi.
Sekitar pukul 03.30, sebagian besar peserta rihlah sudah berkumpul di lobi hotel. Saking dinginnya udara di malam itu, beberapa orang bahkan mengaku memakai pakaian hingga rangkap empat, belum termasuk jaket juga syal dan penutup kepala. Pemandangan jadi lucu, karena meski wajah mereka bersih setelah cuci muka, namun tak dapat menghindarkan diri dari menguap. Sebagian malah iseng memasukkan tangannya ke mulut temannya yang seperti tak sadar menguap besar-besar. Maklum, tidur hanya beberapa jam saja.
Jengkel menunggu bus yang tak datang-datang, Ustad Majdi meminta salah seorang berwajah Eropa untuk menengok ke jalan besar di depan, barangkali bus berhenti di sana. Untungnya, sebelum berjalan terlalu jauh dari hotel, sekitar pukul 03.50 bus yang dinanti tiba. Satu per satu peserta rihlah pun masuk ke dalam bus dengan agak bermalas-malasan karena menahan kantuk.
Saat dicek apakah sudah lengkap, ternyata masih ada seorang peserta yang belum terlihat. Dengan agak kesal, terpaksa Ustad Majdi masuk ke hotel lagi dan tak berapa lama kemudian sudah kembali dengan si lambat itu yang masih terlihat sibuk mengucek-ucek matanya. Karena dianggap terlalu lamban, Ustad Majdi pun sempat terlihat marah-marah. Sayangnya hal ini justru tidak ditanggapi dengan hati dingin. Pertengkaran kecil pun tak terelakkan.
Meski demikian, akhirnya semua masuk ke dalam bus dan sang pengemudi menstarter kendaraannya itu. Sebelum bus berjalan, untuk bekal perjalanan sebuah box berisi makanan jatah sarapan pagi dibagikan. Seperti biasa, isinya juga berkisar di antara roti, keju, telur rebus dan jus kemasan.
Layaknya perjalanan Luxor-Aswan yang dikawal polisi, perjalanan menuju Abu Simbel juga harus menunggu kendaraan lain di bawah kawalan polisi. Sepertinya ada jam-jam tertentu kapan shift pengawal dari pihak kepolisian berjalan bersama iring-iringan kendaraan yang akan menempuh perjalanan Aswan-Abu Simbel.
Saat menunggu kendaraan lainnya itulah, sopir bus tampak keluar, barangkali ingin buang hajat. Apesnya, saat tiba waktunya mobil-mobil lain berjalan bersama kawalan polisi, sampai habis tak ada yang terlihat, justru sopir bus belum muncul. Sedikit kepanikan sempat muncul, sebelum sang sopir terlihat agak terburu-buru datang dan langsung menjalankan kemudinya.
Tertinggal cukup jauh dari iring-iringan rombongan yang mestinya selalu bersama, bus pun dikemudikan dalam kecepatan tinggi. Apalagi setelah keluar kota Aswan dan jalanan tampak lurus jauh ke depan, sopir makin bersemangat mempercepat laju bus. Saat Aghi sempat menengok pada "meteran" yang ada di depan pengemudi, kecepatan bus bahkan rata-rata di atas 120 km per jam.
Karena masih merasa kantuk, sebagian besar peserta rihlah pun meneruskan mimpinya di bus. Beberapa orang malah tampak mendengkur, sementara Aghi, Meri, Ulya dan Yayah masih sempat-sempatnya bermain-main atau berbincang konyol. Hampir setengah perjalanan, baru semua penumpang sudah dapat menutup matanya.
Namanya juga tidur di bus, tak senyaman saat tidur di atas kasur dalam kamar hotel. Sebentar-sebentar juga terpaksa bangun, lalu kalau bisa mencoba terlelap lagi. Aghi yang terbangun, mencoba melihat "meteran" lagi, bus tetap berjalan cepat selalu di atas 100 km per jam. Yang sedikit bikin deg-degan adalah saat suatu ketika bus berjalan di lajur kiri (di Mesir kendaraan harus selalu di lajur kanan). Untung hal itu tak terlalu lama. Sekadar ingin memastikan, Aghi lalu melihat-lihat wajah sopir dari samping, tampak tidak kantuk. Hal ini pun diceritakan kepada Ulya yang duduk di sampingnya di barisan kanan kursi nomor dua dari depan.
Meski bus dikemudikan dalam kecepatan tinggi, bus-bus dan kendaraan travel lain yang awalnya satu iring-iringan belum tampak juga. Barangkali karena jalanan Aswan-Abu Simbel memang terbilang banyak lurusnya, jadi semua selalu berpacu dengan kecepatan tinggi.
Meski sudah dengan kecepatan tinggi seperti itu, sayangnya saat sunrise masih juga dalam perjalanan. Tahu Meri paling suka hunting foto-foto, Aghi dan Ulya pun membangunkannya. Dengan secepat kilat Meri sudah jepret-jepret dengan kamera pinjamannya. Terganggu temannya yang sedang berpolah mencari-cari posisi terbaik untuk menghasilkan gambar bagus, Yayah yang duduk di samping Meri juga terbangun.
Agak malas-malasan, Yayah jadi ikut menikmati terbitnya matahari di ufuk timur. Setelah itu disusul Alfi dan Adon yang tampak kurang enak badan selalu memegangi kepalanya. Alfi pun menyadari keadaan teman duduk di sampingnya itu dan sedari awal menyerahkan sebuah sarung agar badan Adon tak terlalu kedinginan.
Ustad Majdi membangunkan awal-awal peserta rihlah awalnya agar dapat menikmati sunrise di Abu Simbel. Tapi apa mau dikata, terlambat berangkat menjadikan rencana semula tak dapat dilaksanakan. Sesampai di Abu Simbel, jam malah sudah menunjukkan pukul 07.00. Mentari pun sudah mengeluarkan cahayanya yang cukup panas, bertentangan dengan hawa dingin yang dihembuskan angin dengan cukup kencang.
Setelah bus diparkir, sebagian besar anggota rombongan menyempatkan ke toilet dulu sebelum menuju Abu Simbel Temple. Saat berada di balik bukit yang di depannya terdapat kuil Abu Simbel, danau Naser yang mengelilingi kawasan itu tampak berkilauan memantulkan sinar sang surya.
Saat seorang guide menerangkan peristiwa di balik berdirinya Abu Simbel Temple, malah sekelompok burung terbang rendah di atas air danau. Pemandangan yang sedap dipandang dan dengan sigap Meri pun menjepretkan kameranya beberapa kali hingga burung-burung itu makin menjauh.
Menurut penuturan guide yang menerangkan dalam bahasa Arab campuran ammiyahnya, kuil besar ini didirikan dengan "memotong" aliran sungai Nil. Setelah tak ada air setitikpun di kubangan besar akibat dimatikannya arus air ke kawasan itu, perbukitan batu itu lalu dipahat dan diukur. Secara garis besar, kuil Abu Simbel terdiri dari dua bagian. Kuil pertama sebagai kuil utama dihiasi 4 patung besar setinggi hampir 40 meter. Empat patung itu adalah masing-masing dua patung Ramses II yang sedang duduk didampingi istrinya yang konon terkenal dengan kecantikannya, Nefertari.
Di dalam kuil, di balik 4 patung besar yang di bawahnya berdiri patung-patung lebih kecil simbol anak-anak salah seorang penguasa Mesir kuno itu, terdapat ruangan-ruangan cukup luas. Berbagai ukiran dan pahatan menghiasi dinding-dinding setiap ruangan serta tiang-tiang yang ada di dalamnya. Di antaranya adalah gambaran yang menunjukkan Ramses II memegang anak panah dan busurnya yang siap dihunus, berada di atas kereta sedang memimpin perang. Ramses II memang dikenal gagah berani dan sering turun langsung dalam peperangan.
Sementara kuil kedua yang ukurannya lebih kecil, dihiasi 6 buah patung masing-masing setinggi sekitar 27 meter. Dari kanan ke kiri, patung-patung berdiri itu adalah 4 patung Ramses II dan 2 patung istrinya Nefertari. Tak jauh berbeda dengan kuil utama, dinding-dinding kuil ini juga indah terpahat cerita dan legenda jaman Mesir kuno.
Salah satu kelebihan Abu Simbel Temple yang mencolok adalah bisa masuknya sinar matahari hingga ke ruangan terdalam di kuil utama, dimana 4 patung dewa berada. Setiap tahun, pada tanggal 22 Februari dan 22 Oktober sinar matahari dapat
menerobos masuk hingga ruangan terdalam itu. Uniknya, 22 Februari merupakan hari ulang tahun Ramses II sementara 22 Oktober adalah hari dimana penguasa Mesir di jaman Nabi Musa As. itu naik tahta.
Ada cerita lain di balik berdirinya kuil Abu Simbel ini. Sebenarnya sebelum berada pada tempatnya yang sekarang, dua kuil itu sempat terendam air saat pembuatan bendungan besar (Aswan High Dam) di dekat kota Aswan. Karena kuil ini merupakan peninggalan sejarah yang amat berharga, UNESCO turut serta memikirkan bagaimana melestarikannya. Akhirnya pada tahun 1964-1968, pemerintah Mesir dibantu UNESCO memindahkan Abu Simbel Temple, diangkat sekitar 60 meter dari tempat semula. Agar posisi dan letak nya persis sesuai dengan aslinya, dibuatlah bukit buatan sebagai penyangga di belakangnya.
Akhirnya meski berpindah tempat, kuil Abu Simbel ini tetap terlihat seperti sedia kala, hanya sudah nampak guratan-guratan pecahan patung dan bangunan secara umum. Karena untuk memindahkan pahatan batu sebesar itu, rasanya mustahil jika dilakukan dengan sekali angkut. Makanya terpaksa dipecah-pecah, lalu diangkat satu per satu dan ditata kembali seperti sedia kala sebagaimana aslinya saat dibuat lebih dari 3000 tahun silam.
Saking asyiknya menikmati keindahan kuil Abu Simbel dan panorama di sekelilingnya, hampir semua peserta rihlah dari Indonesia tak sadar bahwa jam hampir menunjukkan pukul 09.00, waktu yang ditentukan Ustad Majdi untuk meninggalkan Abu Simbel Temple. Lupa diri, saat berjalan menuju bus pun sempat-sempatnya berfoto ria dan berleha-leha menghirup udara sambil jalan santai.
Sampai di bus melebihi pukul 09.00, tak pelak membuat Miss Najla marah besar. Umpatan-umpatan dan perasaan dongkol pun ditumpahkan. Hingga mulai saat itu, beberapa anak Indonesia memplesetkan namanya menjadi Miss Galak. Karena dalam bahasa pasaran sering huruf "j" dibaca "g", maka Miss Najla dibaca Miss Nagla, amat dekat dengan hasil plesetan: Miss Galak.
Karena memang ternyata shift pengawalan polisi ada jadwalnya sendiri, terpaksa bus tak bisa bergerak hingga menunggu pukul 10.00. Untungnya hawa panas udara siang tertutupi hembusan angin dari AC bus yang berjalan cukup kencang. Dalam perjalanan pulang bus kembali dikemudikan dengan kencang. Sampai di kota Aswan sekitar pukul 13.00.
Sekembalinya di hotel, menurut Ustad Majdi sudah tak ada agenda wajib lagi, sehingga peserta rihlah bebas mau beristirahat, belanja atau jalan-jalan sendiri. Karena geng berenam sudah menaiki perahu layar sehari sebelumnya, maka dibolehkan tidak mengikuti agenda tambahan berupa naik perahu layar di Nil.[]
Kamis (1/2/2007) malam, saat makan malam di kafetaria hotel, Ustad Majdi mengumumkan bahwa perjalanan berikutnya adalah ke Abu Simbel. Karena letaknya yang jauh, 282 km selatan Aswan, seluruh anggota Nadi Wafidin diharapkan bangun pukul 03.00 dan setengah jam kemudian dapat berkumpul di depan hotel.
Benar saja, sekitar pukul 02.45 tiap kamar ditelpon oleh Ustad Majdi, diingatkan untuk segera bangun dan bersiap-siap melakukan perjalanan. Tak lupa juga disarankan untuk membawa pakaian yang tebal, karena hawa sangat dingin di dini hari menjelang pagi.
Sekitar pukul 03.30, sebagian besar peserta rihlah sudah berkumpul di lobi hotel. Saking dinginnya udara di malam itu, beberapa orang bahkan mengaku memakai pakaian hingga rangkap empat, belum termasuk jaket juga syal dan penutup kepala. Pemandangan jadi lucu, karena meski wajah mereka bersih setelah cuci muka, namun tak dapat menghindarkan diri dari menguap. Sebagian malah iseng memasukkan tangannya ke mulut temannya yang seperti tak sadar menguap besar-besar. Maklum, tidur hanya beberapa jam saja.
Jengkel menunggu bus yang tak datang-datang, Ustad Majdi meminta salah seorang berwajah Eropa untuk menengok ke jalan besar di depan, barangkali bus berhenti di sana. Untungnya, sebelum berjalan terlalu jauh dari hotel, sekitar pukul 03.50 bus yang dinanti tiba. Satu per satu peserta rihlah pun masuk ke dalam bus dengan agak bermalas-malasan karena menahan kantuk.
Saat dicek apakah sudah lengkap, ternyata masih ada seorang peserta yang belum terlihat. Dengan agak kesal, terpaksa Ustad Majdi masuk ke hotel lagi dan tak berapa lama kemudian sudah kembali dengan si lambat itu yang masih terlihat sibuk mengucek-ucek matanya. Karena dianggap terlalu lamban, Ustad Majdi pun sempat terlihat marah-marah. Sayangnya hal ini justru tidak ditanggapi dengan hati dingin. Pertengkaran kecil pun tak terelakkan.
Meski demikian, akhirnya semua masuk ke dalam bus dan sang pengemudi menstarter kendaraannya itu. Sebelum bus berjalan, untuk bekal perjalanan sebuah box berisi makanan jatah sarapan pagi dibagikan. Seperti biasa, isinya juga berkisar di antara roti, keju, telur rebus dan jus kemasan.
Layaknya perjalanan Luxor-Aswan yang dikawal polisi, perjalanan menuju Abu Simbel juga harus menunggu kendaraan lain di bawah kawalan polisi. Sepertinya ada jam-jam tertentu kapan shift pengawal dari pihak kepolisian berjalan bersama iring-iringan kendaraan yang akan menempuh perjalanan Aswan-Abu Simbel.
Saat menunggu kendaraan lainnya itulah, sopir bus tampak keluar, barangkali ingin buang hajat. Apesnya, saat tiba waktunya mobil-mobil lain berjalan bersama kawalan polisi, sampai habis tak ada yang terlihat, justru sopir bus belum muncul. Sedikit kepanikan sempat muncul, sebelum sang sopir terlihat agak terburu-buru datang dan langsung menjalankan kemudinya.
Tertinggal cukup jauh dari iring-iringan rombongan yang mestinya selalu bersama, bus pun dikemudikan dalam kecepatan tinggi. Apalagi setelah keluar kota Aswan dan jalanan tampak lurus jauh ke depan, sopir makin bersemangat mempercepat laju bus. Saat Aghi sempat menengok pada "meteran" yang ada di depan pengemudi, kecepatan bus bahkan rata-rata di atas 120 km per jam.
Karena masih merasa kantuk, sebagian besar peserta rihlah pun meneruskan mimpinya di bus. Beberapa orang malah tampak mendengkur, sementara Aghi, Meri, Ulya dan Yayah masih sempat-sempatnya bermain-main atau berbincang konyol. Hampir setengah perjalanan, baru semua penumpang sudah dapat menutup matanya.
Namanya juga tidur di bus, tak senyaman saat tidur di atas kasur dalam kamar hotel. Sebentar-sebentar juga terpaksa bangun, lalu kalau bisa mencoba terlelap lagi. Aghi yang terbangun, mencoba melihat "meteran" lagi, bus tetap berjalan cepat selalu di atas 100 km per jam. Yang sedikit bikin deg-degan adalah saat suatu ketika bus berjalan di lajur kiri (di Mesir kendaraan harus selalu di lajur kanan). Untung hal itu tak terlalu lama. Sekadar ingin memastikan, Aghi lalu melihat-lihat wajah sopir dari samping, tampak tidak kantuk. Hal ini pun diceritakan kepada Ulya yang duduk di sampingnya di barisan kanan kursi nomor dua dari depan.
Meski bus dikemudikan dalam kecepatan tinggi, bus-bus dan kendaraan travel lain yang awalnya satu iring-iringan belum tampak juga. Barangkali karena jalanan Aswan-Abu Simbel memang terbilang banyak lurusnya, jadi semua selalu berpacu dengan kecepatan tinggi.
Meski sudah dengan kecepatan tinggi seperti itu, sayangnya saat sunrise masih juga dalam perjalanan. Tahu Meri paling suka hunting foto-foto, Aghi dan Ulya pun membangunkannya. Dengan secepat kilat Meri sudah jepret-jepret dengan kamera pinjamannya. Terganggu temannya yang sedang berpolah mencari-cari posisi terbaik untuk menghasilkan gambar bagus, Yayah yang duduk di samping Meri juga terbangun.
Agak malas-malasan, Yayah jadi ikut menikmati terbitnya matahari di ufuk timur. Setelah itu disusul Alfi dan Adon yang tampak kurang enak badan selalu memegangi kepalanya. Alfi pun menyadari keadaan teman duduk di sampingnya itu dan sedari awal menyerahkan sebuah sarung agar badan Adon tak terlalu kedinginan.
Ustad Majdi membangunkan awal-awal peserta rihlah awalnya agar dapat menikmati sunrise di Abu Simbel. Tapi apa mau dikata, terlambat berangkat menjadikan rencana semula tak dapat dilaksanakan. Sesampai di Abu Simbel, jam malah sudah menunjukkan pukul 07.00. Mentari pun sudah mengeluarkan cahayanya yang cukup panas, bertentangan dengan hawa dingin yang dihembuskan angin dengan cukup kencang.
Setelah bus diparkir, sebagian besar anggota rombongan menyempatkan ke toilet dulu sebelum menuju Abu Simbel Temple. Saat berada di balik bukit yang di depannya terdapat kuil Abu Simbel, danau Naser yang mengelilingi kawasan itu tampak berkilauan memantulkan sinar sang surya.
Saat seorang guide menerangkan peristiwa di balik berdirinya Abu Simbel Temple, malah sekelompok burung terbang rendah di atas air danau. Pemandangan yang sedap dipandang dan dengan sigap Meri pun menjepretkan kameranya beberapa kali hingga burung-burung itu makin menjauh.
Menurut penuturan guide yang menerangkan dalam bahasa Arab campuran ammiyahnya, kuil besar ini didirikan dengan "memotong" aliran sungai Nil. Setelah tak ada air setitikpun di kubangan besar akibat dimatikannya arus air ke kawasan itu, perbukitan batu itu lalu dipahat dan diukur. Secara garis besar, kuil Abu Simbel terdiri dari dua bagian. Kuil pertama sebagai kuil utama dihiasi 4 patung besar setinggi hampir 40 meter. Empat patung itu adalah masing-masing dua patung Ramses II yang sedang duduk didampingi istrinya yang konon terkenal dengan kecantikannya, Nefertari.
Di dalam kuil, di balik 4 patung besar yang di bawahnya berdiri patung-patung lebih kecil simbol anak-anak salah seorang penguasa Mesir kuno itu, terdapat ruangan-ruangan cukup luas. Berbagai ukiran dan pahatan menghiasi dinding-dinding setiap ruangan serta tiang-tiang yang ada di dalamnya. Di antaranya adalah gambaran yang menunjukkan Ramses II memegang anak panah dan busurnya yang siap dihunus, berada di atas kereta sedang memimpin perang. Ramses II memang dikenal gagah berani dan sering turun langsung dalam peperangan.
Sementara kuil kedua yang ukurannya lebih kecil, dihiasi 6 buah patung masing-masing setinggi sekitar 27 meter. Dari kanan ke kiri, patung-patung berdiri itu adalah 4 patung Ramses II dan 2 patung istrinya Nefertari. Tak jauh berbeda dengan kuil utama, dinding-dinding kuil ini juga indah terpahat cerita dan legenda jaman Mesir kuno.
Salah satu kelebihan Abu Simbel Temple yang mencolok adalah bisa masuknya sinar matahari hingga ke ruangan terdalam di kuil utama, dimana 4 patung dewa berada. Setiap tahun, pada tanggal 22 Februari dan 22 Oktober sinar matahari dapat
menerobos masuk hingga ruangan terdalam itu. Uniknya, 22 Februari merupakan hari ulang tahun Ramses II sementara 22 Oktober adalah hari dimana penguasa Mesir di jaman Nabi Musa As. itu naik tahta.
Ada cerita lain di balik berdirinya kuil Abu Simbel ini. Sebenarnya sebelum berada pada tempatnya yang sekarang, dua kuil itu sempat terendam air saat pembuatan bendungan besar (Aswan High Dam) di dekat kota Aswan. Karena kuil ini merupakan peninggalan sejarah yang amat berharga, UNESCO turut serta memikirkan bagaimana melestarikannya. Akhirnya pada tahun 1964-1968, pemerintah Mesir dibantu UNESCO memindahkan Abu Simbel Temple, diangkat sekitar 60 meter dari tempat semula. Agar posisi dan letak nya persis sesuai dengan aslinya, dibuatlah bukit buatan sebagai penyangga di belakangnya.
Akhirnya meski berpindah tempat, kuil Abu Simbel ini tetap terlihat seperti sedia kala, hanya sudah nampak guratan-guratan pecahan patung dan bangunan secara umum. Karena untuk memindahkan pahatan batu sebesar itu, rasanya mustahil jika dilakukan dengan sekali angkut. Makanya terpaksa dipecah-pecah, lalu diangkat satu per satu dan ditata kembali seperti sedia kala sebagaimana aslinya saat dibuat lebih dari 3000 tahun silam.
Saking asyiknya menikmati keindahan kuil Abu Simbel dan panorama di sekelilingnya, hampir semua peserta rihlah dari Indonesia tak sadar bahwa jam hampir menunjukkan pukul 09.00, waktu yang ditentukan Ustad Majdi untuk meninggalkan Abu Simbel Temple. Lupa diri, saat berjalan menuju bus pun sempat-sempatnya berfoto ria dan berleha-leha menghirup udara sambil jalan santai.
Sampai di bus melebihi pukul 09.00, tak pelak membuat Miss Najla marah besar. Umpatan-umpatan dan perasaan dongkol pun ditumpahkan. Hingga mulai saat itu, beberapa anak Indonesia memplesetkan namanya menjadi Miss Galak. Karena dalam bahasa pasaran sering huruf "j" dibaca "g", maka Miss Najla dibaca Miss Nagla, amat dekat dengan hasil plesetan: Miss Galak.
Karena memang ternyata shift pengawalan polisi ada jadwalnya sendiri, terpaksa bus tak bisa bergerak hingga menunggu pukul 10.00. Untungnya hawa panas udara siang tertutupi hembusan angin dari AC bus yang berjalan cukup kencang. Dalam perjalanan pulang bus kembali dikemudikan dengan kencang. Sampai di kota Aswan sekitar pukul 13.00.
Sekembalinya di hotel, menurut Ustad Majdi sudah tak ada agenda wajib lagi, sehingga peserta rihlah bebas mau beristirahat, belanja atau jalan-jalan sendiri. Karena geng berenam sudah menaiki perahu layar sehari sebelumnya, maka dibolehkan tidak mengikuti agenda tambahan berupa naik perahu layar di Nil.[]
Saturday, February 10, 2007
Keliling Aswan dengan Perahu Layar dan Dokar
Memori Rihlah Luxor-Aswan (10)
Setelah lengkap semuanya masuk ke dalam bus di pelataran parkir Kum Ambo Temple, pariwisata dilanjutkan lagi menuju kota Aswan. Karena tak terlalu jauh, sekitar 30 menit kemudian kota Aswan sudah menyapa. Kesan pertama ketika memasuki kota Aswan adalah perbedaan yang cukup mencolok dibanding dengan kota Luxor. Aswan yang merupakan provinsi paling selatan di Mesir, terlihat lebih tertata rapi. Kebersihan juga tampak menonjol di kota yang berada di sekitar sungai Nil ini.
Sampai di hotel sekitar pukul 13.00, anggota rombongan tersenyum lega karena hotelnya lebih megah daripada saat di Luxor. Cleopatra Hotel, demikian nama hotel itu, sama-sama bertaraf bintang tiga --sesuai yang tertera di bagian resepsionis--, tapi lobinya jelas jauh lebih mentereng daripada Karnak Hotel, Luxor. Di situ juga tampak sebuah televisi berlayar jumbo. Lobi hotel berdekatan dengan restoran/kafetaria, sehingga mereka yang sedang makan juga dapat ikut menikmati siaran televisi.
Menunggu Ustad Majdi yang mengurus pembagian kamar hotel, rombongan Nadi Wafidin dipersilakan menuju kafetaria untuk makan siang. Saat menunggu makan siang itulah, datang rombongan Nadi Wafidin gelombang kedua. Rupanya, gelombang kedua yang didominasi wajah-wajah IKPM (alumni Pondok Gontor) sudah check-out pada pagi harinya, sementara barang mereka dititipkan di petugas hotel, gelombang kedua ini berkeliling kawasan-kawasan wisata di Aswan.
Saat kami ajak ikut makan siang, mereka mengatakan ada jatah sendiri dan itu tak lama lagi. Melihat kami menerima hidangan dari petugas kafetaria, mereka pun pamit diri untuk menonton televisi. Yang tampak sedikit mengganggu keceriaan di antara mereka, ternyata peserta rihlah dari orang Indonesianya hanya terdapat kaum adam saja. Tapi mereka tak kurang akal untuk menutupi kekurangan itu dengan mengaku mereka sudah banyak berkenalan dengan bidadari-bidadari dari mancanegara. Ada-ada saja.
Usai makan siang, distribusi kamar dipimpin Ustad Majdi. Karena kamar hotel amat beragam dari kelas biasa hingga suitroom, maka 1 kamar dihuni antara 2-6 orang. Pembagian kamar juga tak sama persis dengan pembagian saat berada di Luxor. Disebutkan paling akhir, Adon, Aghi dan Ulya rupanya mendapatkan bagian suitroom yang harus dihuni 6 orang, bersama 3 orang dari geng DN. Meski konon kamarnya besar, karena takut kelak bakal rebutan kamar mandi, protes pada Ustad Majdi pun dilakukan. Namun malah disarankan melihat kamarnya dahulu, baru kalau tidak cocok boleh protes lagi, begitu kata Ustad Majdi.
Tak apalah mengikuti saran ketua rombongan. Baru setelah melihat kamarnya, dipikir-pikir lagi rasanya tetap lebih baik kalau sekamar bertiga, karena kamar sebesar apapun toh kamar mandinya tetap satu. Tahu kamar Ustad Majdi berada tak jauh dari suitroom nomor 307 itu, protes kedua pun diungkapkan. Dengan bahasa yang halus, Ustad Majdi pun luluh dan langsung datang ke resepsionis.
Di resepsionis, dijawab sudah tak ada kamar kosong lagi. Kecuali kalau mau menunggu hingga menjelang magrib atau sekitar 2-3 jam lagi. Setelah Adon, Aghi dan Ulya berbincang-bincang sebentar, diambil kesepakatan tidak apa-apa harus menunggu asalkan maksimal sekamar 3 orang. Benar saja, malah tak sampai 2 jam menunggu, sudah ada kamar kosong di lantai 4. Justru kamar itu lebih dekat dengan anggota geng lainnya, Yayah (malah pintu kamarnya sejajar) juga Alfi dan Meri (agak jauh tapi masih satu lantai).
Kamar di Cleopatra Hotel memang terlihat cukup luas dan berkelas. Hanya saja kamar mandinya lebih sempit dibanding Karnak Hotel, begitu juga dengan bathtubnya. Kran air pun tidak sebaik yang ada di Luxor, tapi sama-sama lancar menyemprotkan air panas. Sementara pemandangan dari balkon, tidak lebih baik daripada Karnak Hotel, karena di sisi-sisi hotel adalah kawasan huni dan pertokoan.
Hari pertama di Aswan, Ustad Majdi menginstruksikan untuk istirahat saja alias tak ada program khusus dari Nadi Wafidin, kecuali malam harinya pukul 20.00, ada pertunjukan kebudayaan rakyat Mesir. Beberapa peserta rihlah pun tak nampak keluar lagi setelah masuk ke dalam kamarnya masing-masing, tidur barangkali. Sedangkan geng Adon, Aghi, Ulya, Meri, Alfi dan Yayah sepakat untuk jalan-jalan saja. Jauh-jauh rihlah Luxor-Aswan, tentu saja sayang kalau hanya pindah tidur.
Sepakat akan keluar jam 15.00, Alfi dan Meri molor karena malah sempat tertidur tak kuat menahan kantuk dan lelah. Baru sekitar pukul 16.30, semua sudah siap memulai petualangan "swasta". Tepian sungai Nil yang tak jauh dari Cleopatra Hotel jadi sasaran utama. Sempat terjadi salah paham sedikit di antara anggota geng, tapi setelah dimusyawarahkan kembali, semua sepakat untuk menyambut sunset dengan menaiki perahu layar.
Meski cukup alot saat bernegosiasi dengan beberapa pemilik perahu yang memberikan tawaran, akhirnya disepakati perahu layar disewa sebesar LE 30,00 untuk pelayaran selama 1 jam. Perahu yang ukurannya terlihat makin besar karena hanya dinaiki 6 orang plus 2 kru, memang tidak memakai mesin sama sekali. Kebetulan saat itu tidak banyak angin berhembus, sehingga perahu berjalan lambat dan tak begitu jauh.
Walau demikian, para penumpang tak merasa rugi, malah asyik menjepretkan fotonya ke berbagai sudut yang dapat ditangkap dari atas perahu. Apalagi saat menjelang tiba waktunya sunset, kilatan blitz maupun suara "klik" makin sering terdengar, diselingi suara-suara yang menunjukkan betapa bersemangatnya berebut mencari sasaran terbaik.
Setelah satu jam berpuas-puas di atas perahu layar, geng 6 orang ini mencari sasaran selanjutnya. Sempat jalan-jalan sebentar di trotoar yang menjadi pembatas antara jalan raya dan tepian sungai Nil, semua sepakat untuk kemudian naik dokar keliling kota. Kembali dengan bermodalkan LE 30,00 sebuah dokar disewa untuk mengantarkan anggota geng berkeliling kota. Lampu indah warna-warni di sepanjang tepian Nil --apalagi lampu-lampu yang tampak kerlap-kerlip di seberang sungai sana-- menghiasi kota Aswan. Demikian juga keramaian pasar yang sempat dilewati dokar, juga sebuah masjid yang berada di puncak bukit, disorot lampu yang barangkali berkekuatan ribuan watt.
Karena dokar berjalan santai, kesempatan untuk foto-foto pun terbuka lebar. Sayangnya, karena malam hari, hasil jepretan kamera tak begitu jelas. Hasil foto pun tak terlalu menggembirakan. Tapi menikmati malam kota Aswan dengan berkeliling dan tak begitu menguras tenaga sungguh menjadi sensasi tersendiri.
Sekitar pukul 19.30, dokar yang disewa diminta mengantarkan ke Cleopatra Hotel. Sesampainya di hotel, melihat orang lain sudah tampak segar setelah istirahat tadi. Mereka pun tampak berbenah untuk segera ke lantai 5 di gedung samping dimana terdapat kolam renang dan halaman cukup luas.
Saat yang lain kembali ke kamar untuk shalat, Aghi memutuskan untuk survei dulu ke lantai 5 tempat bakal diadakannya pertunjukan seperti yang disebutkan Ustad Majdi. Sayangnya, saat kembali turun menuju lantai dasar, lift yang ditumpangi macet di tengah jalan. Apesnya lagi, telpon di lift tak berfungsi sementara ponsel Aghi tak ada pulsanya. Beruntung seorang teman yang sama-sama terjebak dalam lift mau meminjamkan ponselnya untuk menelpon Ulya. Ulya lalu bergegas ke petugas hotel. Setelah sedikit diutak-atik, lift kembali berjalan. Akhirnya tidak lebih dari 10 menit Aghi terjebak dalam lift macet.
Karena rada kelelahan setelah berputar-putar dengan perahu layar dan dokar, terpaksa terlambat datang di acara pertunjukan. Hiburan yang dimulai tepat pukul 20.00 itu diisi oleh sebuah kelompok teater tradisional Mesir. Mulai dari tarian khas Mesir dengan berbagai gayanya yang ditampilkan secara bergantian, hingga beberapa atraksi yang kiranya memang hanya dapat dilihat di Mesir.
Dalam beberapa adegan, para entertainer itu juga mengajak peserta rihlah untuk ikut maju ke panggung. Sekitar satu jam saja hiburan itu, peserta lalu bubar menuju kafetaria untuk santap makan malam. Setelah itu, beberapa orang tampak keluar ingin belanja oleh-oleh khas Aswan, seperti cabe Aswan dan kacang Sudan. Sementara bagi yang kelelahan langsung menuju kamar masing-masing untuk beristirahat.[]
Setelah lengkap semuanya masuk ke dalam bus di pelataran parkir Kum Ambo Temple, pariwisata dilanjutkan lagi menuju kota Aswan. Karena tak terlalu jauh, sekitar 30 menit kemudian kota Aswan sudah menyapa. Kesan pertama ketika memasuki kota Aswan adalah perbedaan yang cukup mencolok dibanding dengan kota Luxor. Aswan yang merupakan provinsi paling selatan di Mesir, terlihat lebih tertata rapi. Kebersihan juga tampak menonjol di kota yang berada di sekitar sungai Nil ini.
Sampai di hotel sekitar pukul 13.00, anggota rombongan tersenyum lega karena hotelnya lebih megah daripada saat di Luxor. Cleopatra Hotel, demikian nama hotel itu, sama-sama bertaraf bintang tiga --sesuai yang tertera di bagian resepsionis--, tapi lobinya jelas jauh lebih mentereng daripada Karnak Hotel, Luxor. Di situ juga tampak sebuah televisi berlayar jumbo. Lobi hotel berdekatan dengan restoran/kafetaria, sehingga mereka yang sedang makan juga dapat ikut menikmati siaran televisi.
Menunggu Ustad Majdi yang mengurus pembagian kamar hotel, rombongan Nadi Wafidin dipersilakan menuju kafetaria untuk makan siang. Saat menunggu makan siang itulah, datang rombongan Nadi Wafidin gelombang kedua. Rupanya, gelombang kedua yang didominasi wajah-wajah IKPM (alumni Pondok Gontor) sudah check-out pada pagi harinya, sementara barang mereka dititipkan di petugas hotel, gelombang kedua ini berkeliling kawasan-kawasan wisata di Aswan.
Saat kami ajak ikut makan siang, mereka mengatakan ada jatah sendiri dan itu tak lama lagi. Melihat kami menerima hidangan dari petugas kafetaria, mereka pun pamit diri untuk menonton televisi. Yang tampak sedikit mengganggu keceriaan di antara mereka, ternyata peserta rihlah dari orang Indonesianya hanya terdapat kaum adam saja. Tapi mereka tak kurang akal untuk menutupi kekurangan itu dengan mengaku mereka sudah banyak berkenalan dengan bidadari-bidadari dari mancanegara. Ada-ada saja.
Usai makan siang, distribusi kamar dipimpin Ustad Majdi. Karena kamar hotel amat beragam dari kelas biasa hingga suitroom, maka 1 kamar dihuni antara 2-6 orang. Pembagian kamar juga tak sama persis dengan pembagian saat berada di Luxor. Disebutkan paling akhir, Adon, Aghi dan Ulya rupanya mendapatkan bagian suitroom yang harus dihuni 6 orang, bersama 3 orang dari geng DN. Meski konon kamarnya besar, karena takut kelak bakal rebutan kamar mandi, protes pada Ustad Majdi pun dilakukan. Namun malah disarankan melihat kamarnya dahulu, baru kalau tidak cocok boleh protes lagi, begitu kata Ustad Majdi.
Tak apalah mengikuti saran ketua rombongan. Baru setelah melihat kamarnya, dipikir-pikir lagi rasanya tetap lebih baik kalau sekamar bertiga, karena kamar sebesar apapun toh kamar mandinya tetap satu. Tahu kamar Ustad Majdi berada tak jauh dari suitroom nomor 307 itu, protes kedua pun diungkapkan. Dengan bahasa yang halus, Ustad Majdi pun luluh dan langsung datang ke resepsionis.
Di resepsionis, dijawab sudah tak ada kamar kosong lagi. Kecuali kalau mau menunggu hingga menjelang magrib atau sekitar 2-3 jam lagi. Setelah Adon, Aghi dan Ulya berbincang-bincang sebentar, diambil kesepakatan tidak apa-apa harus menunggu asalkan maksimal sekamar 3 orang. Benar saja, malah tak sampai 2 jam menunggu, sudah ada kamar kosong di lantai 4. Justru kamar itu lebih dekat dengan anggota geng lainnya, Yayah (malah pintu kamarnya sejajar) juga Alfi dan Meri (agak jauh tapi masih satu lantai).
Kamar di Cleopatra Hotel memang terlihat cukup luas dan berkelas. Hanya saja kamar mandinya lebih sempit dibanding Karnak Hotel, begitu juga dengan bathtubnya. Kran air pun tidak sebaik yang ada di Luxor, tapi sama-sama lancar menyemprotkan air panas. Sementara pemandangan dari balkon, tidak lebih baik daripada Karnak Hotel, karena di sisi-sisi hotel adalah kawasan huni dan pertokoan.
Hari pertama di Aswan, Ustad Majdi menginstruksikan untuk istirahat saja alias tak ada program khusus dari Nadi Wafidin, kecuali malam harinya pukul 20.00, ada pertunjukan kebudayaan rakyat Mesir. Beberapa peserta rihlah pun tak nampak keluar lagi setelah masuk ke dalam kamarnya masing-masing, tidur barangkali. Sedangkan geng Adon, Aghi, Ulya, Meri, Alfi dan Yayah sepakat untuk jalan-jalan saja. Jauh-jauh rihlah Luxor-Aswan, tentu saja sayang kalau hanya pindah tidur.
Sepakat akan keluar jam 15.00, Alfi dan Meri molor karena malah sempat tertidur tak kuat menahan kantuk dan lelah. Baru sekitar pukul 16.30, semua sudah siap memulai petualangan "swasta". Tepian sungai Nil yang tak jauh dari Cleopatra Hotel jadi sasaran utama. Sempat terjadi salah paham sedikit di antara anggota geng, tapi setelah dimusyawarahkan kembali, semua sepakat untuk menyambut sunset dengan menaiki perahu layar.
Meski cukup alot saat bernegosiasi dengan beberapa pemilik perahu yang memberikan tawaran, akhirnya disepakati perahu layar disewa sebesar LE 30,00 untuk pelayaran selama 1 jam. Perahu yang ukurannya terlihat makin besar karena hanya dinaiki 6 orang plus 2 kru, memang tidak memakai mesin sama sekali. Kebetulan saat itu tidak banyak angin berhembus, sehingga perahu berjalan lambat dan tak begitu jauh.
Walau demikian, para penumpang tak merasa rugi, malah asyik menjepretkan fotonya ke berbagai sudut yang dapat ditangkap dari atas perahu. Apalagi saat menjelang tiba waktunya sunset, kilatan blitz maupun suara "klik" makin sering terdengar, diselingi suara-suara yang menunjukkan betapa bersemangatnya berebut mencari sasaran terbaik.
Setelah satu jam berpuas-puas di atas perahu layar, geng 6 orang ini mencari sasaran selanjutnya. Sempat jalan-jalan sebentar di trotoar yang menjadi pembatas antara jalan raya dan tepian sungai Nil, semua sepakat untuk kemudian naik dokar keliling kota. Kembali dengan bermodalkan LE 30,00 sebuah dokar disewa untuk mengantarkan anggota geng berkeliling kota. Lampu indah warna-warni di sepanjang tepian Nil --apalagi lampu-lampu yang tampak kerlap-kerlip di seberang sungai sana-- menghiasi kota Aswan. Demikian juga keramaian pasar yang sempat dilewati dokar, juga sebuah masjid yang berada di puncak bukit, disorot lampu yang barangkali berkekuatan ribuan watt.
Karena dokar berjalan santai, kesempatan untuk foto-foto pun terbuka lebar. Sayangnya, karena malam hari, hasil jepretan kamera tak begitu jelas. Hasil foto pun tak terlalu menggembirakan. Tapi menikmati malam kota Aswan dengan berkeliling dan tak begitu menguras tenaga sungguh menjadi sensasi tersendiri.
Sekitar pukul 19.30, dokar yang disewa diminta mengantarkan ke Cleopatra Hotel. Sesampainya di hotel, melihat orang lain sudah tampak segar setelah istirahat tadi. Mereka pun tampak berbenah untuk segera ke lantai 5 di gedung samping dimana terdapat kolam renang dan halaman cukup luas.
Saat yang lain kembali ke kamar untuk shalat, Aghi memutuskan untuk survei dulu ke lantai 5 tempat bakal diadakannya pertunjukan seperti yang disebutkan Ustad Majdi. Sayangnya, saat kembali turun menuju lantai dasar, lift yang ditumpangi macet di tengah jalan. Apesnya lagi, telpon di lift tak berfungsi sementara ponsel Aghi tak ada pulsanya. Beruntung seorang teman yang sama-sama terjebak dalam lift mau meminjamkan ponselnya untuk menelpon Ulya. Ulya lalu bergegas ke petugas hotel. Setelah sedikit diutak-atik, lift kembali berjalan. Akhirnya tidak lebih dari 10 menit Aghi terjebak dalam lift macet.
Karena rada kelelahan setelah berputar-putar dengan perahu layar dan dokar, terpaksa terlambat datang di acara pertunjukan. Hiburan yang dimulai tepat pukul 20.00 itu diisi oleh sebuah kelompok teater tradisional Mesir. Mulai dari tarian khas Mesir dengan berbagai gayanya yang ditampilkan secara bergantian, hingga beberapa atraksi yang kiranya memang hanya dapat dilihat di Mesir.
Dalam beberapa adegan, para entertainer itu juga mengajak peserta rihlah untuk ikut maju ke panggung. Sekitar satu jam saja hiburan itu, peserta lalu bubar menuju kafetaria untuk santap makan malam. Setelah itu, beberapa orang tampak keluar ingin belanja oleh-oleh khas Aswan, seperti cabe Aswan dan kacang Sudan. Sementara bagi yang kelelahan langsung menuju kamar masing-masing untuk beristirahat.[]
Indahnya Kuil di Tepi Sungai Nil
Memori Rihlah Luxor-Aswan (9)
Sebagaimana yang dijanjikan Ustad Majdi, perjalanan Luxor-Aswan juga dimanfaatkan untuk menghampiri tujuan wisata yang ada. Objek terdekat dari perjalanan Luxor-Aswan adalah Edfu Temple. Kuil yang terletak sekitar 105 km sebelum Aswan ini, konon didirikan untuk menyembah Dewa Horus. Seperti kebanyakan kuil-kuil yang dibangun bangsa Mesir kuno, bagian depan bangunan utamanya adalah pintu gerbang menjulang tinggi, diapit benteng yang lebih tinggi lagi di kanan-kirinya.
Baru sebelum masuk bagian dalam bangunan utama, patung Dewa Horus yang digambarkan dengan burung elang tampak berdiri kokoh. Karena masih tampak kuat, rapi dan terawat, patung setinggi sekitar 3,5 meter inipun jadi salah satu sasaran empuk bagi mereka yang ingin berpose ria.
Bagian dalam Edfu Temple cukup gelap. Ini karena bagian atas kuil tersebut tertutup rapat, berbeda dengan Karnak Temple dan Luxor Temple yang tak memiliki atap. Di dinding-dinding kuil ini, banyak terukir cerita tentang Dewa Horus dan beberapa dewa lainnya. Yang paling mencolok adalah gambaran tentang iid al-liqaa' al-jamiil (perayaan bertautnya dua cinta), dimana menunjukkan bertemunya Dewa Horus dan istrinya yang bernama Hathur. Gambaran lain, seperti yang terukir di atap Edfu Temple adalah betapa cantiknya salah satu sesembahan orang Mesir kuno, Dewi Nut.
Di luar kawasan Edfu Temple ini, terdapat pertokoan. Sebagaimana kawasan perbelanjaan yang berada di daerah wisata, harga yang tercantum pun amat tinggi. Tapi karena Adon, Yayah dan Alfi kelihatan kebelet ingin membeli oleh-oleh, mereka pun nekad berkeliling pasar yang tertata cukup rapi itu. Setelah berbasa-basi dan sedikit memaksakan diri berbicara bahasa Arab amiyah (bahasa pasaran Mesir), harga pun bisa dinego dan turun cukup drastis sehingga tak terlalu memberatkan kantong.
Usai puas mengelilingi kawasan Edfu Temple, rombongan beranjak menuju Kum Ambo Temple. Kuil yang berdiri kokoh di Km 45 perjalanan Aswan-Edfu ini terlihat anggun berada di dataran tinggi di tepian sungai Nil. Dari depan Kum Ambo Temple, sungai Nil terbentang luas mengalir dari selatan ke utara. Beberapa kali juga terlihat kapal layar maupun kapal mesin mentereng mirip kapal pesiar berjalan di sungai Nil itu.
Bahkan kini, dibuat taman bunga nan indah di depan kuil. Sehingga kalau berdiri di depan kuil, pemandangan indah terbentang luas di depan mata. Mulai dari taman bunga, tumbuh-tumbhuhan hijau yang tumbuh liar di tepi sungai, lalu Nil yang dialiri air biru nan jernih dan jauh di depannya lagi nampak pepohonan hijau yang tumbuh subur berkat aliran sungai Nil.
Saking asyiknya berjalan-jalan dan berfoto ria di sekitar Kum Ambo Temple ini, hampir saja lupa waktu. Beruntung masih ada Ustad Majdi yang berada tak jauh dari rombongan mengingatkan waktu dan mengajak kami semua berlari. Rupanya di dalam bus, Miss Najla sudah memasang tampang agak seram. Amarah pun langsung ditumpahkan pada kami yang datang terlambat.[]
Sebagaimana yang dijanjikan Ustad Majdi, perjalanan Luxor-Aswan juga dimanfaatkan untuk menghampiri tujuan wisata yang ada. Objek terdekat dari perjalanan Luxor-Aswan adalah Edfu Temple. Kuil yang terletak sekitar 105 km sebelum Aswan ini, konon didirikan untuk menyembah Dewa Horus. Seperti kebanyakan kuil-kuil yang dibangun bangsa Mesir kuno, bagian depan bangunan utamanya adalah pintu gerbang menjulang tinggi, diapit benteng yang lebih tinggi lagi di kanan-kirinya.
Baru sebelum masuk bagian dalam bangunan utama, patung Dewa Horus yang digambarkan dengan burung elang tampak berdiri kokoh. Karena masih tampak kuat, rapi dan terawat, patung setinggi sekitar 3,5 meter inipun jadi salah satu sasaran empuk bagi mereka yang ingin berpose ria.
Bagian dalam Edfu Temple cukup gelap. Ini karena bagian atas kuil tersebut tertutup rapat, berbeda dengan Karnak Temple dan Luxor Temple yang tak memiliki atap. Di dinding-dinding kuil ini, banyak terukir cerita tentang Dewa Horus dan beberapa dewa lainnya. Yang paling mencolok adalah gambaran tentang iid al-liqaa' al-jamiil (perayaan bertautnya dua cinta), dimana menunjukkan bertemunya Dewa Horus dan istrinya yang bernama Hathur. Gambaran lain, seperti yang terukir di atap Edfu Temple adalah betapa cantiknya salah satu sesembahan orang Mesir kuno, Dewi Nut.
Di luar kawasan Edfu Temple ini, terdapat pertokoan. Sebagaimana kawasan perbelanjaan yang berada di daerah wisata, harga yang tercantum pun amat tinggi. Tapi karena Adon, Yayah dan Alfi kelihatan kebelet ingin membeli oleh-oleh, mereka pun nekad berkeliling pasar yang tertata cukup rapi itu. Setelah berbasa-basi dan sedikit memaksakan diri berbicara bahasa Arab amiyah (bahasa pasaran Mesir), harga pun bisa dinego dan turun cukup drastis sehingga tak terlalu memberatkan kantong.
Usai puas mengelilingi kawasan Edfu Temple, rombongan beranjak menuju Kum Ambo Temple. Kuil yang berdiri kokoh di Km 45 perjalanan Aswan-Edfu ini terlihat anggun berada di dataran tinggi di tepian sungai Nil. Dari depan Kum Ambo Temple, sungai Nil terbentang luas mengalir dari selatan ke utara. Beberapa kali juga terlihat kapal layar maupun kapal mesin mentereng mirip kapal pesiar berjalan di sungai Nil itu.
Bahkan kini, dibuat taman bunga nan indah di depan kuil. Sehingga kalau berdiri di depan kuil, pemandangan indah terbentang luas di depan mata. Mulai dari taman bunga, tumbuh-tumbhuhan hijau yang tumbuh liar di tepi sungai, lalu Nil yang dialiri air biru nan jernih dan jauh di depannya lagi nampak pepohonan hijau yang tumbuh subur berkat aliran sungai Nil.
Saking asyiknya berjalan-jalan dan berfoto ria di sekitar Kum Ambo Temple ini, hampir saja lupa waktu. Beruntung masih ada Ustad Majdi yang berada tak jauh dari rombongan mengingatkan waktu dan mengajak kami semua berlari. Rupanya di dalam bus, Miss Najla sudah memasang tampang agak seram. Amarah pun langsung ditumpahkan pada kami yang datang terlambat.[]
Perjalanan Jauh Dikawal Polisi
Memori Rihlah Luxor-Aswan (8)
Setelah selama dua hari mengelilingi berbagai tujuan wisata di Luxor, hari berikutnya peserta rihlah langsung diajak menuju Aswan. Sejak pagi-pagi pukul 05.00, operator telepon hotel menghubungi satu per satu kamar, mengingatkan kami untuk segera berbenah.
Hawa pagi itu cukup dingin, namun bisa dihilangkan dengan air panas yang mengalir lancar di kamar mandi hotel. Jadi tak ada alasan untuk bermalas-malasan bangun tidur langsung cuci muka, shalat lalu mandi. Adon, Aghi dan Ulya pun bergantian ke kamar mandi membersihkan diri. Sementara kamar mandi digunakan, yang lainnya sibuk mengemasi barang-barang karena pagi itu juga bakal check-out dan langsung menuju Aswan.
Sekitar pukul 06.00, sebagian besar anggota Nadi Wafidin sudah berada di lobi hotel dan segera menyerahkan kunci kamar pada Utad Majdi. Meski belum lengkap, satu per satu diminta langsung masuk ke dalam bus yang sudah menunggu di luar. Sementara menunggu beberapa orang yang masih belum muncul juga, Madam Ikhlas membagikan jatah sarapan pagi. Menu yang dihidangkan tetap sama seperti hari-hari sebelumnya. Tapi kali ini dimasukkan ke dalam box, karena memang tak sempat jika harus makan di restoran hotel. Takut makin molor.
Beberapa saat kemudian, setelah lengkap semua, bus mulai bergerak meninggalkan Hotel Karnak. Karena akan melakukan perjalanan jauh, bus yang disediakan pun tidak sama dengan saat city tour selama 2 hari sebelumnya. Bus yang ada kali ini penampilannya jauh lebih mentereng.
Sebelum keluar dari kota Luxor, bus mampir dulu ke kantor polisi. Di situ sudah ada beberapa bus dan angkutan travel lainnya yang sudah menunggu. Rupanya demi keamanan, pihak keamanan Mesir mewajibkan setiap kendaraan wisatawan mancanegara resmi untuk berjalan beriringan, agar mudah dikawal juga dalam rangka efisiensi petugas keamanan.
Dalam iring-iringan kendaraan yang berjalan bersama rombongan Nadi Wafidin, terdapat sekitar 6 bus besar dan 3 minibus. Berada paling depan adalah sebuah sedan putih berplat nomor kendaraan pribadi, tapi yang berada di dalamnya adalah 4 orang polisi lengkap dengan senjata api, pistol dan senapan.
Di tengah perjalanan, tepat di perbatasan masuk kota Aswan, iring-iringan mobil wisata ini sempat berhenti sejenak di rest area. Bagi mereka yang ingin menghangatkan badan dengan minum syai matsbut (teh kental khas Mesir), dipersilakan menuju kafetaria. Sementara bagi yang ingin buang hajat juga terdapat toilet. Adapun kebanyakan peserta rihlah Nadi Wafidin lebih memilih keluar bus saja, tapi tak beranjak jauh dari sekitar bus berhenti. Beberapa orang malah sempat terlihat asyik berpose foto. Kebetulan, tak jauh dari situ, di kanan jalan terlihat pemandangan cukup indah, aliran sungai Nil menyusuri sawah hijau dikelilingi pohon-pohon cukup besar.
Sementara di kiri jalan, terdapat rel kereta api. Saat beberapa orang nampak ingin berfoto-foto di atas rel, seorang polisi langsung melarangnya. Meski demikian, karena larangan itu tak terlalu tegas, malah kemudian datang lagi orang-orang China tak menghiraukan larangan polisi itu.
Beberapa menit saja di situ, perjalanan kembali dilanjutkan. Sebelum sampai Aswan, menurut Ustad Majdi, peserta rihlah akan diajak mengunjungi dua buah kuil di tengah perjalanan antara Luxor-Aswan ini. Dua objek wisata itu adalah Edfu Temple dan Kum Ambo Temple.[]
Setelah selama dua hari mengelilingi berbagai tujuan wisata di Luxor, hari berikutnya peserta rihlah langsung diajak menuju Aswan. Sejak pagi-pagi pukul 05.00, operator telepon hotel menghubungi satu per satu kamar, mengingatkan kami untuk segera berbenah.
Hawa pagi itu cukup dingin, namun bisa dihilangkan dengan air panas yang mengalir lancar di kamar mandi hotel. Jadi tak ada alasan untuk bermalas-malasan bangun tidur langsung cuci muka, shalat lalu mandi. Adon, Aghi dan Ulya pun bergantian ke kamar mandi membersihkan diri. Sementara kamar mandi digunakan, yang lainnya sibuk mengemasi barang-barang karena pagi itu juga bakal check-out dan langsung menuju Aswan.
Sekitar pukul 06.00, sebagian besar anggota Nadi Wafidin sudah berada di lobi hotel dan segera menyerahkan kunci kamar pada Utad Majdi. Meski belum lengkap, satu per satu diminta langsung masuk ke dalam bus yang sudah menunggu di luar. Sementara menunggu beberapa orang yang masih belum muncul juga, Madam Ikhlas membagikan jatah sarapan pagi. Menu yang dihidangkan tetap sama seperti hari-hari sebelumnya. Tapi kali ini dimasukkan ke dalam box, karena memang tak sempat jika harus makan di restoran hotel. Takut makin molor.
Beberapa saat kemudian, setelah lengkap semua, bus mulai bergerak meninggalkan Hotel Karnak. Karena akan melakukan perjalanan jauh, bus yang disediakan pun tidak sama dengan saat city tour selama 2 hari sebelumnya. Bus yang ada kali ini penampilannya jauh lebih mentereng.
Sebelum keluar dari kota Luxor, bus mampir dulu ke kantor polisi. Di situ sudah ada beberapa bus dan angkutan travel lainnya yang sudah menunggu. Rupanya demi keamanan, pihak keamanan Mesir mewajibkan setiap kendaraan wisatawan mancanegara resmi untuk berjalan beriringan, agar mudah dikawal juga dalam rangka efisiensi petugas keamanan.
Dalam iring-iringan kendaraan yang berjalan bersama rombongan Nadi Wafidin, terdapat sekitar 6 bus besar dan 3 minibus. Berada paling depan adalah sebuah sedan putih berplat nomor kendaraan pribadi, tapi yang berada di dalamnya adalah 4 orang polisi lengkap dengan senjata api, pistol dan senapan.
Di tengah perjalanan, tepat di perbatasan masuk kota Aswan, iring-iringan mobil wisata ini sempat berhenti sejenak di rest area. Bagi mereka yang ingin menghangatkan badan dengan minum syai matsbut (teh kental khas Mesir), dipersilakan menuju kafetaria. Sementara bagi yang ingin buang hajat juga terdapat toilet. Adapun kebanyakan peserta rihlah Nadi Wafidin lebih memilih keluar bus saja, tapi tak beranjak jauh dari sekitar bus berhenti. Beberapa orang malah sempat terlihat asyik berpose foto. Kebetulan, tak jauh dari situ, di kanan jalan terlihat pemandangan cukup indah, aliran sungai Nil menyusuri sawah hijau dikelilingi pohon-pohon cukup besar.
Sementara di kiri jalan, terdapat rel kereta api. Saat beberapa orang nampak ingin berfoto-foto di atas rel, seorang polisi langsung melarangnya. Meski demikian, karena larangan itu tak terlalu tegas, malah kemudian datang lagi orang-orang China tak menghiraukan larangan polisi itu.
Beberapa menit saja di situ, perjalanan kembali dilanjutkan. Sebelum sampai Aswan, menurut Ustad Majdi, peserta rihlah akan diajak mengunjungi dua buah kuil di tengah perjalanan antara Luxor-Aswan ini. Dua objek wisata itu adalah Edfu Temple dan Kum Ambo Temple.[]
Friday, February 09, 2007
Dahsyatnya Peninggalan Firaun
Memori Rihlah Luxor-Aswan (7)
Setelah mampir sebentar di pusat produksi Alabaster, rombongan menuju objek wisata selanjutnya. Tempat keempat yang dikunjungi pada hari kedua di Luxor ini adalah Wadi al-Muluk atau Kings Valley. Dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai lembah raja-raja.
Dikatakan demikian karena memang lembah ini diperuntukkan sebagai makam raja-raja dan pembesar di masa Mesir kuno. Uniknya, makam dibuat di dalam pegunungan batu cadas yang ada di lembah ini. Dengan menggali pegunungan ini, jadilah terowongan atau gua yang ujungnya disediakan tempat sebagai makam raja atau bangsawan.
Ada puluhan gua yang digali di lembah ini. Jarak antara satu gua atau makam dengan yang lainnya tidak terlalu jauh. Tapi jika ingin mengelilingi dan memasuki setiap makam ini, tentu butuh waktu yang tak sedikit. Belum lagi jalanan yang menanjak dan naik turun layaknya pegunungan.
Di sepanjang lorong setiap gua, terukir dan terpahat jalan hidup yang dilalui penghuni makam. Hebatnya, ukiran yang juga ada di langit-langit lorong gua-gua itu, dilengkapi warna-warni sesuai gambaran aslinya. Misalnya kuda berwarna coklat, pakaian berwarna merah dan lain sebagainya. Entah bangsa Mesir kuno menggunakan bahan pewarna seperti apa, hingga warna itu tak luntur meski sudah berumur ribuan tahun.
Oleh karenanya, demi menjaga keawetan warna dan kekuatan dinding-dinding gua, wisatawan dilarang menggunakan kamera di dalam gua. Sedangkan handycam malah sudah dilarang sejak sebelum memasuki kawasan Wadi al-Muluk. Di pintu masuk, disediakan tempat penitipan handycam. Meski demikian, masih ada juga beberapa orang tampak mencuri-curi foto. Bahkan ada yang berani menggunakan flash.
Setelah cukup puas mendalami kawasan Wadi al-Muluk, peserta rihlah Nadi Wafidin kembali ke bus. Karena sudah siang, rombongan menuju hotel sekadar istirahat sejenak dan makan siang. Apalagi, program berikutnya memang lebih dekat ke hotel, sehingga pas timingnya untuk makan siang di hotel.
Sekitar pukul 14.30, bus sampai di depan hotel. Semua pun berlarian langsung menuju restoran. Maklum, sarapan tidak terlalu banyak mengganjal perut sedangkan makan siang bisa dikatakan rada terlambat. Setelah makan siang, masing-masing kembali ke kamar untuk cuci muka atau mandi sekaligus shalat.
Di saat itulah, kejadian menjengkelkan terjadi. Ulya yang sedang mengutak-atik kameranya, melihat-lihat hasil jepretannya selama setengah hari, secara tak sengaja memencet tombol format. Otomatis dengan demikian semua file yang ada dalam kamera digitalnya ludes tak tersisa satupun. Sebenarnya sudah ada peringatan pilihan untuk OK atau CANCEL. Tapi namanya kecelakaan, tombol OK pun terpencet.
Ulya tentu saja shock berat. Apalagi, menurutnya cukup banyak hasil bidikannya dalam kamera digital itu yang mendekati sempurna. Gaya-gayanya saat difoto dengan kamera sendirnya itupun sudah terasa mantap selama di Madinat Habou. Terutama foto di bawah pohon kurma, yang sudah diidam-idamkannya sejak lama. Tapi mau bagaimana lagi, namanya kecelakaan, ya harus ditanggapi dengan sabar dan tabah.
Agak sore sedikit, beberapa puluh menit setelah ashar, semua harus sudah berkumpul dalam bus. Program berikutnya adalah melihat parade Sound and Light di Karnak Temple. Karena sudah jelas timingnya, maka saat ada beberapa peserta terlihat terlambat cukup lama terpaksa harus dimarahi Ustad Majdi dan terutama Miss Najla. Mereka yang terlambat rupanya ketiduran. Untung ada teman lainnya yang membangunkan meski sudah agak terlambat.
Meski hari sebelumnya sudah mengunjungi Karnak Temple, tapi di hari kedua ini suasananya lain. Di saat menjelang tenggelamnya matahari di ufuk barat, parade sound and light dimulai. Dengan menggunakan pengeras suara yang tersebar di beberapa sudut kuil, suara dialog antara raja dengan para punggawa kerajaan terdengar lantang, menggambarkan apa yang kiranya pernah terjadi di masa lampau.
Sound and light ini terbagi menjadi beberapa segmen. Pertama sejak sebelum masuk gerbang besar Karnak Temple yang tepat di depannya terdapat banyak
patung singa sedang duduk berjajar rapi. Setelah mendengar dialog cukup panjang di situ, pengunjung digiring agak ke dalam, melewati dua bangunan besar yang terletak di kanan kiri jalan masuk. Sambil mendengarkan percakapan yang disalurkan melalui pengeras suara, wisatawan bisa melihat-lihat tiang-tiang yang kuat dan kokoh menjulang tinggi di sekitar mereka berdiri.
Setelah itu perjalanan dilanjutkan agak lebih ke dalam lagi. Hal yang hampir sama juga terjadi di situ. Hanya saja, di depan mereka tampak patung-patung besar menyerupai dewa yang dipuja-puji oleh orang Mesir kuno. Selain itu juga ada dua obelisk yang tinggi.
Kembali pengunjung digiring ke tempat yag lebih dalam lagi, untuk mendengarkan dialog antara raja dan para dewa. Langit sudah makin gelap saat itu. Dihiasi lampu-lampu yang diatur sedemikian rupa untuk mempercantik penampilan bangunan amat kuno itu, warna kuning kilauan sinar matahari di ufuk barat juga menambah suasana makin indah.
Di segmen terakhir, wisatawan dipersilakan duduk di tribun yang berada di salah satu sisi danau suci. Kembali suara dan efek cahaya dipermainkan oleh penyelenggara. Kali ini, terdengar suara perempuan, anak salah seorang raja yang berdialog dengan ayahnya. Ketika itu, karena disediakan tribun khusus layaknya stadion atau tempat teater, banyak wisatawan mengira bakal ada tambahan pagelaran semacam teater atau film. Namun setelah ditunggu hingga selesainya acara, tetap saja hanya suara dan cahaya yang dipertunjukkan. Namanya saja sound and light, pantas saja begitu. Baru kalau namanya sound, light and picture atau sound, light and drama atau sound, light and theatre kita dapat mengharapkan lebih.
Meski begitu, pengunjung tampak puas dengan menikmati suara merdu dari soundsystem modern dan efek cahaya yang dimainkan oleh pihak pengelola. Pintu keluar ternyata berbeda dengan jalan saat masuk. Itu karena di jalan yang sebelumnya dilalui, sudah ada gelombang kedua yang mengikuti.
Saat parade sound and light ketika itu, kebetulan bahasa pengantarnya adalah bahasa Arab. Sementara dalam papan yang tertera di dekat tempat penjualan tiket, ada beberapa pilihan bahasa dengan waktu-waktu khusus. Kalau tidak salah ingat, selain bahasa Arab, penyelenggara juga menyediakan sarana bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman. Masing-masing bahasa itu memiliki jadwal tersendiri yang sudah diatur dan diumumkan secara terbuka.
Setelah menikmati sound and light, peserta rihlah Nadi Wafidin diajak mengunjungi Museum Luxor. Museum yang terletak di dekat pinggiran sungai Nil ini, sebenarnya memiliki bangunan yang tak terlalu besar. Namun saat masuk ke dalamnya, rasa takjub tak dapat dielakkan.
Betapa tingginya tingkat peradaban jaman Mesir kuno. Dalam museum itu terlihat banyak sekali hasil tinggalan peradaban yang sudah berdiri sejak ribuan tahun lalu. Mulai dari koin-koin yang diperkirakan menjadi alat pertukaran barang. Banyak juga koin yang terbuat dari emas, meski cetakannya tak sehalus sekarang, tapi bulatannya tampak cukup rapi.
Selain itu masih ada juga patung-patung kecil perlambang dewa-dewa yang disembah oleh orang Mesir kuno. Ada yang terbuat dari kayu, marmer, granit maupun batu. Alat-alat dapur, tempat tidur dan beberapa hasil tenunan juga tampak masih ada, meski tak utuh selayaknya barang baru. Maklum, sudah berumur ribuan tahun.
Di museum ini, Aghi dan Yayah yang terpisah dari geng berenam, secara tak sengaja bisa masuk ke dalam museum bagian dalam. Awalnya tak berniat masuk, tapi dipanggil oleh sekuriti berpakaian seragam polisi. Dengan senang hati Aghi dan Yayah masuk. Rupanya di dalamnya terdapat alat-alat perang jaman Mesir kuno. Mulai dari tombak, parang, pisau, belati, (semacam) keris, busur sekaligus anak panahnya, pedang, tameng hingga sebuah kereta perang.
Luar biasa, kereta yang tampak terdiri dari dua roda, lalu kayu yang menghubungkan keduanya disambung dengan kayu yang dihubungkan dengan kuda, tampak masih kokoh. Dimasukkan dalam ruangan kaca khusus yang dijaga temperatur suhunya. Selian itu, di museum bagian dalam itu juga ada 2 mumi. Bahkan di situ tertulis bahwa sebuah mumi malah sempat dibawa ke Kanada, lalu dikembalikan lagi ke Mesir dan diletakkan di Museum Luxor ini. Beberapa perhiasan emas juga terlihat di sekeliling dua mumi ini.
Saat Aghi dan Yayah keluar dari museum bagian dalam itu, tampak beberapa peserta rihlah Nadi Wafidin sedang adu mulut dengan para petugas sekuriti. Rupanya, yang masuk ke dalam situ harus memliki karcis khusus. Dengan demikian, Aghi dan Yayah hanya mendapatkan keberuntungan bisa masuk ke museum bagian dalam. Sayangnya, selama dalam museum semua pengunjung dilarang berfoto-foto.
Setelah mengunjungi museum ini, peserta diberi kebebasan untuk mengatur programnya sendiri. Karena kebetulan melihat tepian Nil (sering disebut sebagai kornish Nil), kami berenam pun menyempatkan diri jalan-jalan sebentar. Di pinggiran sungai Nil itu terdapat banyak sekali kapal-kapal yang dijadikan restoran di atas sungai, menyerupai kapal pesiar. Lampu kerlap-kerlip menghiasi kapal-kapal itu. Tapi karena rasa letih setelah seharian berkunjung ke berbagai objek wisata, sesaat kemudian kami sepakat untuk pulang saja.
Awalnya disuruh jalan kaki saja oleh Ustad Majdi, karena menurutnya jarak antara Museum Luxor dengan Hotel Karnak hanya 500 meter. Tapi karena sudah lelah juga feeling yang mengatakan rasanya tak mungkin hanya berjarak 500 meter antara hotel dengan museum, kami menyewa sebuah dokar. Benar saja, saat kami menunggang dokar, rasanya memang lumayan jauh. BIsa-bisa sakit semua kaki kalau dipaksa jalan. Bahkan di jalan, kami sempat melihat Ustad Majdi masih berjalan kaki di tengah-tengah antara hotel dan museum. Padahal, selisih waktu antara Ustad Majdi (dan rombongan) jalan kaki dulu lalu kami mencarter kuda cukup lama.
Setelah sampai hotel, kami langsung istirahat. Tentu saja setelah setor foto untuk dimasukkan ke laptop.[]
Setelah mampir sebentar di pusat produksi Alabaster, rombongan menuju objek wisata selanjutnya. Tempat keempat yang dikunjungi pada hari kedua di Luxor ini adalah Wadi al-Muluk atau Kings Valley. Dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai lembah raja-raja.
Dikatakan demikian karena memang lembah ini diperuntukkan sebagai makam raja-raja dan pembesar di masa Mesir kuno. Uniknya, makam dibuat di dalam pegunungan batu cadas yang ada di lembah ini. Dengan menggali pegunungan ini, jadilah terowongan atau gua yang ujungnya disediakan tempat sebagai makam raja atau bangsawan.
Ada puluhan gua yang digali di lembah ini. Jarak antara satu gua atau makam dengan yang lainnya tidak terlalu jauh. Tapi jika ingin mengelilingi dan memasuki setiap makam ini, tentu butuh waktu yang tak sedikit. Belum lagi jalanan yang menanjak dan naik turun layaknya pegunungan.
Di sepanjang lorong setiap gua, terukir dan terpahat jalan hidup yang dilalui penghuni makam. Hebatnya, ukiran yang juga ada di langit-langit lorong gua-gua itu, dilengkapi warna-warni sesuai gambaran aslinya. Misalnya kuda berwarna coklat, pakaian berwarna merah dan lain sebagainya. Entah bangsa Mesir kuno menggunakan bahan pewarna seperti apa, hingga warna itu tak luntur meski sudah berumur ribuan tahun.
Oleh karenanya, demi menjaga keawetan warna dan kekuatan dinding-dinding gua, wisatawan dilarang menggunakan kamera di dalam gua. Sedangkan handycam malah sudah dilarang sejak sebelum memasuki kawasan Wadi al-Muluk. Di pintu masuk, disediakan tempat penitipan handycam. Meski demikian, masih ada juga beberapa orang tampak mencuri-curi foto. Bahkan ada yang berani menggunakan flash.
Setelah cukup puas mendalami kawasan Wadi al-Muluk, peserta rihlah Nadi Wafidin kembali ke bus. Karena sudah siang, rombongan menuju hotel sekadar istirahat sejenak dan makan siang. Apalagi, program berikutnya memang lebih dekat ke hotel, sehingga pas timingnya untuk makan siang di hotel.
Sekitar pukul 14.30, bus sampai di depan hotel. Semua pun berlarian langsung menuju restoran. Maklum, sarapan tidak terlalu banyak mengganjal perut sedangkan makan siang bisa dikatakan rada terlambat. Setelah makan siang, masing-masing kembali ke kamar untuk cuci muka atau mandi sekaligus shalat.
Di saat itulah, kejadian menjengkelkan terjadi. Ulya yang sedang mengutak-atik kameranya, melihat-lihat hasil jepretannya selama setengah hari, secara tak sengaja memencet tombol format. Otomatis dengan demikian semua file yang ada dalam kamera digitalnya ludes tak tersisa satupun. Sebenarnya sudah ada peringatan pilihan untuk OK atau CANCEL. Tapi namanya kecelakaan, tombol OK pun terpencet.
Ulya tentu saja shock berat. Apalagi, menurutnya cukup banyak hasil bidikannya dalam kamera digital itu yang mendekati sempurna. Gaya-gayanya saat difoto dengan kamera sendirnya itupun sudah terasa mantap selama di Madinat Habou. Terutama foto di bawah pohon kurma, yang sudah diidam-idamkannya sejak lama. Tapi mau bagaimana lagi, namanya kecelakaan, ya harus ditanggapi dengan sabar dan tabah.
Agak sore sedikit, beberapa puluh menit setelah ashar, semua harus sudah berkumpul dalam bus. Program berikutnya adalah melihat parade Sound and Light di Karnak Temple. Karena sudah jelas timingnya, maka saat ada beberapa peserta terlihat terlambat cukup lama terpaksa harus dimarahi Ustad Majdi dan terutama Miss Najla. Mereka yang terlambat rupanya ketiduran. Untung ada teman lainnya yang membangunkan meski sudah agak terlambat.
Meski hari sebelumnya sudah mengunjungi Karnak Temple, tapi di hari kedua ini suasananya lain. Di saat menjelang tenggelamnya matahari di ufuk barat, parade sound and light dimulai. Dengan menggunakan pengeras suara yang tersebar di beberapa sudut kuil, suara dialog antara raja dengan para punggawa kerajaan terdengar lantang, menggambarkan apa yang kiranya pernah terjadi di masa lampau.
Sound and light ini terbagi menjadi beberapa segmen. Pertama sejak sebelum masuk gerbang besar Karnak Temple yang tepat di depannya terdapat banyak
patung singa sedang duduk berjajar rapi. Setelah mendengar dialog cukup panjang di situ, pengunjung digiring agak ke dalam, melewati dua bangunan besar yang terletak di kanan kiri jalan masuk. Sambil mendengarkan percakapan yang disalurkan melalui pengeras suara, wisatawan bisa melihat-lihat tiang-tiang yang kuat dan kokoh menjulang tinggi di sekitar mereka berdiri.
Setelah itu perjalanan dilanjutkan agak lebih ke dalam lagi. Hal yang hampir sama juga terjadi di situ. Hanya saja, di depan mereka tampak patung-patung besar menyerupai dewa yang dipuja-puji oleh orang Mesir kuno. Selain itu juga ada dua obelisk yang tinggi.
Kembali pengunjung digiring ke tempat yag lebih dalam lagi, untuk mendengarkan dialog antara raja dan para dewa. Langit sudah makin gelap saat itu. Dihiasi lampu-lampu yang diatur sedemikian rupa untuk mempercantik penampilan bangunan amat kuno itu, warna kuning kilauan sinar matahari di ufuk barat juga menambah suasana makin indah.
Di segmen terakhir, wisatawan dipersilakan duduk di tribun yang berada di salah satu sisi danau suci. Kembali suara dan efek cahaya dipermainkan oleh penyelenggara. Kali ini, terdengar suara perempuan, anak salah seorang raja yang berdialog dengan ayahnya. Ketika itu, karena disediakan tribun khusus layaknya stadion atau tempat teater, banyak wisatawan mengira bakal ada tambahan pagelaran semacam teater atau film. Namun setelah ditunggu hingga selesainya acara, tetap saja hanya suara dan cahaya yang dipertunjukkan. Namanya saja sound and light, pantas saja begitu. Baru kalau namanya sound, light and picture atau sound, light and drama atau sound, light and theatre kita dapat mengharapkan lebih.
Meski begitu, pengunjung tampak puas dengan menikmati suara merdu dari soundsystem modern dan efek cahaya yang dimainkan oleh pihak pengelola. Pintu keluar ternyata berbeda dengan jalan saat masuk. Itu karena di jalan yang sebelumnya dilalui, sudah ada gelombang kedua yang mengikuti.
Saat parade sound and light ketika itu, kebetulan bahasa pengantarnya adalah bahasa Arab. Sementara dalam papan yang tertera di dekat tempat penjualan tiket, ada beberapa pilihan bahasa dengan waktu-waktu khusus. Kalau tidak salah ingat, selain bahasa Arab, penyelenggara juga menyediakan sarana bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman. Masing-masing bahasa itu memiliki jadwal tersendiri yang sudah diatur dan diumumkan secara terbuka.
Setelah menikmati sound and light, peserta rihlah Nadi Wafidin diajak mengunjungi Museum Luxor. Museum yang terletak di dekat pinggiran sungai Nil ini, sebenarnya memiliki bangunan yang tak terlalu besar. Namun saat masuk ke dalamnya, rasa takjub tak dapat dielakkan.
Betapa tingginya tingkat peradaban jaman Mesir kuno. Dalam museum itu terlihat banyak sekali hasil tinggalan peradaban yang sudah berdiri sejak ribuan tahun lalu. Mulai dari koin-koin yang diperkirakan menjadi alat pertukaran barang. Banyak juga koin yang terbuat dari emas, meski cetakannya tak sehalus sekarang, tapi bulatannya tampak cukup rapi.
Selain itu masih ada juga patung-patung kecil perlambang dewa-dewa yang disembah oleh orang Mesir kuno. Ada yang terbuat dari kayu, marmer, granit maupun batu. Alat-alat dapur, tempat tidur dan beberapa hasil tenunan juga tampak masih ada, meski tak utuh selayaknya barang baru. Maklum, sudah berumur ribuan tahun.
Di museum ini, Aghi dan Yayah yang terpisah dari geng berenam, secara tak sengaja bisa masuk ke dalam museum bagian dalam. Awalnya tak berniat masuk, tapi dipanggil oleh sekuriti berpakaian seragam polisi. Dengan senang hati Aghi dan Yayah masuk. Rupanya di dalamnya terdapat alat-alat perang jaman Mesir kuno. Mulai dari tombak, parang, pisau, belati, (semacam) keris, busur sekaligus anak panahnya, pedang, tameng hingga sebuah kereta perang.
Luar biasa, kereta yang tampak terdiri dari dua roda, lalu kayu yang menghubungkan keduanya disambung dengan kayu yang dihubungkan dengan kuda, tampak masih kokoh. Dimasukkan dalam ruangan kaca khusus yang dijaga temperatur suhunya. Selian itu, di museum bagian dalam itu juga ada 2 mumi. Bahkan di situ tertulis bahwa sebuah mumi malah sempat dibawa ke Kanada, lalu dikembalikan lagi ke Mesir dan diletakkan di Museum Luxor ini. Beberapa perhiasan emas juga terlihat di sekeliling dua mumi ini.
Saat Aghi dan Yayah keluar dari museum bagian dalam itu, tampak beberapa peserta rihlah Nadi Wafidin sedang adu mulut dengan para petugas sekuriti. Rupanya, yang masuk ke dalam situ harus memliki karcis khusus. Dengan demikian, Aghi dan Yayah hanya mendapatkan keberuntungan bisa masuk ke museum bagian dalam. Sayangnya, selama dalam museum semua pengunjung dilarang berfoto-foto.
Setelah mengunjungi museum ini, peserta diberi kebebasan untuk mengatur programnya sendiri. Karena kebetulan melihat tepian Nil (sering disebut sebagai kornish Nil), kami berenam pun menyempatkan diri jalan-jalan sebentar. Di pinggiran sungai Nil itu terdapat banyak sekali kapal-kapal yang dijadikan restoran di atas sungai, menyerupai kapal pesiar. Lampu kerlap-kerlip menghiasi kapal-kapal itu. Tapi karena rasa letih setelah seharian berkunjung ke berbagai objek wisata, sesaat kemudian kami sepakat untuk pulang saja.
Awalnya disuruh jalan kaki saja oleh Ustad Majdi, karena menurutnya jarak antara Museum Luxor dengan Hotel Karnak hanya 500 meter. Tapi karena sudah lelah juga feeling yang mengatakan rasanya tak mungkin hanya berjarak 500 meter antara hotel dengan museum, kami menyewa sebuah dokar. Benar saja, saat kami menunggang dokar, rasanya memang lumayan jauh. BIsa-bisa sakit semua kaki kalau dipaksa jalan. Bahkan di jalan, kami sempat melihat Ustad Majdi masih berjalan kaki di tengah-tengah antara hotel dan museum. Padahal, selisih waktu antara Ustad Majdi (dan rombongan) jalan kaki dulu lalu kami mencarter kuda cukup lama.
Setelah sampai hotel, kami langsung istirahat. Tentu saja setelah setor foto untuk dimasukkan ke laptop.[]
Subscribe to:
Posts (Atom)