Tuesday, April 11, 2006

Amien: 2 Agenda Reformasi Belum Sesuai Harapan


Sabtu (16/4) malam, lapangan parkir KBRI Kairo terlihat sesak, bukan karena banyaknya mobil yang diparkir, tapi oleh ratusan mahasiswa yang ingin bertatap muka dan berdialog dengan mantan Ketua MPR-RI Prof. Dr. H. Amien Rais, MA. Sejak menjelang maghrib, mahasiswa banyak berdatangan dari Nasr City, sekitar belasan kilo meter dari tempat acara, maupun daerah yang lebih dekat ke lokasi, seperti Asrama Internasional maupun wilayah lainnya.

Meski agak lama menunggu, mahasiswa tidak bergeming, banyak yang mengobrol dengan kawannya masing-masing untuk sekadar mengisi kekosongan. Baru pada sekitar pukul 20.20, Amien beserta rombongan datang ke tempat acara. Beberapa orang pun berebut bersalaman, meski agak dibatasi karena memang kedatangan sudah telat dari yang dijadwalkan semula, pukul 19.00.

Setelah beristirahat beberapa saat di ruang tamu yang berdekatan dengan panggung, Amien pun memasuki panggung didampingi Dubes RI di Kairo Prof. Dr. Bachtiar Aly, MA., Ketua Pimpinan Cabanng Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Iswan Kuria Hasan, Lc. dan moderator Fahmi Salim, Lc. Pembawa acara pun kemudian mengajak hadirin membaca basmalah menandakan dimulainya acara.

Setelah pembacaan beberapa ayat suci Alquran, dilanjutkan dengan sambutan Ketua PCIM. Dalam sambutannya, Iswan mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Amien karena berkenan bertatap muka menemui mahasiswa Indonesia di Kairo, meski kedatangan Amien ke Kairo sendiri sebenarnya sangat bersifat pribadi. Tak lupa, Iswan juga menghaturkan terima kasih tak tyerhingga kepada Dubes Bachtiar yang menyediakan tempat dan memfasilitasi acara itu.

Sementara dalam sambutannya, Dubes cukup membuat kaget hadirin, dengan sambutan mukaddimah bahasa Arabnya. Padahal, selama ini, diketahui Dubes sama sekali tidak punya background bahasa Arab. Maka ketika memberikan sambutan dengan bahasa Arab yang agak panjang itu, kontan mendapat tepuk tangan meriah dari mahasiswa. Untuk acara itu, Dubes menilai meruapakan aacara luar biasa. Selain karena kedatangan Amien, tapi juga karena acaranya digelar dengan duduk lesehan. Sebab hal itu pula, acara ini diberi tajuk “Dialog Lesehan Bersama Prof. Dr. H. Amien Rais, MA.” Menurutnya, ini adalah pertama kalinya kedutaan menggelar acara secara lesehan. “Bahkan, bisa jadi ini adalah yang pertama kali digelar kedutaan di mana saja, bukan hanya di Kairo,” tambah Dubes yang lama menjadi Guru Besar di FISIP UI ini. Menambahkan itu semua, Dubes Bachtiar yang juga pernah terkenal sebagai pengamat politik, juga mengungkapkan feelingnya bahwa kedatangan mantan Ketua Umum DPP PAN yang baru saja lengser itu ke Kairo karena akan membuat sebuah keputusan penting.

Setelah sambutan Dubes, acara sepenuhnya diserahkan kepada moderator Fahmi Salim. Tidak terlalu memperpanjang mukaddimah, Fahmi hanya sedikit mengulas sejarah singkat biografi Dr. Amien. Disebutkannya pula, Amien sempat datang dan cukup lama berada di Kairo sekitar akhir dekade 1970-an untuk penelitian tesisnya tentang Ikhwan Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna.

Dalam mukaddimahnya, Amien mengatakan pertamna kali datang ke Kairo pada tahun 1978. Saat itu, ujarnya, Dubes RI untuk Kairo juga bergelar profesor doktor, yakni Prof. Dr. Fuad Hassan. Hanya saja, menurutnya, Dubes sekarang masih lebih populer dibandingan dengan Dubes Fuad Hasan. Tepuk tangan pun bergemuruh untuk ke sekian kalinya, seperti biasanya.

Melanjutkan pembicaraannya, Amien mementahkan feeling Dubes bahwa kedatangannya kali ini membawa misi untuk membuat keputusan penting. Menurutnya, dia bersama 6 anggota rombongannya, hanya datang sekadar untuk refreshing atau intermezzo, melepas lelah setelah selama ini lebih banyak tegang. “Tidak ada tujuan apapun selain bernostalgia dengan kota yang terkenal dengan sebutan negeri para nabi ini,”tegas amien. Kebetulan, 2 orang anggota rombongannya juga merupakan kawan karib Amien saat di Kairo dulu.

Setelah menjelaskan maksud kedatangannya di Kairo itu, Amien menceritakan pada hadirin tentang perjalanan bangsa Indonesia. Terutama yang ditekankannya adalah, peristiwa Mei 1998. Waktu itu, bersama kawan-kawan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat, berencana mengadakan syukuran reformasi pada 20 Mei 1998 di Monas. Hanya saja, ternyata hal itu tidak diizinkan pemerintah. Bahkan, pada 19 Mei, Monas sudah ditutup oleh tentara. Lebih dari itu, bahkan ada yang mengancam jika acara yang dijadwalkan pada pagi atau siang 20 Mei itu tetep dilaksanakan, tidak menutup kemungkinan bakal terjadinya Tragedi Tiananmen (China) yang terkenal itu.

Akhirnya, melihat maslahat yang lebih besar, melalui radio dan televisi, acara pun diimbau untuk dilaksanakan di musholla, masjid dan rumah masing-maisng, berdoa untuk keselamatan bangsa Indonesia dan suksesnya reformasi. Berikutnya, pada hari itu juga, konstelasi politik mulai berubah, di mana Soeharto yang sudah berkuasa sekian lama mulai berpikir iuntruk undur diri dari kursi presiden. Dan benar, pada 21 Mei 1998 sekitar pukul 11.00 serah terima jabatan presiden dilakukan.

“Itu merupakan anugerah buat bangsa Indonesia. Namun, kita bangsa Indonesia dituntut tidak hanya berhenti di situ,”ingat Amien. Apalagi sampai sekarang, menurutnya, masih banyak agenda reformasi yang belum berjalan maksimal. Ditambahkannya, ada 5 agenda penting dalam reformasi Indonesia. Yaitu amandemen UUD 1945, pencabutan Dwi Fungsi ABRI, pelaksanaan Otonomi Daerah, penegakan supremasi hukum dan perwujudan clean government dan good government.

Menurut Amien, tiga agenda pertama berjalan sudah cukup baik, meski ada kendala di sana-sini. Amandemen UUD 1945, sudah dilakukan oleh MPR RI, kebetulan saat dipimpin olehnya, yang merubah UUD sampai 4 kali amandemen. Dwi Fungsi ABRI, juga sudah dilaksanakan secara bertul-betul, di mana TNI sekarang tidak ikut berpolitik, atas kelegawaan para perwira TNI itu sendiri. “Sementara Otda, seperti sudah diketahui bersama, sudah mulai diterapkan sejal 1 Januari 2001 lalu dan dilaksanakan secara bertahap,” jelas Amien.

Hanya saja, masih ada dua agenda besar yang belum bisa dilaksanakan dengan baik, yaitu penegakan hukum dan penyelenggaraan clean and good government termasuk di dalamnya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Tidak seperti tiga amanat yang sudah lumayan tertunaikan, dua masalah ini memang sangat susah. Dikisahkan oleh Amien, Bung Hatta, wapres RI pertama, juga dulu sudah menyatakan bahwa sejak saat itu korupsi sudah mulai mendarah daging dengan budaya masyarakat Indonesia. Sehingga sangat sulit ditemukan sendi-sendi kehidupan di Indonesia yang bebas dari nuansa korupsi ini.

Hingga saat ini, dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga belum berjalan maksimal. Menurutnya, KPK dan pemerintahan SBY baru bisa menyeret koruptor-koruptor kecil yang ‘hanya’ merugikan negara berkisar antara ratusan juta dan milyaran. Sementara pengemplang dana BLBI misalnya, yang merugikan negara mencapai puluhan atau bahkan ratusan trilyun, masih bisa hidup makmur bebas dari jeratan hukum. “SBY belum berani melawan pelaku korupsi skala besar,” katanya.

Namun secara umum, Amien menilai kinerja SBY sudah cukup baik. “Kita harus objektif juga, bahwa pemerintahan SBY hingga saat ini bisa dinilai dengan di atas lumayan,” katanya. Hanya, tambahnya, perlu kiranya pemerintahan SBY ini menambah rasa percaya diri. “Dosisnya perlu ditingkatkan,” tambahnya.

Selain permasalahan itu, Amien juga memprihatinkan martabat bangsa Indonesia yang makin lama rasanya kian terpuruk. Bahkan, di hadapan Singapura pun Indonesia harus tertunduk. Dicontohkan oleh Amien, bagimana pembangunan gendung, jembatan dll di Singapura yang bahan bakunya, seperti pasir misalnya, merupakan hasil curian dari Indonesia. Bukan singapura yang mencuri secara langsung memang, namun mereka membeli dari para pencuri yang menjual murah.

Pernah pada suatu kesempatan, Amien sebagai Ketrua MPR-RI bertemu dengan PM Singapura Goh Chok Tong. Pada kesempatan itu, Amien mempermasalahkan pencurian pasir. Namun PM Goh hanya menjawab bahwa mereka membeli, bukan mencuri. Dibalas lagi oleh Amien, yang namanya kejahatan itu ada dua macam. Pertama, kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya. Kedua, mendiamkan kejahatan itu sendiri juga merupakan bentuk kejahatan. “Dengan demikian, Anda juga telah bertindak jahat,” balas Amien. Sementara PM Goh ketika dibalas demikian, tidak bisa menjawab.

Sekarang, masih menurut Amien, menjadi tugas bangsa Indonesia bersama adalah meneruskan dua agenda reformasi yang belum sesuai harapan itu. “Untuk jangka pendek (short term), dua agenda itu harus segera diselesaikan”, ujarnya. Semntara untuk long term atau jangka panjang, bangsa Indonesia harus dapat membangun sumber daya manusia yang kompetitif. “Sekarang ini, ya target kita harus bisa bersaing dengan SDM-SDM dari negara ASEAN. Itu dulu. Karena kalau kita mau melihat Jepang, Korea, Taiwan atau Hongkong, apalagi Eropa atau Amerika, tentu saja itu musy ma’uul (bahasa Mesir, artinya tidak masuk akal-red),” tambahnya.

Setelah panjang lebar menceritakan perjalanan bangsa Indonesia, Amien menutup pembicaraannya dan mempersilakan 5 orang hadirin untuk berdialog, menanggapi atau bertanya atas apa yang disampaikan Amien. Sontak, puluhan orang mengacungkan jarinya untuk berebut mendapatkan kesempatan menyampaikan pertanyaan atau pernyataannya. Dalam sesi dialog, hadirin masih tetap konsen mendengar apa yang disampaikan Amien. Di tengah tanggapan balik dari Amien, datang Ketua MPR-RI Dr. Hidayat Nur Wahid, MA. yang baru saja menyelesaikan tugas kenegaraannya.

Selesai Amien, Hidayat dipersilakan memberikan sambutannya. Diceritakan Hidayat, dirinya baru saja bertemu rektor Universitas Al-Azhar. Segala pesan dan uneg-uneg yang sudah disampaikan beberapa mahasiswa yang sudah ditemuinya saat Dialog Inter Partisipoatif sehari sebelumnya, Jumat (15/4) malam di Auditorium Shalih Abdullah Kamil Universitas Al-Azhar, disambungkan kepada Rektor Prof. Dr. Ahmad Thoyyib. Dr. Thoyyib lalu menjawab akan mempertimbangkan keringanan biaya kuliah bagi beberapa mahasiswa Indonesia yang keluarganya terkena Tsunami akhir tahun lalu. Untuk konkretnya, Dr. Thoyyib meminta kerjasama lanjut dengan KBRI Kairo.

Seperti biasa, setelah dialog antara narasumber dengan mahasiswa, Dubes Bachtiar tak lupa menyampaikan catatan akhirnya. Ia menambahkan, dalam masa-masa reformasi, terutama medio Mei 1998, susah mengenali kawan maupun lawan. Dirinya dengan Pak Amien pun, yang sempat bersama-sama bahu-membahu saaat berdirinya ICMI di Malang pada saat reformasi sempat direcoki semacam ‘musuh dalam selimut’. Dimana saat itu, banyak juga berdiri di antara mereka orang-orang yang pro-status quo.

Ia juga menegaskan betapa keberanian Pak Amien yang amat besar. Pernah suatu ketika, Amien menulis berita cukup pedas tentang proyek Freeport di Papua, yang dikatakannya malah merugikan negara, dan hanya memberikan keuntungan bagi segelintir orang pengusaha saja. Tak pelak, tulisan Amien ini membuat Pak Harto berang, dan meminta pada Habibie untuk mengundurkan Amien dari Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat. Setelah melalui perdebatan panjang, Pak Amien yang melihat kemaslahatan lebih besar, akhirnya legawa melepaskan jabatannya di ICMI itu.

Suasana yang berlangsung gayeng dan penuh joke segar itupun akhirnya harus diakhiri, meski sebenarnya banyak mahasiswa yang berharap mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Sayang, waktu pun semakin larut, sehingga moderator harus mengakhiri acara. Sekitar pukul 23.00, acara pun ditutup dengan membaca doa kemudian dilanjutkan dengan diberikannya kesempatan kepada mahasiswa untuk bersalaman dengan para narasumber.◙


Agus Hidayatulloh
503 El-Syaarawy Bld., 17 April 2005

No comments: