Tuesday, April 11, 2006

Rekaman Audiensi Peserta Orientasi Karya dengan Menteri Luar Negeri RI

Jakarta, 11 Agustus 2004

>> Sambutan Atdikbud KBRI Cairo

Assalamu’alaikum wr wb.

Para hadirin yang berbahagia,
Mari kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa. Shalawat serta salam kita sampaikan kepada Nabi besar Muhammad Saw.

Pertama-tama, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Menteri, yang telah memberikan kesempatan dan waktu pada kami untuk berkunjung dan melakukan Orientasi Karya pada departemen yang Bapak pimpin. Kedua, perkenankan kami menyampaikan permohonan maaf Bapak Duta Besar RI di Kairo yang berhalangan hadir dalam pertemuan yang sangat penting ini, karena beliau sedang mempersiapkan rangkaian acara peringatan HUT RI yang ke-59. Oleh karena itu, Bapak Duta Besar mewakilkan kepada kami untuk menjadi pemandu kegiatan Orientasi Karya ini. Kami juga ingin menyampaikan salam hangat Bapak Duta Besar untuk Bapak Menlu. Beliau mengamanatkan bahwa diterimanya kita di Gedung Pancasila ini merupakan suatu kebanggaan. Kita tahu bahwa gedung ini sangat bersejarah, di sinilah tempat kemerdekaan kita dipersiapkan.

Bapak Dubes juga selalu mengingat bahwa ketika Bapak Menlu bertugas sebagai Dubes di Mesir, Bapak Menlu lah yang merintis pengumpulan dana kesejahteraan mahasiswa. Merintis juga terbentuknya rumah daerah Indonesia di Mesir dan meletakkan landasan berdirinya BWAKM (dulu BWKM). Di antara peserta ini ada pengurus BWAKM, kami persilakan untuk berdiri, silakan, Sdr. Aep Saefullah Darusmanwiati. Bapak Dubes juga berharap kiranya Bapak Menteri dapat berkunjung ke Kairo.

Bapak Menteri yang kami hormati, tujuan dari Orientasi Karya ini secara umum adalah untuk mengembangkan wawasan berpikir serta mengetahui berbagai perkembangan mutakhir yang sedang berlangsung di tanah air. Sehingga mereka dapat memahami dinamika perkembangan bangsa dan pada gilirannya akan menjadikan mereka mahasiswa Indonesia yang mempunyai wawasan keindonesiaan dan peka terhadap lingkungan. Mereka juga akan menjadi duta-duta bangsa di luar negeri dalam menjaga dan membangun citra Indonesia yang positif di mata dunia internasional.

Yang terhormat Bapak Menteri, kegiatan Orientasi Karya ini diprakarsai oleh mahasiswa itu sendiri. Jadi bisa dikatakan ini adalah dari mahasiswa dan untuk mahasiswa. Rombongan ini berjumlah 49 orang, namun yang hadir pada hari ini adalah 48 orang, karena salah satu dari mereka sedang mengalami gangguan kesehatan.

Rombongan ini didampingi oleh 2 orang staf KBRI, dan insya Allah mereka akan ada di Jakarta sampai tanggal 17 Agustus, sejak kemarin malam. Mereka berasal dari berbagai universitas yang berada di Mesir dan mewakili komponen-komponen mahasiswa yang ada. Pada hari ini kami berkunjung ke Deplu karena kami yakin kami akan memperoleh informasi dan penjelasan yang sangat komprehensif dari Bapak dan mendapat waktu untuk berdialog bersama. Oleh karena itu, kiranya Bapak berkenan memberikan arahan kepada kami. Pada akhir kegiatan Orientasi Karya ini, mahasiswa akan melakukan evaluasi dan laporan kegiatan, yang di antaranya berisi saran-saran dan harapan mereka di kemudian hari.

Akhirnya, sekali lagi kami ucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Menteri atas waktu yang diberikan kepada kami untuk melaksanakan apa yang kita agendakan. Semoga hal ini menjadi manfaat bagi kita sekalian dan mendapat ridla Allah Swt.

Sekian, wassalamu’alaikum wr wb.

>> Pengarahan oleh Bapak Menlu

Assalamu’alaikum wr wb.

Hadirin yang kami muliakan,
Pertama saya ingin mengucapkan selamat datang di Departemen Luar Negeri khususnya di Gedung Pancasila yang bersejarah ini. Beberapa waktu yang lalu, Bapak Duta Besar Bachtiar Aly menemui saya dan mengemukakan ingin mengadakan acara Orientasi Karya mahasiswa Kairo, lalu saya menyambut baik hal ini. Sudah lama saya tidak bertatap muka dengan mahasiswa Kairo. Mungkin saja di antara mahasiswa ini ada yang sempat bertemu saya sewaktu masih di Kairo, terutama bagi mereka yang masih kerasan tinggal di Kairo, atau... justru bisa juga karena studinya belum selesai. Saya berharap, segera selesaikan studi!

Beberapa saat yang lalu, di sini juga digelar pertemuan para menteri luar negeri negara anggota ASEAN. Memperhatikan gedung ini yang sangat bersejarah, di mana fondasi negara ini dibuat, di mana kita hidup di masa yang amat sulit. Lalu kita sebagai generasi sekarang tinggal menikmati dan memfungsikan kembali gedung yang bersejarah ini.

Bapak Bachtiar Aly mengatakan kepada saya agar saya berbicara mengenai Islam dan negara kesatuan Republik Indonesia. Tapi saya ingin berbicara pada konteks yang lebih luas.

Di tahun 2004 ini, kita melakukan tiga kali pemilihan umum. Alhamdulillah, dua kali pemilu sudah kita lalui dengan aman. Kita juga berharap, pemilu pada 20 September mendatang juga berlangsung lancar. Selama ini kita sering mendengar ramalan-ramalan yang mengatakan bahwa pemilu di masa transisi ini akan dilalui dengan kerusuhan dan darah, namun alhamdulillah kita mampu membuktikan bahwa kita bisa berdemokrasi dengan cukup baik.

Bayangkan pada pemilu 1999, itu berlangsung hanya dengan persiapan selama 5 bulan. Itupun kita laksanakan setelah kita mengalami krisis moneter yang sangat serius.

Jangan lupa kita memiliki 150 juta orang yang mempunyai hak pilih dalam pilpres kali ini. Mereka tersebar di 6000 pulau. Kita siapkan 574.975 tempat pemungutan suara (TPS). Maka jangan bandingkan dengan pemilu di tempat lain. Sebab dari segi geografi kita juga sangat besar, tidak hanya besar dari segi jumlah pemilih. Pemilu dilaksanakan tidak hanya pada hari yang sama, tapi juga pada jam yang sama. Di India, memang pemilihnya lebih besar, dan dalam satu wilayah daratan yang besar, tapi dilakukan selama berhari-hari, kalau tidak salah sekitar 10 hari. Sedangkan kita melaksanakannya serentak satu hari. Ini merupakan sebuah karya besar yang tidak bisa kita kecilkan. Dari 150 juta pemilih, partisipasinya juga sangat besar.

Dari sorotan internasional, India menempati urutan pertama sebagai negara demokrasi terbesar, disusul AS pada tempat kedua. Tapi Dubes AS di Jakarta bahkan mantan presiden AS Jimmy Carter ketika berkunjung ke sini mengatakan, bahwa Indonesia lah yang menempati urutan kedua. Karena di AS, partisipasi pemilih dalam pemilu itu hanya sekitar 40 persen. Jadi dari segi presentase bahkan juga dari segi jumlah, partisipasi mereka di bawah kita.

Kita harus bangga dengan itu, kita tidak boleh kecilkan usaha kita. Tidak hanya pada hari H pemilu saja aman, tapi saat kampanye pun kita merasa aman, tidak ada satu kerusuhan pun terjadi. Kita harus akui itu. Kita lewati pemilu dengan aman, damai dan tertib. Berbicara soal aman, damai dan tertib ini, pada masa orde baru kita juga aman, damai dan tertib. Tapi sekarang, kita benar-benar bisa memilih sesuai hati nurani kita. Harus kita akui ini merupakan buah juga dari kabinet gotong-royong.

Agak mahal memang biaya pemilu ini, mencapai 4 trilyun rupiah. Kalau mau mudahnya ya a la Singapura itu. Suksesi kepemimpinan hanya dengan 4 pucuk surat. Surat pertama dari PM Goh Chok Tong menyampaikan pengunduran diri kepada presiden. Kemudian Presiden Singapura menyampaikan surat penerimaan pengunduran diri itu. Lalu presiden membuat surat penawaran kepada anak Lee Kuan Yew untuk menjabat sebagai PM. Nah, surat keempat adalah penerimaan anak Lee Kuan Yew ini atas tawaran sebagai perdana menteri. Murah sekali bukan? Namun, dilihat dari sisi demokrasi, silakan kita bandingkan dengan negara kita. Lebih demokratis mana?

Gawe besar dengan biaya yang sangat mahal ini, merupakan refleksi dari keinginan kita untuk menjadi negara yang hidup secara demokratis. Dan pemilu ini, merupakan tonggak yang sangat penting karena tidak hanya menjadi cermin demokrasi negara ini, tapi juga menjadi momentum kebangkitan kita sebagai bangsa.

Dilihat dari segi ekonomi... dewasa ini fundamental ekonomi kita dirasakan cukup membaik, dilihat dari indikator-indikator ekonomi. Pertama dalam sejarah republik ini, kita memiliki cadangan devisa sebesar 37 milyar dolar AS. Ini sudah cukup untuk kebutuhan pembayaran hutang dan kebutuhan impor. Selama ini, cadangan devisa tertinggi kita rata-rata 14,5 milyar dolar AS. Pertumbuhan ekonomi kita juga cukup positif. Nilai tukar rupiah juga cukup stabil walau pada masa-masa menjelang pemilu kemarin spekulasi juga ada, dengan borong mata uang sehingga nilai tukar meningkat. Sekarang tinggal kita kawal pemilu dengan aman dan damai, lalu orang akan segera mulai lagi melepas dolar. Dan harapan kita, rupiah akan semakin membaik dari yang sekarang ini.

Memang anggaran kita selama ini, sepertiga untuk membayar hutang, sepertiga untuk subsidi melalui DAU (Dana Alokasi Umum) lalu sepertiga lagi untuk mengelola negara. Dibandingkan dengan masa sebelumnya, jelas kita sudah bisa dikatakan saat ini kita sudah keluar dari krisis. Dengan pertumbuhan ekonomi sampai 4,1 bahkan hingga 5,0 persen, kita juga sudah dapat cukup menyerap tenaga kerja yang setiap tahunnya bertambah sekitar 3 juta orang, atau hampir sama dengan jumlah penduduk Singapura. Kita memang harus terus bekerja keras. Kita harus berupaya untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi kita bisa mencapai hingga angka 7 persen.

Dengan pemilu yang berhasil, kita harapkan bisa mendapatkan momentum kebangkitan kembali ekonomi. Nilai penting dari pemilu yang aman, damai dan demokratis itu juga berefek positif dalam upaya pembangunan ekonomi. Yang juga penting, perlunya membina kepercayaan orang luar khususnya investor aisng agar mau menanamkan modal investasinya di Indonesia. Selama ini kan kita banyak terjadi kerusuhan, pada 1998, di Poso, Aceh dll membuat investor takut menanamkan modal di Indonesia. Belum lagi juga beberapa kali terjadi pemboman di sana-sini. Tantangan kita sebagai bangsa tidaklah mudah. Tapi pada saat yang lainnya, patut juga kita syukuri atas kemajuan dan pertumbuhan yang kita raih selama ini.

Melalui pemilu ini, saya ingin kita melihat bagaimana cara orang luar menghargai karya kita. Saya menerima banyak kliping dari surat kabar dari berbagai belahan dunia, yang pada umumnya memberikan apresiasi yang cukup positif pada kita. Majalah ECONOMIST, mingguan yang terbit di London, pada bulan Mei, segera setelah kita selesai dengan pemilu legislatif, menurunkan tulisan dengan judul Democratic Miracle, “Suatu Keajaiban Demokrasi”. Kemudian pada 10 Juli, setelah kita selesai dengan pemilu presiden putaran pertama, majalah yang sama dalam ­cover story-nya menuliskan Shining Example, “Contoh Kilau”; mengenai keberhasilan kita dalam pemilu tahun ini. Selama ini, negara miskin diidentikkan dengan negara yang juga tidak bisa berdemokrasi, dan kita bisa membantah itu.

Pada sisi lain, saya rasa, demokrasi juga tidak akan punya makna jika tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa, juga mengangkat kemajuan, keadilan dan kesejahteraan bangsa. Demokrasi bukanlah merupakan tujuan itu sendiri. Saya ingin menyebut, suatu ketika saya pernah mendengar prediksi Kissinger, bahwa di negara-negara berkembang, demokrasi dikhawatirkan akan merubah secara signifikan atas konsensus-konsensus yang sebelumnya telah disepakati bersama. Nah, di negara maju yang mempunyai tradisi yang kuat atas demokrasi, seperti AS yang sudah 200 tahun lebih, itu konsensus dasar untuk membangun negara sudah mantap. Sehingga perbedaan- perbedaan yang wajar dalam demokrasi, kebanyakan hanya di permukaan, pada tataran kebijakan-kebijakan pemerintah. Sementara di negara berkembang, karena tradisi yang belum kuat, mudah sekali kita tergoda untuk membongkar kembali konsensus-konsensus dasar. Suka bongkar-pasang.

Sejak 1998-1999, kita mulai reformasi bernegara. Reformasi, bukan revolusi. Kalau revolusi itu artinya kita merubah seluruh tatanan kenegaraan. Kalau reformasi hanya mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ada selama ini untuk menuju yang lebih baik. Memang lebih terbatas. Tapi untuk Undang-undang Dasar 1945, sudah kita amandemen. Namun tetap, suatu pondasi dasar tidak kita ganggu gugat. Pondasi dasar dari negara kesatuan RI itu sudah dirumuskan dalam permbukaan UUD 1945. Preambule atau mukadimah UUD ini tidak kita sentuh sama sekali. Hanya pasal-pasal tertentu saja yang kita amandemen. Dengan kata lain, kita sudah cukup hati-hati sebenarnya, untuk tidak mudah membongkar-pasang dalam era demokrasi ini, seperti yang dikhawatirkan oleh Kissinger. Saya pikir itu cukup baik juga. Walaupun harus kita akui juga, masih ada beberapa hal yang masih perlu dibenahi.

Dalam masa orde baru, kita ketahui bersama, kebijakan-kebijakan dan kekuasaan amat lebih banyak berada di tangan eksekutif. Dan selama periode reformasi, pendulum itu lebih banyak bergayut ke legislatif.

Jadi pada masa akhir-akhir ini, kita memang sempat berada pada sususun yang —maaf— bisa dikatakan yang abu-abu. Pada satu pihak seperti ada dalam UUD kita menggunakan sistem presidensiil, tapi dalam praktiknya, parlemen justru mempunyai kekuasaan yang lebih besar, seperti kita mempraktikkan sistem parlementer. Yang paling repot jadi menteri di zaman sekarang ini. Bukan hanya akuntabilitas dari setiap pejabat, yang ditanyakan dalam rapat kerja; apa saja bisa ditanyakan, bahkan kadang-kadang, saya rasa bahasanya ‘tidak parlementer’. Saya kagum, ketika beberapa waktu lalu saya pernah melihat parlemen Inggris yang menghormati posisi pemerintah. Kita lihat sebutannya saja sudah sangat sopan. The Honorable Minister..., “Yang Terhormat Bapak Menteri...” dan seterusnya. Yah, kita memang masih berada dalam masa transisi. Jadi kalau nanti pendulum itu bergeser lagi... karena kita memang sebenarnya masih dalam proses mencari balance. Kita masih mencari titik tengah dari pendulum ini dimana.

Salah satunya adalah pemilihan presiden langsung. Saya berharap, dengan pemilihan langsung ini maka presiden mempunyai mandat dari rakyat. Sebab selama ini, anggota DPR yang dipilih merasa sayalah yang mewakili rakyat. Memang benar mereka dipilih rakyat. Tapi dalam konstitusi ada pembagian yang jelas. Presiden menjalankan mandat dalam memimpin pemerintahan dan DPR menjalankan fungsi pengawasan. Dalam arti; pertama, DPR ikut juga membuat undang-undang bersama presiden; kedua, presiden juga tidak bisa seenaknya sendiri menentukan hak budget. Sekarang ini kan, untuk menentukan anggaran belanja negara, haknya lebih besar berada pada DPR. Ketiga, hak angket... dan lain sebagainya.

Tapi tidak kurang kita juga masih melihat DPR yang terlalu jauh terlibat untuk urusan-urusan yang seharusnya menjadi urusan eksekutif. Contohnya dalam pengangkatan duta besar. Sekarang tidak mudah untuk mengangkat duta besar. Sampai sekarang ini, kita menjadi satu-satunya negara di dunia ini yang proses pengangkatan duta besarnya paling mbulet. Karena selain harus mengikuti fit and proper test, juga harus melalui sekian langkah di depan parlemen. Ini menambah proses menjadi semakin panjang, dulu itu bahkan sampai enam bulan. Padahal dalam praktik hubungan antar negara, tiga bulan tidak dijawab permintaan duta besar asing itu sudah dianggap sebagai penolakan. Terpaksalah kita harus menjelaskan kepada pihak-pihak itu bahwa beginilah proses yang ada di negeri kami. Komisi Konstitusi sudah mulai ingin mengoreksi hal-hal semacam ini. Saya katakan lagi bahwa memang pendulum ini masih mencari titik tengahnya. Kita harapkan dengan pemilihan presiden secara langsung, kita semakin mudah melalui hari-hari di masa yang akan datang.

Saudara-saudara sekalian,
Di tempat kita berkumpul pagi ini, masih pada masa pendukukan Jepang, Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang anggotanya terdiri dari 60 orang, kemudian ditambah 6 menjadi 66 orang, mengadakan sidang di ruang ini antara 28 Mei sampai 17 Juni 1945. Kemudian, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang anggotany 21 orang, kemudian ditambah 6, mengadakan pertemuan sehari setelah pertemuan pada tanggal 18-22 Agustus 1945. pada pembicaraan BPUPKI 28 Mei-17 Juni 1945, para pendiri republik ini sudah membicarakan dasar-dasar negara. PPKI pada 18-22 Agustus 1945 lebih khusus lagi membicarakan mengenai undang-undang dasar yang kemudian kita kenal UUD 1945, juga mengangkat presiden dan wakil presiden. Karena ketika Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks proklamasi, beliau masih menyatakan ‘atas nama bangsa Indonesia’, karena belum diangkat, negaranya belum didirikan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, di ruang sana [sambil menunjuk ruang di belakang audien-red] tempat kita makan siang nanti, naskah rancangan UUD dibicarakan dan disahkan. Kemudian diadakan pemilihan yang secara aklamasi mengangkat Soekarno dan M. Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.

Di ruang ini, oleh BPUPKI dibicarakan tentang dasar-dasar negara. Sangat penting untuk mengangkat ini dalam pertemuan kita, bahwa dari 66 anggota BPUPKI yang paling mencolok adalah di situ sama sekali tidak ada wakil dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena tokoh-tokoh komunis sebelumnya sudah diasingkan karena mereka pernah memberontak pada tahun 1926, juga 1932. Kalau kelompok yang lain hampir semuanya ada, mewakili etnis, aliran nasional dan Islam. Tokoh-tokoh Islam yang kita kenal seperti KH. Abdul Wahid Hasyim ayahanda Gus Dur, Kiai Bagus Ali Kusumo. Jauh sebelum Iran mendirikan negara Islam Republic of Iran, di negara ini sudah dibicarakan, yang paling penting adalah apakah Indonesia akan berdasarkan Islam. Dengan kata lain, apakah kita akan mendirikan suatu Republik Islam Indonesia?

Penting untuk dibaca, pandangan Kiai Bagus Ali Kusumo yang beliau memang mengusulkan dan membela agar negara yang didirikan nanti adalah negara Islam. Tapi seperti yang saya katakan tadi, perbedaan yang ada dilakukan dengan sangat santun, seperti yang ada di parlemen Inggris. Berbagai kalangan baik dari nasionalis, agama, semuanya sangat santun. Suasananya sangat harmonis. Dan sepertinya kita sudah selesai, mengenai apakah kita ingin negara Indonesia yang Islam, atau negara sekular? Tapi satu hal yang mereka catat bahwa Indonesia sebagai bangsa tidak didasarkan pada konsep ras atau suku, dengan kata lain, pandangan kebangsaan itu kuat. Ini yang kadang masih dianggap oleh beberapa orang di Barat kita itu aneh. Irian misalnya, yang secara suku dan ras jauh sekali perbedaannya dengan saudaranya di Jawa, seharusnya —kata mereka— tidak masuk Indonesia. Mereka menganggap Irian lebih baik masuk ke Papua Nugini. Mereka lupa, bahwa negara bangsa, nation state yang kita dirikan itu memang mendasarkan pada paham kebangsaan, tidak melihat ras, etnis dan lain sebagainya. Kalau mau jujur juga, antara Skotlandia, Inggris dan Wales juga tidak sama. Di AS juga, orang kulit putih dengan penduduk asli juga beda.

Mengenai pilihan antara Indonesia yang sekular atau negara yang berdasarkan agama, kadang harus kita selami dulu pengertian negara sekular itu. Menurut pengalaman pada konsep pendirian negara bangsa, sekular dimaksudkan adanya pemisahan yang tegas antara negara dan agama. Kita tidak boleh lupa ketika pada suatu periode yang cukup lama di Eropa, gereja itu mempunyai peran yang besar dalam negara. Titik baliknya adalah setelah perang selama 30 tahun pada tahun 1648, konsep negara bangsa muncul. Di AS, ada break (lalu) berdoa ketika waktu sekolah itu dilarang. Karena mereka konsisten dengan pemisahan yang tegas antara negara dan agama itu. Kalau orang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang sekular itu tidak benar. Karena pendiri republik ini justru pada akhirnya bersepakat untuk kita mengambil jalan tengah. Tidak sekular dalam pengertian Barat karena di Indonesia prinsip nomor satu dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara tidak bisa mengabaikan itu. Tapi juga negara berkewajiban memajukan kehidupan beragama. Makanya ada Departemen Agama.

Lihat di negara Timur-Tengah/Arab. Contohnya saja Mesir, ada Departemen Wakaf, itu hanya mengurusi wakaf dan agama Islam saja. Tapi di negara kita, Depag mempunyai direktorat yang mengurusi Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Karena kita konsisten bahwa negara berkewajiban ikut memajukan kehidupan beragama. Tapi kita juga ketahui bersama, selama 59 tahun sejarah kita, konsensus mengenai hal ini setiap kali mengalami usulan kalau tidak dibongkar ya dipertanyakan. Tahun 1950-an kita mengalami pemberontakan DII/Darul Islam Indonesia, dll. Termasuk dengan kekerasan, membajak pesawat dll. Ada yang secara terbuka, juga ada yang lewat bawah tanah. Ada juga yang lari ke negara tetangga. Dan dengan dihapuskannya UU Subversi pada tahun 1999, mereka sebagian ada yang kembali.

Yang juga menjadi catatan dalam 59 tahun sejarah kita, ada benang merah bahwa usaha melalui cara kekerasan untuk membongkar kembali konsensus 1945 tentang dasar negara itu tidak mendapat dukungan luas. Dan itu tidak pernah berhasil, baik secara bawah tanah maupun terbuka. Jadi saya anggap penting untuk Saudara-saudara memahami kembali proses negara ini agar kita tidak terjebak pada suatu kubangan perbedaan pendapat yang dapat membawa kita kembali berpikir untuk membongkar-pasang tatanan-tatanan dasar negara ini. Karena bisa habis waktu kita hanya untuk itu. Padahal dunia terus bergulir, negara lain bergerak melangkah maju.

Saya pernah mendengar Lee Kuan Yew, Menteri Senior Singapura, yang dengan sangat bangga melihat kemajuan negaranya. Bahkan sampai bilang, Singapura lebih maju 20 tahun dibandingkan negara tetangganya. Nah, apakah kita masih bicara mengenai bongkar-pasang? Dengan penuh penghargaan atas karya para republik ini, maka tantangan kita generasi muda adalah bagaimana membuat Indonesia ini lebih maju, tentram juga disegani dan dihormati.

Sebagai Menteri Luar Negeri, rasanya paling enak kalau kita itu tidak punya hutang banyak. Rasanya kok, kita akan mudah menjalankan politik bebas-aktif. Tapi di zaman globalisasi ini, ada keterkaitan erat, tidak hanya antar negara tapi juga antar masalah. Kalau kita galak sedikit, di sana sudah mulai bicara, “Hutang Anda sudah jatuh tempo.” Walaupun tidak mengurangi sebetulnya keinginan kita untuk bersuara lantang menentang hal-hal semacam serangan militer AS terhadap Irak dan sebelumnya atas Afghanistan. Dengan tegas kita menolak perang, menolak unilateralisme yang dikembangkan AS. Dan pada akhirnya, AS sendiri yang mengatakan pada kita, bahwa AS sendiri mengerti Indonesia akan bersuara seperti itu. Dalam hati saya, baru tahu ya... hehe... Ini tidak mudah, sebab negara lain yang baru mulai akan bicara lantang saja, mulut belum sempat bicara tapi kaki sudah diinjak, tidak jadi bersuara. Itu banyak. Lihat saja negara-negara Arab. Karena kita memang ada kesamaan persepsi, tidak hanya di kalangan pemerintah, tapi juga di kelompok-kelompok masyarakat, semuanya menentang perang. Saya sudah mengantisipasi sejak serangan 11 September 2001, serangan AS atas Afghanistan, kampanye AS melawan Irak atas tuduhan nuklir. Kita sudah antisipasi akan konsekuensinya. Pertama, yang kita khawatirkan dari serangan AS atas Irak ini, akan ditafsirkan oleh sebagian kalangan sebagai perang Barat terhadap Islam, terlebih lagi perang Kristen melawan Islam. Apa dampaknya?

Apa yang kami lakukan di ruang ini, mengundang para tokoh agama; Hasyim Muzadi, Syafii Maarif, juga tokoh-tokoh agama lain, mengajak rembugan. Yang saya sangat kagumi bahwa kita sadari bahwa perang tidak bisa dielakkan. Selain itu, baik pemerintah maupun tokoh-tokoh agama sama-sama mencegah terjadinya perang. Kita juga berkunjung ke Australia, Eropa. Kita tahu juga, di negara-negara Eropa, rakyat mereka juga menolak perang. Jadi kita menggabungkan suara kita dengan suara yang lebih besar. Tapi kesepakatan bahwa —ini yang saya kagumi— perang AS terhadap Irak pasti akan merobek Irak tapi jangan merobek diri kita sendiri. Yang dikhawatirkan, akan adanya imbas negatif dari perang itu terhadap kita, entah itu konflik antar kelompok, antar agama... Alhamdulillah, sampai demonstrasi 300 ribu orang di Jakarta semuanya aman dan tidak ada masalah. Pernah suatu ketika, CNN merekam di tengah demonstrasi ratusan ribu umat Islam itu, berjalan seorang suster Katolik nyatanya tidak diapa-apakan. Ini kan, menurut mereka, aneh sekali bisa terjadi. Kekhawatiran dunia luar bahwa reaksi di Indonesia akan membuat orang asing tidak aman. Ya kita katakan, kita jamin tidak akan ada razia atau sweeping terhadap orang asing. Jangankan orang asing, rumput pun tidak terinjak. Betul itu! Karena tertib sekali demonstrasinya. Jadi di situ saya tahu, kalau kita kompak kita dapat meneguhkan suara kita, suara kita yang kita tampilkan lebih lantang. Ini juga bukan hanya suara pemerintah, suara 200 juta orang di belakang pemerintah.

Kita harus akui, diplomasi itu tidak hanya monopoli suara pemerintah. Kita juga harus sedapat mungkin mengakomodasi semua suara yang ada. Sebab di negara seliberal AS pun, kalau sudah bicara politik luar negeri, Partai Demokrat dan Partai Republik jadi satu suara. Yang susah adalah kalau kita pecah sendiri. Sejak kejadian 11/9 memang keadaan lebih susah. Bicara masalah terorisme misalnya, di DPR saja suara kita sudah pecah. Ada yang bilang, “Ah, Pak Hassan bicara terorisme kan hanya tekanan AS”. Padahal itu kan tidak. Kita harus sadari, bahwa sejak sebelum 11/9 terjadi beberapa kali pengeboman di Indonesia, apakah itu bukan tindak terorisme? Ini merupakan ancaman. Baru pada 12 Oktober 2002 terjadi pengeboman di Bali, membuka mata kita bahwa memang kita punya kelompok dalam masyarakat kita sendiri yang terlibat tindak terorisme. Sayangnya lagi, mereka mengatasnamakan sebagai Islam. Karena itu, lalu saya mengatakan bahwa memang ada kelompok di Indonesia yang melakukan teror dan itu bukan hal baru. Tapi saya juga katakan bahwa mereka adalah kelompok minoritas yang sama sekali tidak mendapatkan dukungan masyarakat, termasuk umat Islam di Indonesia. Sebab saat ini sebagian besar umat Islam di Indonesia adalah moderat. Makanya Anda tidak perlu kebakaran jenggot. Percayalah pada kita bahwa kita akan mampu menangani hal itu.

Kita sudah buktikan bahwa sejak peristiwa Bali, dalam waktu satu bulan kita mampu menangkap pelakunya, membongkar jaringannya dan membawa mereka ke pengadilan. Bayangkan saja, di AS sampai sekarang siapa yang dituduh berada di balik 11/9 tidak pernah diadili. Di tempat lain juga begitu.

Dari proses selama lima tahun ini, saya melihat ada dua hal yang merupakan hasil besar. Pertama, demokrasi, karena itu memang jualan saya. Bagaimana kita bisa memajukan kehidupan demokrasi di Indonesia. Dan sekarang yang sedang kita garap adalah ASEAN. Kita berharap ASEAN menjadi lingkungan kerjasama 10 negara yang demokratis. Saya bangga mendengar 2 bulan lalu bahwa Sultan Brunei akan membentuk suatu parlemen melalui suatu pemilu. Itu kemajuan, kesadaran mereka sendiri. Kedua, aset negara kita yang juga sangat mahal adalah Islam yang moderat. Jadi karena itu kita mengambil inisiatif, ketika Islam dipojokkan setelah peristiwa 11/9 maka kita sebagai Islam yang moderat tampil. Bersama dengan PBNU, pada Februari kemarin Deplu RI mengadakan International Conference for Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta. Hadir sekitar 300 orang dari 43 negara, baik scholars yang Muslim, ada juga yang non-Muslim. Sasarannya adalah bagaimana memajukan Islam yang rahmatan lil `âlamîn. Sebab di tengah perdebatan tentang terorisme kita memang berkewajiban menampilkan di mata dunia bahwa Islam tidak memperbolehkan teror. Di Barat memang sering digambarkan bahwa Islam identik dengan tindak kekerasan. Nah, kita bantah bahwa Islam sebetulnya juga melarang tindak kekerasan. Teroris yang mengaku sebagai Islam itu juga tidak betul. Rahmatan lil `âlamîn, itulah wajah Islam yang sebenarnya.

Di ICIS ini kita cukup berhasil. Karena dalam pembicaraan lingkungan antar negara, khusunya di OKI, itu tidak gampang. Presiden Musharraf itu mengusulkan kata moderation, tapi dijegal sana-sini oleh berbagai pihak. Karena itu lebih mudah kita galang lewat kaum intelektualnya/scholars.

Selain itu, kita juga perlu menggiring perdebatan tentang Islam yang dikait-kaitkan dengan terorisme. Maksud saya, kita berkepentingan untuk memajukan kelompok-kelompok moderat dalam Islam. Saya tahu perbedaan antara kelompok fundamentalis dan moderat dalam Islam mungkin sangat missleading. Tapi saya bicara dalam konteks bicara dalam moderat Islam di Indonesia. Tahun lalu, di sela-sela pertemuan APEC setingkat menteri, mereka ingin tahu sejauh mana perspektif negara terhadap Islam dalam Indonesia yang besar ini, terutama kaitannya dengan terorisme. Saya katakan, seperti kita sudah buktikan bahwa terhadap beberapa pengeboman di sana-sini, kita mampu usut itu. Untuk menumpas mereka juga kita tidak banyak kesulitan. Kita berhasil. Maka untuk melawan tindak terorisme kita lawan dengan memajukan kelompok-kelompok moderat dalam Islam. Pada umumnya mereka akhirnya sepakat. Sehingga pada sekitar 4 minggu yang lalu, kita bertemu tanggal 2 Juli di sini tingkat ASEAN, banyak yang mengangkat keperluan untuk memajukan, mendorong dan membantu kelompok moderat. Ini yang kita akan dorong terus.

Saya juga sudah katakan pada PP Muhammadiyah, kita minta kepada mereka agar menjadi mitra kami untuk mengadakan konferensi regional, untuk mengundang unsur-unsur agama lain. Dalam pertemuan yang dirancang akhir tahun, ini juga untuk membuka suatu kesalahan persepsi di pihak lain/Barat tentang Islam. Dari situ kita juga ingin mendorong proses ekonomi agar berkembang lebih maju. Juga merupakan bagian dari public relations kita dunia Islam. Ini tantangan kita semua. Kalau pada Februari lalu ICIS pusatnya ada di PBNU, maka kini pihak PP Muhammadiyah juga bilang, “Pak, kita kok tidak kebagian?” Ya sudah, kita carikan dan pada tingkat ASEAN ini bagiannya PP Muhammdiyah.

Yang dengan PBNU masih akan berlanjut karena kesepakatannya adalah konferensi besar ICIS itu akan berlangsung tiap 2 tahun. Tapi di antara 2 tahun itu kita dorong agar terbentuk semacam seminar kecil, workshop atau lokakarya dsb, agar lebih fokus pada masalah tertentu. Maka kita harapkan kaum intelektual Islam, khususnya mahasiswa Indonesia di Kairo dapat memberikan sumbangan pemikiran bagaimana kita bersama-sama memajukan dunia Islam khususnya dalam perkembangan dunia dewasa ini. Untuk menjawab banyak pertanyaan, hal-hal hubungan kita dengan dunia luar.

Jadi tidak mudah sebagai Menlu pada era sekarang ini, karena memang makin disadari, aktor-aktor hubungan luar negeri juga makin banyak. Kami akui masing-masing punya peran. Yang penting sekarang adalah bagaimana kita merangkul semua. Seperti contoh tadi yang paling menggembirakan adalah kasus perang Irak. Jadi jangan kaget kalau melihat Menlu ikut dalam istighotsah. Mungkin baru pertama kali dalam sejarah, Menlu berkunjung ke PM Gontor.

Tidak kurang juga secara berkala di gedung ini kami adakan pertemuan-pertemuan tokoh agama. Hal seperti ini bagi saya bukanlah sesuatu yang baru. Sebab di Kairo dulu saya juga begitu. Tiap minggu mengadakan pertemuan, dialog atau seminar. Alhamdulillah dengan proses seperti itu kita bisa semakin dekat antara satu dengan yang lain.

Saya kira demikian hal-hal yang dapat saya sampaikan pada pertemuan kita pagi ini. Saya berharap Orientasi Karya PPMI Mesir ini akan menambah informasi bagi Saudara-saudara tentang perkembangan situasi terakhir di negeri ini. Memang dalam era sekarang mudah mendapatkan informasi melalui internet. Tapi kalau kita hanya stop opname terhadap berita dan fakta yang disajikan melalui media ini, bisa-bisa kita lupa pada konteks yang sebenarnya. Nah, dengan kunjungan Saudara-saudara sekalian di tanah air, diharapkan dapat mengingatkan kembali pada konteks yang sebenarnya.

Sebagai mantan Duta Besar RI di Kairo, saya akui, sejak tahun 1981 menjalani karier di Deplu RI, saya menganggap penting dialog dengan para mahasiswa. Selain itu, saya berharap, Saudara-saudara yang sudah mendapatkan kesempatan untuk belajar di luar negeri seperti kalian saat ini, untuk segera menyelesaikan masa belajar dengan lebih efisien dan bisa segera mengimplementasikan apa yang diperoleh kepada masyarakat demi kemajuan agama, bangsa dan negara.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

R Sesi Dialog

KETERANGAN: PERTANYAAN-PERTANYAAN DARI AUDIENS TIDAK TEREKAM

Dari Saudari Sri Sabahatun;
· Tentang usaha pemerintah dalam menjalin kerjasama dengan negara-negara Arab;
· Perlindungan pemerintah terhadap WNI di luar negeri.

Dari Saudara Najmul Falah
· Berdasarkan media yang meberitakan bahwa di Indonesia terdapat + 3000 intel asing; bagaimana upaya pemerintah untuk meminimalisir keberadaan mereka di Indonesia;
· Apa saran Bapak Menlu, khususnya bagi mahasiswa Indonesia di Mesir untuk mengembalikan citra baik bangsa Indonesia.

Dari Saudara Muhammad Ridwan
· Apakah ada peluang bagi alumnus Timur Tengah, khususnya Mesir untuk berkiprah di Departemen Luar Negeri;
· Harapan Mahasiswa Indonesia di Mesir kepada Departemen Luar Negeri untuk mempermudah proses perolehan visa bagi calon mahasiswa yang akan belajar di Mesir.

Menlu RI:

Yang pertama, soal perkembangan di Timur Tengah. Saya akui perkembangan politik di Timteng sangatlah dinamis. Saya amati bahwa karena tuntutan dalam negeri masing-masing dan juga sedikit bnayak tekanan dari luar, saya lihat sudah mulai ada proses demokratisasi. Negara-negara kecil pada umumnya lebih fleksibel, seperti Qatar, Kuwait dan Bahrain. Tapi persoalan besar memang dihadapi di Saudi Arabia. Ada tuntutan yang makin kuat dari dalam negeri atas dua hal saya kira, yaitu pertama terhadap peranan kerajaan yang terlalu dominan juga semacam monopoli kehidupan keberagamaan. Jadi sudah mulai ada kata-kata diproses di mana akan dibentuk suatu majlis, belum meruapakan parlemen karena mereka ditunjuk, bukan dipilih. Tapi pada tingkatan wali kota saya dengar sudah akan ada pemilihan. Itupun bukan pemilihan secara langsung semacam dipilih. Ini akibat kombinasi dari beberapa hal saya kira. Termasuk juga karena beberapa waktu lalu, sekitar tahun 1970 dan 1980-an adanya ribuan mahasiswa Saudi yang dikirrim untuk belajar di luar negeri, termasuk ke Amerika Serikat, pulang dengan titel doktor, tapi kunci-kunci kekuasaan masih dipegang oleh keluarga kerajaan. Mereka juga akhirnya merasa tertekan, tidak mendapatkan peluang untuk berbuat yang lebih baik. Terakhir, perubahan yang dilakukan Saudi juga akibat dari adanya beberapa kali tindak terorisme di luar Saudi yang pelakunya banyak warga negara Saudi. Bahkan ditengarai adanya aliran dana dari Saudi yang oleh kelompok tertentu digunakan untuk tindak terorisme.

Nah, kombinasi faktor dari dalam dan luar negeri ini, yang kemudian membuat Saudi merasa perlu membuat tindakan pembaharuan. Tapi saya lihat, kalau dibandingkan negara lain, apalagi yang kecil-kecil seperti Qatar, Saudi akan membutuhkan waktu yang lebih lama.

Sejak peristiwa 11/9 tahun 2001 itu, saya rasa memang Saudi lebih ramah. Kalau dulu kan, yang namanya teman Saudi ya hanya AS itu saja. Kemarin ketika Menlu Saudi ke sini, saya merasa mereka sekarang tampak lebih bersahabat, merasa seperti saudara sendiri saja. Maklumlah, Indonesia memang negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Itu dari satu sisi. Pada sisi lain, orang-orang Arab Timteng, dalam hal ekonomi mereka tidak menggunakan sentimen keagamaan. Misalnya karena kita berpenduduk Muslim terbesar, lalu mereka banyak menanamkan investasinya di Indonesia. Tidak bisa seperti itu. Sebab yang namanya bisnis, yang dipikirkan adalah untung-rugi, bukan masalah agama. Kalau dalam hal sosial, tentu saja mereka mengedepankan sentimen keagamaan. Namun dalam hal ekonomi, tentu saja kita tidak dapat mengharapkan sesuatu yang tidak realistis, bisa-bisa kita kecewa karena salah menaruh harapan.

Apakah pernah kita dengar, ada perusahaan Arab, dari Qatar, Kuwait dsb mempunyai perwakilan di Indonesia? Memang tidak ada. Namun, mereka mengatakan pada saya ketika saya berkunjung ke negara teluk tahun 2002, bahwa sebenarnya mereka banyak mempunyai investasi di Indonesia. Hanya saja, modal investasi itu mereka titipkan lewat perusahaan internasional. Karena mungkin memang hal seperti itulah yang lebih menguntungkan menurut mereka. Daripada harus capek-capek mengurusi semuanya sendiri, lebih baik mereka sekadar menitipkan modal mereka pada perusahaan di Eropa dan Amerika untuk berinvestasi di negara seperti Indonesia.

Dengan kata lain, kalau kita ingin mengajukan penawaran kerjasama dagang dan investasi, ukurannya ya memang ukuran keuntungan, sama dengan kalau kita atau mereka menjalin hubungan dagang dengan negara lain. Dengan kata lain, hal-hal seperti keamanan untuk investasi, prospek kepastian hukum, tidak ada korupsi, kenyamanan para investor, itu hal yang perlu diperhatikan. Jadi tidak bisa secara serta-merta kita mengatakan, “Hei, saudara-saudara Anda yang beragama Islam di Indonesia mengharapkan investasi.” Itu logisnya duit, bukan logis keagamaan.

Kemudian, menyangkut demokrasi, kita saat ini memang sedang memfokuskan pada negara-negara ASEAN dulu. Dengan negara-negara Arab, kita harus hati-hati kalau bicara ini. Karena memang, mudah sekali kita disangka terlalu ngajari atau campur tangan. Yang saya tahu, memang ada antusias besar. Yang mungkin dirasakan di negara Arab adalah adanya pressure/tekanan AS ke arah satu konsep, yang sepertinya merupakan penghormatan terhadap demokrasi dan HAM. Permasalahannya kan, yang namanya demokrasi tidak bisa dipaksakan atau dijejalkan kepada pihak lain. Pada sisi lain, demokrasi ini juga dikhawatirkan oleh negara-negara Arab. Liga Arab pun, khawatir eksistensinya bisa tenggelam, atau bahkan bisa bubar. Kita tahu sendiri, memang angin demokrasi di negara Arab sangatlah lamban. Presiden Husni Mubarak sendiri sudah berkuasa sangat lama, sejak 1981.

Kemudian mengenai keberadaan 3000 intel asing di tanah air, saya tidak tahu itu angkanya darimana. Ada memang intel yang secara terbuka mengakui seperti misalnya perwakilan CIA di sini, mereka memang datang dan mengatakan bahwa ini loh perwakilan kami di Indonesia. Di luar itu juga memang banyak yang secara tertutup. Namanya juga intel.

Namun untuk mengatakan jumlahnya sampai 3000 orang, saya kok meragukan hal itu. Sebab yang namanya intel itu kan operasinya pasti rahasia, kecuali intel Melayu kali ya, hehe... Intel itu kan tugasnya mengumpulkan informasi. Sedangkan di negara kita, orang dengan baca koran, internet tiap hari saja itu sudah cukup untuk mengetahui apa yang terjadi di Indonesia. Ya itu memang konsekuensi dari Indonesia yang lebih transparan. Lebih terbuka. Memang ada juga tentunya dari proses kenegaraan kita yang klasifikasinya adalah rahasia. Tugas diplomat salah satunya kan mengumpulkan informasi, secara terbuka tentunya, berbeda dengan intel yang beroperasi secara tertutup.

Saya kok tidak terlalu khawatir. Dari segi jumlah saja, saya sangat meragukan hal itu. Memang kita harus tetap waspada, tahu benar atau tidaknya 3000 intel asing ini, tapi sebagai pengelola negara kita harus tahu hal-hal mana yang harus kita rahasiakan. Karena itu saya paling marah kalau dengar proses pencalonan Dubes kita yang sedang diproses di DPR disebut-sebut segala macam. Lagi pula kadang, anggota DPR sendiri yang angkat bicara. Koran yang mengangkat itu saya bilang itu harus dikasih surat protes keras, karena itu rahasia negara. Sampai dengan negara penerimanya memberikan sura persetujuan itu kita tidak boleh mengelarnya ke publik. Ini tidak, anggota DPR sendiri yang ngomong ke sana kemari. Padahal ini rahasia negara!

Tentang citra mahasiswa kita di mancanegara. Pertama, tentu saja itu sangat terkait dengan mahasiswa itu sendiri. Sebagai mahasiswa, warga negara yang hidup di negara lain, prinsip hidup di mana bumi berpijak di situ langit dijunjung itu ya harus kita lakukan. Kita harus menghormati aturan, budaya, tata krama dan hukum di negara mana kita hidup. Sebagai mahasiswa ya tentunya harus membuat citra yang baik. Sehingga kelompok masayarakat di tempat itu akan melihat, mahasiswa Indonesia itu rajin, suka kerja keras, disiplin dll.

Yang juga terjadi, peristiwa-peristiwa yang terjadi di tanah air, terkadang juga kita kerap harus menanggung dampaknya. Saya pernah ke restoran Itali, ditanya seorang pelayan berasal dari mana, saya bilang bahwa saya orang Indonesia. Dia malah langsung menaruh tangannya di leher, seperti orang menggorok leher begitu. Ini soal citra! Karena memang di kita pernah ada pembunuhan yang sangat sadis dan tak manusiawi. Itu waktu itu tidak lama memang dari peristiwa Sampit. Dimana gambar orang Dayak menenteng kepala orang Madura disorot luas oleh media internasional. Itulah gambaran orang Indonesia yang buas. Begitulah citra kita di mata mereka. Itu hanyalah seorang pelayan, yang mungkin saja tak tahu bahwa di depannya adalah seorang Menteri Luar Negeri. Begitulah, ini yang mudah melekat.

Dengan kata lain, citra itu tidak bisa dengan dipidatokan, tidak bisa kita hanya jual omong. Tapi apa yang nyata terjadi. Diplomasi memang punya peluang untuk menjelaskan, yang begini benar yang begitu salah dst. Tapi mau bagaimana lagi, kita tidak bisa berbohong, wong para wartawan juga bisa langsung melihat kejadian-kejadian sadis seperti di Sampit. Tapi juga jangan dianggap itu citra kita keseluruhannya. Nah, itu juga kewajiban Saudara-saudara sekalian untuk menjelaskan. Ini memang tugas tidak mudah.

Soal perekrutan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Deplu... sebetulnya tahun lalu kita menerima beberapa alumni Al-Azhar. Karena memang kita ada penerimaan pegawai dengan beberapa kualifikasi khusus. Jadi memang tidak tertutup peluang bagi alumni Kairo untuk berkiprah di Deplu. Tahun lalu memang kita merekrut 100 pegawai baru. Semuanya harsu berlangsung secara jujur, bersih, fair. Jadi jangan berharap macam-macam, yang penting ada kemampuan untuk bersaing dengan peserta seleksi yang lain. Tidak boleh ada sogok, katebelece dsb. Karena saya memang ingin menyelenggarakan pemerintahan yang benar-benar bersih, merekrut tenaga-tenaga terbaik.

Mengenai fasilitas atau kemudahan visa bagi calon mahasiswa, saya rasa sebenarnya kalau terasa ada kesulitan pada permohonan visa, itu bukan terletak pada Kedubes Mesir di Jakarta, tapi seringkali karena kita sendiri memang yang kurang cepat bergerak. Setahu saya selama dua tahun berada di Kairo, itu sering kali justru proses di kita yang lama sehingga pengajuan visa jadi terlambat. Tapi kalau kemudian memang ada terjadi proses yang dipersulit di pihak Mesir, ya silakan laporkan pada kami dan insya Allah akan kami usahakan mencari jalan keliarnya.

Mengenai masalah TKI, sejak awal kami sadari bahwa perlindungan terhadap warga negara di mana pun berada itu adalah amanat konstitusi. Ini kami pihak Deplu RI sangat tekankan. Dalam pengajuan Undang-undang Hubungan dengan luar negeri, saya dulu ang mengusulkan dimasukkannya fungsi perlindungan terhadap warga dalam fungsi diplomasi. Seiring dengan era globalisasi yang makin membuat dunia ini terasa makin sempit, di mana lapangan kerja di luar negeri juga makin banyak dan makin mudah, konskeuensinya tentu saja makin besar tanggung jawab kita untuk melindungi warga negara yang berada di luar negeri. Nah, karena itu pula, dalam struktur Deplu yang baru, terdapat Direktorat Perlindungan WNI dan BHI (Badan Hukum Indonesia). Kemudian, kami juga berupaya untuk memajukan budaya kerja di lingkungan Deplu.

Selanjutnya, kami ingin menjadikan perwakilan Indonesia di luar negeri, sebagai rumah yang ramah bagi warga kita. Dalam masalah perlindungan WNI, maka yang kami ajukan adalah tema kepedulian dan keberpihakan. Peduli pada warga kita yang mengalami kesulitan dan berpihak untuk membantu mereka. Ini bukan slogan ya. Tapi ini merupakan pengalaman kami sendiri, seperti contohnya ya di Kairo itu. Ketika waktu itu kita diterpa oleh krisis moneter, pada awal Januari 1998, bulan puasa saya adakan buka puasa bersama para tokoh mahasiswa. Karena memang waktu itu kita benar-benar merasa kesulitan untuk hidup. Bahkan yang sangat saya ingat, di mana kalau berbuka kita ‘menyerbu’ tempat-tempat ada buka puasa gratis. Bahkan lebih dari itu, pulang dari buka puasa kita juga masih membawa bekal untuk sahur nanti. Betul bukan?

Nah, pilihan yang saya ambil waktu itu adalah dengan memulangkan separuh mahasiswa yang ada. Saya bilang pada Menteri Agama waktu itu Prof. Dr. Quraish Shihab, bahwa pesawat yang mengangkut jamaah haji, kosong dari Jedah dibelokkan ke Kairo dulu untuk mengangkut mahasiswa kita. Tapi alhamdulillah dengan kerja keras bersama, tim penanggulangan krisis bersama kita bisa mengatasi itu semua. Dan satu bulan tim ini bekerja, pada 1 Februari 1998, pertama kali dalam sejarah kita, 1500 mahasiswa kita berkumpul di Auditorium Fakultas Tarbiyah untuk mengadakan tasyakuran, karena kita bisa mengatasi masa-masa sulit. Memang bagi saya waktu itu, tidaklah sulit untuk mendapatkan bantuan dari Qatar yang besarnya sampai 50.000 (tidak dijelaskan mata uangnya), dari IDB kita juga dapat 16.000 USD. Nah, kata kunci dari semua itu memang tranparansi dan kejujuran dalam mengelola itu semua. Semua penerima kita data secara rapi, namanya lengkap dengan foto, alamatnya, tiap bulan dapat bantuan dari mana saja dst. Maka banyak juga ada masjid yang memberi bantuan kepada 40, 50 atau 100 orang tiap bulan, atau juga pengusaha atau bahkan orang-orang yang tidak mau disebutkan namanya. Kita katakana pada mereka ini pertanggungjawaban kita. Makanya mereka percaya karena kita memang punya data yang valid. Ya saya katakan juga pada mahasiswa bahwa ini semuanya adalah amanah orang.

Waktu bertemu dengan Grand Syaihk Al-Azhar waktu itu, beliau bilang pada saya. “Saya menghargai maksud baik Duta Besar RI untuk memulangkan mahasiswa Indonesia yang sudah tak memiliki biaya untuk hidup. Tapi cobalah kita pikirkan lagi bagaimana caranya mereka dapat bertahan. Seba malu bagi bangsa Mesir, melihatnya suadar-saudaranya dari Indonesia harus memutuskan waktu belajar karena tidak mampu lagi membiayai hidup sehari-hari. Mari kita bersam-sama cari solusinya.”

Maka sebagai amanat, kita sebagai mahasiswa harus belajar lebih rajin. Dan alhmadulillah justru pada masa sulit seperti itu, angka kenaikan kelas dan prestasi akademik mahasiswa kita jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Ini pertanggungjawaban kita pada amanah orang lain. Dan saat tsayakuran di Auditorium Fakultas Tarbiyah itu ada anak muda yang menjumpai saya, “Bapak Duta Besar, saya minta nomor account bank karena saya juga ingin menyumbang untuk mahasiswa Indonesia.” Seperti itu... ini merupakan kepercayaan orang lain karena kita memang mengelola semuanya secara jujur dan transparan. Dan... masih banyak lagi cerita yang mengharukan bagi saya ketika menjabat Dubes di Kairo.

Nah, itu merupakan bukti bahwa kami benar-benar ingin adanya kepedulian dan keberpihakan. Sebab bagi saya itu bukan hanya slogan, tapi pengalaman saya bersama kalian semua di Kairo. Ini yang ingin saya jadikan sebagai sikap dan budaya kerja di lingkungan Deplu RI.

Juga ketika waktu itu Idul Fitri, Januari atau awal Februari 1998, saya tanya staf saya, di mana saya akan menyalami mahasiswa usai shalat Id? Dia katakan biasanya ya di sini Pak, di tangga. Tapi saya protes, kenapa di tangga? Kenapa tidak di dalam saja? Ini kan rumah Republik Indonesia? Akhirnya memang semua dipersilakan masuk. Dan itu adalah mahasiswa Kairo untuk pertama kalinya masuk ke dalam Wisma Duta. Apa sih ruginya, wong itu rumah dibeli juga dari uang rakyat, kasarnya begitu. Maka berbahagialah mahasiswa, sebagian foto bersama di dalam. Ya tidak ap-apa, tidak ada yang rusak kok. Kalaupun kotor sedikit juga ada banyak pelayan Wisma yang membersihkan. Ini soal sikap mental.

Saya bangga mengatakan ini semua pada Saudara, karena saat ini saya merasa berada pada posisi puncak untuk mendorong budaya kerja di lingkungan Deplu dan semua perwakilan RI di luar negeri yang berorientasi pada perlindungan. Kalau bicara soal perlindungan maka kita berada pada tema kepedulian dan keberpihakan.

Pihak Al-Azhar sendiri waktu itu terkagum-kagum. Karena ada begitu banyak dana di masayarakat yang kalau dikelola secara baik, semua itu keluarnya akan sangat mudah. Bahkan tidak itu saja, kita bahkan sampai ikut menyumbang mahasiswa Indonesia yang belajar di Khartoum, Sudan karena mereka memang tidak ada yang mengurusi. Bahkan lebih jauh dari itu, ada mahasiswa kita di Rusia yang minta juga ke kita. Ya kita kasih, karena memang siapa sih yang mau mengurusi mahasiswa Islam di Rusia? Ini merupakan pengalaman yang sangat mengesankan. Bahkan kalau ada yang tanya, “Pak, selama 30 tahun mengabdi di Deplu, apa pengalaman yang paling mengesankan?” Akan saya ceritakan apa yang terjadi di Kairo itu. Ini adalah hubungan batin kita, saya dan mahasiswa Kairo.

Masalah perlindungan TKI, saya rasa permasalahannya kadang tidak sesederhana yang kita bayangkan. Perwakilan kita di luar negeri, itu kebanyakan hanya sebagai muara permasalahan saja. Sebab dari hulu sebenarnya permasalahannya sudah sangat pelik. Sejauh penanganan masalah yang ada di hulu tidak baik, maka muaranya tentu saja makin kerepotan. Contoh saja, ada 150 orang kita yang datang ke Dubai, tapi sampai di bandara tidak tahu mau kemana. Karena dikatakan, berangkat saja ke Dubai nanti ada yang jemput. Sampai di Dubai tidak ada yang jemput tidak ada yang mengurus, no telpon pun tidak ada. Memang telah diakali di sini, bayar lima atau berapa juta, hanya dilepas sampai Dubai, Qatar, Kuwait dll. Belum lagi yang bermasalah dalam pekerjaan, lari dari majikan dsb...

Menurut pengalaman kita, perlindungan terhadap WNI di luar negeri itu bila dibanding-bandingkan antara negara satu dan yang lainnya, itu penanganannya lebih mudah pada negara yang sistem hukumnya lebih baik. Di Hongkong misalnya. Di situ ada 70.000 tenaga kerja kita yang sebagian besarnya adalah TKW. Tapi karena hukum yang ada di HK sangat ketat, termasuk juga hukuman terhadap majikan, maka perlindungannya lebih mudah. Termasuk soal kewajiban majikan, pembayaran gaji, perlakuan dsb. Begitu juga di Singapura. Meski beberapa kali terjadi kasus-kasus juga, tapi itu lebih banyak pada kasus seperti pembunuhan dll, bukan pada kasus pelanggaran kerja.

Yang memang sukar adalah pada negara-negara yang sistem hukumnya tidak berjalan dengan baik. Maaf saja, kita lihat di negara-negara Timteng. Ini bukan karena faktor agama, tapi lebih pada faktor budaya dsb. Ini juga terjadi di Malaysia. Tapi sebenarnya bagi TKI yang legal itu tidak ada masalah. Susahnya adalah kalau sudah datang ke Malaysia secara ilegal, ya kita tidak tahu. KBRI di KL tidak tahu keberadaannya, bekerja di mana dsb. Ini yang susah. Kita juga tidak pernah tahu berapa jumlah yang pasti TKI ilegal di Malaysia. Sebab wajar juga, kalau populasi penduduk asing sudah mau mencapai 10% dari penduduk setempat, wajar kalau mereka khawatir. Khawatir menjadi suatu ancaman. Ini kita maklumi.

Namun juga kita tegaskan, bahwa kami sedang mau pemilu, kami takut hal-hal seperti ini justru akan digunakan sebagai alat politis saja, yang kita takutkan justru mengganggu hubungan diplomasi. Makanya kita sepakat dengan pemerintah Malysia, semuanya akan diselesaikan setelah pemilu. Itu yang pertama. Yang kedua, pemulangan TKI ilegal ini akan dilakukan secara bertahap. Ini merupakan terjemahan dari tema kepedulian dan keberpihakan tadi.

Masih banyak hal-hal yang perlu kita benahi sebenarnya. Di antaranya cara perolehan papor. Orang Madura, bagaimana bisa dapat paspor di Indramayu? Karena KTP memang bisa diperoleh dengan mudah di mana saja. Umur... umur 15 dibilang 20. ini banyak terjadi. Kemudian urusan PJTKI dan Depnaker juga. Bukan saya mau mengurusi mereka, tapi saya bilang terang-terangan saja di parlemen, bahwa Deplu memang kena limbah masalahnya saja, masalah di muaranya. Maka saya marah kalau ada yang menuding ini karena diplomasi gagal. Nah, kok latah sih bilang diplomasi gagal tanpa tahu duduk perkara sebenarnya?

Kalau mereka mau tahu, di Qatar kita menampung 320-an orang (TKI ilegal). Padahal yang pasti kita tidak punya dana untuk itu. Untuk makan mereka, staf KBRI mengumpulkan dana sendiri, iuran. Seperti juga dulu di Kairo pada awal krisis, di sekretariat tim penanggulangan krisis ada beras sampai 12 ton. Itu dari mana? Ya iuran kita, kita usaha mencari sendiri. Mana ada dana dari pusat? Saya bukannya menepuk dada ya, tapi ini merupakan bentuk solidaritas kita sebagai sesama warga. Ini merupakan usaha bentuk kepedulian dan keberpihakan kita.

Permasalahannya memang sangat pelik. Sekarang ini TKI ilegal memang begitu mudah masuk negara lain. Kalau ada seseorang punya paspor, sekarang tiket Bandung-Kuala Lumpur paling 29 USD, jadi kalau besoknya mau kerja di Kuala Lumpur ya tinggal berangkat saja. Visa juga tidak masalah/tidak sulit karena kita sama-sama ASEAN. Lalu, perbatasan Kalimantan dengan Malaysia itu berapa ribu kilometer? Siapa yang bisa mempatroli lahan yang sedemikian luasnya? Tidak ada! Lalau selat Malaka. Dengan hanya kapal boat kecil saja bisa dengan mudah menyeberang ke Malaysia. Jadi ini persoalan yang harus kita antisipasi, yang tidak mudah kita selesaikan sepanjang ekonomi di dalam negeri tidak mampu menampung kebutuhan lapangan kerja.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

1 comment:

Anonymous said...

You joke?