Wednesday, April 12, 2006

Nonton Gratis a la Mahasiswa


Banyak jalan menuju Roma. Itulah kiranya yang menjadi inspirasi bagi beberapa mahasiswa Indonesia di Kairo yang hobi menonton bola. Piala Afrika ke-25 yang digelar di Mesir, tentu tak luput dari incaran perhatian mereka. Apalagi, negara-negara peserta Piala Afrika rata-rata memiliki bintang-bintang yang banyak berlaga di kompetisi Eropa. Hal ini tentu saja menambah semangat mereka untuk datang ke stadion.

Hanya saja, karena pertimbangan ekonomi, sementara harga tiket yang sebenarnya tidakterlalu mahal tetap susah dijangkau, ada saja akal-akalan para mahasiswa ini untuk menyalurkan hobinya. Dengan beasiswa yang rata-rata hanya sebesar 160 pound Mesir (atau sekitar 230 ribu rupiah) per bulan, mereka mencari cara bagaimana dapat menonton pertandingan-pertandingan bergengsi itu sehemat mungkin.


Nah, gayung bersambut. Di Kairo, terdapat sebuah asrama mahasiswa asing yang dihuni sekitar 2000 jiwa, berasal dari 83 negara. Asrama milik lembaga pendidikan Al-Azhar ini, kebanyakan penghuninya adalah orang-orang berkulit hitam dari berbagai negara Afrika. Maka pihak kedutaan besar negara-negara peserta Piala Afrika 2006 pun banyak mengandalkan asrama ini sebagai salah satu pusat pemberangkatan supporter mereka.


Beberapa mahasiswa Indonesia yang sehari-hari banyak bergaul dengan mahasiswa Afrika pun kena getahnya. Demi memperkuat tim supporter mereka, mahasiswa asal negara seperti Pantai Gading, Senegal, Nigeria dan lainnya yang tinggal di asrama itu juga mengajak teman-teman kenalannya untuk ikut datang ke stadion. Tentu saja, kompensasinya adalah tiket gratis. Transport dan bahkan kadang juga diberi makan kalau harus bertanding di luar kota Kairo, dan berangkat sebelum siang.


Warso Winata, mahasiswa asal Cirebon, mengaku lebih dari 3 kali ikut rombongan supporter dari negara-negara yang berbeda. Dia yang tinggal di asrama sejak pertengahan tahun lalu, juga sempat menonton pertandingan yang digelar di kota Port Said, sekitar 300 km barat laut Kairo.


Sementara Apep, yang di Kairo menjadi ketua Keluarga Paguyuban Mahasiswa Jawa Barat, mengaku sudah tiga kali ikut menonton pertandingan Mesir melawan lawan-lawannya. Dia pun juga selalu gratis alias tak pernah membeli tiket untuk memasuki area stadion. Namun caranya berbeda Warso, mengingat dia tidak tinggal di asrama. “Kita masuk saja, kalau ditanya pendukung mana, kita bilang pendukung lawannya Mesir, dijamin tak ditanyain tiket,” ujarnya mengungkapkan rahasia.


Benar saja, ketika final yang mempertemukan Mesir dan Pantai Gading, cara yang dipakai oleh Apep banyak ditiru teman-temannya. Meski ada juga beberapa mahasiswa yang rela merogoh kocek sebesar 40 pound Mesir untuk tiket third class final itu, tapi tetap tampak sekitar 30-an orang berwajah Melayu berbaur di tribun yang diduduki para pendukung Pantai Gading. Menariknya lagi, sebenarnya tribun yang terletak di sebelah kiri gawang yang digunakan untuk adu penalti ini adalah tribun second class, yang tiket masuknya seharga 100 pound Mesir.


Selain dua cara di atas, ada juga jalan lain yang memungkinkan untuk menonton pertandingan secara gratis. Jawwada Mumtaz, mahasiswa asal Purwodadi, saat mengunjungi Pameran Buku Internasional yang lokasinya persis di samping stadion, sempat ditawari seorang pendukung Mesir untuk ikut ke stadion. Tiketnya tentu saja dibayari, pun syaratnya tidak sulit: sekadar wajahnya dicat bendera Mesir. Sebagai mahasiswa baru, rupanya dia tidak terlalu menanggapi ajakan itu, malu barangkali. Tak pelak, hal ini jadi bahan ejekan kawan-kawannya yang menyayangkan peristiwa itu. “Kalau saya yang ditawari, pasti mau lah,” ujar Nurrohim yang asal Boyolali.


Ada satu lagi peluang yang melempangkan jalan menuju stadion secara cuma-cuma. Chipsy, sebuah produk makanan ringan, ikut memeriahkan Piala Afrika dengan menyebarkan ratusan kupon dalam bungkusnya. Kupon itu dapat ditukar dengan tiket menonton pertandingan tertentu dari penyisihan hingga final. Salah seorang mahasiswa asal Solo bernama Ari Wibowo, bahkan mendapatkan kupon yang dapat ditukar dengan tiket final.


Begitulah sebagian pernik-pernik yang menghiasi Piala Afrika tahun ini. Kalau saja Piala Dunia tahun 2010 jadi digelar di Mesir, barangkali sekitar 4000-an mahasiswa Indonesia di Mesir dapat ikut menikmati perhelatan akbar itu.[]


*Tulisan ini dimuat di tabloid BOLA, lumayan... rekeningku bertambah 350 ribu rupiah ;-) sayang, ketika dikonfirmasi ulang ke pihak redaksi BOLA tanggal berapa dipublikasikan, sampai sekarang tak ada balasan email lagi. Padahal saya kan pingin liat secara langsung tulisan sendiri nampang di tablod nasional sekelas BOLA.

No comments: